Dalam seluruh karyanya yang bertemakan kekuasaan, Foucault sama sekali tidak berminat membahas pengertian konsep kekuasaan. Yang ia analisa sesungguhnya adalah relasi-relasi kuasa, yaitu bagaimana kuasa itu dilaksanakan. Dan pelaksanaan kuasa ini ternyata tidak dapat dipisahkan dari kebenaran. Di mana ada kuasa, di sana juga ada kebenaran. Bahkan, kebenaran sungguh merupakan efek dari relasi-relasi kuasa. Dengan kata lain, kebenaran tak pernah berada di luar kuasa.[1] Kebenaran harus dimengerti sebagai praktik kuasa.

Bagi Foucault, kekuasaan itu berada di mana-mana dan datang dari mana-mana. Kekuasaan itu meresap dalam seluruh jalinan, tidak hanya terbatas pada institusi atau struktur, tetapi juga masing-masing individu memiliki kekuasaan. Sebagaimana kuasa dapat ditemukan di mana-mana, demikian pula juga kebenaran. Karena setiap orang memiliki kekuasaan, setiap orang juga memiliki kebenaran. Kebenaran menjadi suatu jalinan yang berkaitan satu sama lain antara sistem kekuasaan dan kedudukan subjek-subjek yang terlibat.[2] Maka, pertanyaannya adalah siapa yang dapat mengatur kebenaran ini? Siapa yang menentukan kebenaran ini? Siapa yang mau mempraktikannya?[3]

Permainan kebenaran dan kekuasaan ini dilaksanakan dalam suatu wacana tertentu karena setiap kebudayaan memiliki permainan-permainan wacana tersendiri. Dalam permainan-permainan kebenaran (truth of games) inilah  subjek dibentuk.[4] Di sini tampak bahwa orang juga memiliki kekuasaan dalam menentukan identitas dirinya sendiri dan membentuk sebuah praktek kebebasan melalui teknik-teknik diri. Dengan demikian, pelaksanaan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing individu adalah sebuah strategi untuk membentuk diri sebagai subjek etis atas perbuatannya sendiri.

Praktik pembentukan diri ini tidak dimengerti sebagai subjek yang secara aktif membentuk dirinya sendiri. Pembentukan diri ini harus dilihat dalam relasi dengan kekuasaan yang ada tersebar di mana-mana, di sekitar kita. Pembentukan diri ini terjadi ketika seseorang dituntut untuk tetap berani berbicara jujur meskipun mendapat ancaman, berani berbicara jujur terhadap dirinya sendiri dan berani mengenal dirinya sendiri, meskipun itu sangat menyakitkan.

Hal ini akan sungguh melelahkan bila seseorang itu hidup di tengah orang-orang yang mengabaikan kejujuran dan kebenaran. Apalagi, seseorang tidak mungkin sama sekali melepaskan diri dari sistem kekuasaan yang ada di sekitarnya. Dalam kondisi yang demikianlah seseorang justru ditantang untuk semakin dapat mengatasi dirinya, mengendalikan dirinya, dan membentuk dirinya menjadi seorang subjek.

[1] Dr. Konrad Kebung Beoang, SVD, Michel Foucault: Parrhesia dan Persoalan mengenai Etika, Jakarta; Obor, 1997, hlm. 48-51.

[2] “Orang yang Berjalan di depan Kita”, dalam  Basis, Op. Cit., hlm. 7.

[3] Dr. Konrad Kebung Beoang, SVD, Op. Cit., hlm. 83

[4] Ibid., hlm. 151