Kejahatan bukanlah sebuah peristiwa yang dapat manusia pahami sampai tuntas. Peristiwa seperti bencana alam atau tsunami yang meminta korban sangat banyak termasuk anak-anak yang tidak berdosa menuntut sebuah pemahaman yang masuk akal. Tapi, apakah kematian anak-anak yang tidak berdosa akibat bencana tersebut dapat dinalar sedemikian rupa? Alam memiliki hukum-hukumnya sendiri. Tapi, manusia tidak pernah puas atas penjelasan demikian. Sumber terakhir yang berusaha dicari sebabnya akhirnya diletakkan pada persoalan tentang Tuhan. Apakah Tuhan ada? Kalau ada, mengapa Ia tega membiarkan anak-anak yang tidak berdosa meninggal?

Sungguh, berhadapan dengan kematian, apalagi karena sebuah bencana atau tindak kejahatan massal, manusia selalu berhadapan dengan persoalan yang dilematis. Dikatakan dilematis karena di satu pihak manusia berusaha memahami sebab terakhir yang dapat menjelaskan segala sesuatu hingga tuntas. Tapi, di lain pihak, manusia kerap jatuh pada sebuah pembuktian akan sebab terakhir itu sendiri.

Dalam setiap peristiwa kejahatan, terkandung potensi untuk kelahiran ateisme atau sering dikatakan sebagai ladang subur bagi kemunculan ateisme. Demikianlah kecenderungan dari apa yang dilihat dari peristiwa kejahatan. Apa itu ateisme? Umumnya ateisme didefinisikan sebagai paham yang tidak mengakui adanya Tuhan. Lantas apa hubungan Tuhan dan kejahatan? Persoalan mengenai keterkaitan ini memang tidak pernah dijawab secara tuntas. Usaha untuk mengaitkan hal inilah yang justru memicu lahirnya ateisme. Ateisme memiliki pandangan dasar bahwa jika Tuhan ada, maka kejahatan tidak ada; Tapi, kejahatan ada, maka Tuhan tidak ada. Sebuah cara berpikir yang masuk akal memang. Apakah memang benar demikian?

Ketika manusia berusaha menempatkan sebuah penjelasan yang masuk akal dengan bersumber pada Tuhan sebagai sebab semua yang terjadi di dunia, manusia justru menghadapi kenyataan bahwa ternyata Tuhan itu punya sisi baik dan sisi jahat. Apakah dapat diterima sebuah penjelasan yang demikian? manusia pasti sulit menerimanya. Persoalan demikian pernah dilontarkan oleh Epikurus dengan memberikan 4 kemungkinan yang dikenakan pada sifat Allah ketika manusia berhadapan dengan kejahatan.

  1. Allah mau meniadakan kejahatan, tapi ia tidak mampu (berkuasa) meniadakan kejahatan. Jika demikian maka Allah seperti itu adalah Allah yang tidak maha kuasa tapi baik hat
  2. Allah dapat meniadakan kejahatan tapi Ia tidak mau. Jika demikian maka Allah seperti itu adalah Allah yang maha kuasa tapi buruk hati.
  3. Allah tidak mau dan tidak mampu meniadakan kejahatan. Allah yang demikian adalah Allah yang buruk hati dan tidak berdaya.
  4. Allah yang mau dan mampu meniadakan kejahatan. Jika demikian maka Allah itu baik dan maha kuasa.

Manusia pasti jelas mengingkan kemungkinan yang keempat itu di mana Allah itu baik dan mahakuasa. Di lain pihak, pihak ateis sendiri pasti menolak kemungkinan tersebut lantaran masih merajalelanya kejahatan di muka bumi ini. Dalam posisi seperti ini, dapat dilihat bahwa pihak ateis seolah dapat membuktikan bahwa Allah memang tidak ada. Tapi, pertanyaan yang dapat diajukan pertama-tama untuk melawan pandangan dasar (tesis) ateisme adalah dari mana asal kejahatan itu sendiri? Dengan bertanya seperti itu, justru dapat dimasuki kelemahan mendasar dari pandangan ateis. Sekarang mari menelaah kelemahan itu satu per satu.

Kaum ateis berpendapat bahwa Allah tidak ada karena adanya kejahatan. Dapat ditanyakan, kalau demikian dari mana asal kejahatan itu sendiri? Kemungkinan jawaban ada beberapa.

  1. Bahwa kejahatan itu berasal dari diri manusia itu sendiri. Atas jawaban ini, dapat diajukan keberatan, yakni dengan demikian manusia itu pada dasarnya jahat. Mengapa? Karena status ontologis-eksistensial manusia pada dasarnya sudah terlekat dengan kejahatan. Di lain pihak, padahal manusia justru memahami apa itu artinya berbuat baik, apa artinya makna hidup. Kemungkinan jawaban ini tidak dapat dipertahankan, karena itu patut ditolak.
  2. Bahwa kejahatan itu berada di luar diri manusia. Atas jawaban ini, dapat diajukan keberatan bahwa bagaimana mungkin manusia bisa memahami kejahatan yang berada di luar pemahamannya (seperti bagaimana memahami manusia dapat berbuat jahat terhadap sesamanya)

Dengan meragukan adanya Allah karena adanya kejahatan di atas bumi, tesis ateisme sebenarnya diam-diam menempatkan kejahatan setara dengan Allah dalam status ontologisnya. Masuknya pandangan yang diam-diam meletakkan status ontologis kejahatan setara dengan Allah justru menjadi titik lemah bagi kaum ateis itu sendiri. Konsekuensi pandangan ini adalah bahwa “di luar sana” kebaikan bertempur dengan kejahatan dalam usaha menguasai hidup manusia dan manusia seperti menjadi boneka di tengah pertempuran demikian. Allah karena itu menjadi Allah yang tidak berkuasa sama sekali.

Terikat Pada Apa yang mau Ditolak

Pertama, pandangan bahwa Allah tidak ada karena kejahatan merajalela di atas bumi justru mengandaikan bahwa ALLAH ITU ADA. Tanpa pengandaian semacam ini, tidak mungkinlah kaum ateis dapat memiliki dasar pandangan seperti itu. Premis ateisme justru dibangun atas dasar bahwa ALLAH ITU ADA. Yang tidak diakui justru diam-diam akui dalam tesis (pandangan dasar). Lantas, apa yang pada dasarnya ditolak? Yang ditolak pada dasarnya adalah bahwa GAGASAN mengenai Tuhan yang dirasa berlebihan dan sebenarnya tidak perlu. Bagi mereka, gagasan ini justru mengakibatkan sebuah penjelasan yang tidak masuk akal. Fakta bahwa ALLAH ITU ADA tidak di perhatikan.

Kedua, dengan diam-diam menempatkan kejahatan setara dengan Allah dalam status ontologisnya, hal ini jelas tidak dapat memberikan sebuah penjelasan yang masuk akal bagaimana mungkin sebuah kejahatan dapat berdiri sendiri (otonom) di hadapan Allah. Jika mereka mengandaikan adanya Allah dalam penolakan mereka, maka bagaimana mungkin meletakkan kejahatan sejajar dengan Allah dalam status ontologisnya. Sebuah kesulitan yang tampaknya tidak mungkin dipecahkan oleh kaum ateis itu sendiri ketika mereka menolak dasar etis bagi perbuatan yang mereka lakukan.

Beberapa Kategori

Kejahatan umumnya dilihat dalam beberapa ‘kategori’ (aneh juga menyebutnya). Pertama, kejahatan fisis. Kejahatan fisis adalah kejahatan yang berkaitan dengan fisis-material dari dunia ini. Kejahatan ini terjadi karena kodrat dunia yang fana ini memiliki hukum-hukumnya sendiri. Bencana alam, misalnya gempa bumi, merupakan usaha dunia ini untuk mengatur dan menata dirinya sendiri. Caranya? Sebagaimana kita ketahui gempa bumi itu terjadi karena adanya pergeseran lempengan bumi. Jika akibat dari pergeseran ini manusia menjadi korbannya, itu memang tidak dapat dihindarkan. Allah telah menciptakan dunia dan tetap berkarya dalam dunia ciptaan tapi satu identitas yang diberikan kepad dunia ciptaan adalah keberdikarian dan kemandirian dunia ciptaan.  Maka kejahatan fisis yang diartikan itu hanya merupakan manifestasi dari keberdikarian dunia ciptaan yang ada, berkembang dan mati menurut hukum alam. Jadi dapat kita katakan bahwa kejahatan fisis secara tak langsung dikehendaki oleh Allah untuk menjadikan kejahatan itu bukan ada di dalam dan untuk dirinya tapi ada sebagai satu alat untuk mencapai satu nilai yang lebih tinggi dan luhur.

Kedua, kejahatan moral. Kejahatan moral adalah kejahatan karena kebebasan manusia. Dalam bahasa filsafat, kejahatan moral adalah ketidaksesuaian antara perbuatan manusia yang bebas dengan hukum moral. Thomas Aquinas mendefenisikannya sebagai tindakan melawan hukum Allah yang tertanam dalam akal budi manusia. Kejahatan demikian dapat dilihat seperti pembunuhan, perampokkan, peperangan. Apa kaitan antara kebebasan dan hukum moral sehingga muncul kejahatan? Kata moral berasal dari bahasa Latin, mor-moris, yang berarti kebiasaan, tindakan atau adat-istiadat. Kebiasaan di sini lantas merujuk pada perbuatan itu sendiri. Apa yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik adalah akal budi. Dan sebagaimana sudah kita bahas, menurut Thomas Aquinas, akal budi manusia merupakan partisipasi hukum kodrati manusia dalam hukum Allah. Karena itu, pengertian baik langsung mendapat cetusannya dari kehendak baik Allah sendiri. Jika manusia melawan hukum yang dikehendaki Allah baik bagi kita, manusia jelas bertindak jahat. Perintah ‘Jangan membunuh’ jelas merupakan perintah langsung dari kodrati kita sebagai manusia. Mengapa? Karena poin pertama dari perkara ini adalah soal kehidupan manusia yang dianugerahkan Allah kepada kita.

Ketiga, kejahatan metafisis. Kejahatan demikian terus dipersoalkan oleh para filsuf, apakah kejahatan ontologis itu ada, dalam arti bahwa kejahatan itu merupakan satu realitas yang sungguh-sungguh ada dan memanifestasikan diri ke dalam bencana-bencana alam dan manusia. Dalam sejarah manusia, pernah ada keyakinan seperti itu bahwa kebaikan dan kejahatan bertempur di luar sana dan manusia adalah korban dari siapa yang menang diantaranya. Harus diakui bahwa persoalan ini hingga sekarang belum dapat ditanggapi secara tuntas. Tapi, benang merah dari jawaban-jawaban yang pernah ada dapat disimpulkan sebagai berikut: bahwa kejahatan demikian adalah cacat atau ketidaksempurnaan dari kebaikan. Kejahatan seperti parasit dalam diri kebaikan. Kejahatan bukanlah bersifat ada otonom lepas dari kebaikan. Kejahatan merupakan sebuah kekurangan dalam kebaikan dan kesempurnaan.