Entah berapa kali harus mengulang kembali pembacaan atas buku Gadamer berjudul Truth and Method terutama bab pertama. Buku tersebut selalu memunculkan tantangan tersendiri. Bukan karena buku ersebut tmerupakan salah satu buku penting abad 20, tapi yang menarik adalah mencari istilah yang digunakan Gadamer dalam konteks bahasa Indonesia. Juga, penting karena kritik tajamnya atas metode yang digunakan ilmu-ilmu humaniora justru njiplak metode ilmu alam/pasti. Kagak percaya ……. Mari lihat satu bagian saja

Dalam kalimat pembuka di bawah judul ‘Melampaui Dimensi-dimensi Estetis [Sebuah Persoalan Metodologi]‘, Gadamer menyatakan bahwa “The logical self-reflection that accompanied the development of the human sciences in the nineteenth century is wholly governed by the model of the natural sciences”. Jika diterjemahkan, kalimat tersebut kira-kira berbunyi, ‘Refleksi diri yang berjalan bersamaan dengan perkembangan ilmu humaniora di abad ke-19 sepenuhnya ditata menurut model ilmu-ilmu alam.’ Kalimat ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana selama ini proses perkembangan ilmu-ilmu tentang manusia [humaniora] dan kesahihan atau bahkan keilmiahan-nya HANYA ditentukan berdasar pada metodologi ilmu alam [ilmu pasti] yang bersifat kalkulatif, eksperimental dan pasti. Kalimat ini pula berarti menggambarkan kegelisahan dan kecemasan atas begitu mudahnya manusia dan relasianya dengan sesama serta perilakunya dianalisis.

== TANYA == “Emangnya kenapa jika sebuah disiplin ilmu meng-adopsi metodologi ilmu lain dan menerapkannya untuk mendapat kesahihan dan kepastian hasilnya?”

Pertama, sebuah disiplin ilmu jelas memerlukan status keilmiahan untuk dikatakan sebagai ilmu [science] dan salah satu ciri keilmiahan itu adalah metodologi. Itulah mengapa, Gadamer membuka uraiannya dalam buku Truth and Method dengan sub-judul Problem of Method. Di awal buku ini, Gadamer hendak mempersoalkan kembali metodologi yang digunakan oleh ilmu humaniora. Mengapa? Jika ilmu humaniora tetap mempertahankan dan mengadopsi metode ilmu alam, kekhawatiran akan hilangnya karakter kehendak bebas, moral, intuisi sebagai yang berciri khas manusiawi [dan hanya bisa dipahami dalam aspek humaniora itu sendiri] bisa bakal terjadi.

Memang, sebagai sebuah disiplin ilmu, jelas bahwa ilmu humaniora juga memberi perhatian pada penetapan regularitas dan kemiripan fenomena individu dan sosial supaya nanti dapat memprediksi proses dan fenomena perkembangan individu dan masyarakat ke depannya. Akan tetapi, usaha ini jelas terbentur pada kelemahan yang dibawa oleh metodologi induktif – sebagai karakter utama ilmu alam – ketika diaplikasikan dalam lingkup dunia sosial, misal dalam lingkup moral. Yang tidak dipahami dengan benar ketika metode induktif diaplikasikan ke dalam ilmu sosial adalah bahwa nilai dan makna serta pengalaman menjadi senyap. Individu maupun kumpulan individu-individu yang disebut masyarakat ini tidak dapat dipandang hanya mempertegas dan membantu terumusnya hukum atau prinsip guna memprediksi proses dan perkembangan sosial. Bagi Gadamer, pengalaman sosio-historis manusia tidak dapat menjadi ilmiah [dalam pengertian sekarang], jika digarap melalui prosedur induktif itu sendiri.

Ini belum lagi termasuk usaha untuk mendiskreditkan ilmu humaniora sebagai sebuah ‘ilmu tidak pasti’. Sebagaimana yang dikutip Gadamer dari pernyataan Hermann Helmholtz’s tentang distingsi induksi, yaitu logis dan artistik-instinktif. Usaha Hermann Helmholtz ini sebenarnya mau mengatakan ilmu humaniora bisa ditelaah melalui prosedur induksi. Masalahnya, menurut Gadamer, distingsi ini sebenarnya hanya bersifat psikologis semata, yakni kesimpulan yang diperoleh oleh ilmu humaniora berasal dari proses bawah sadar. Dan patut pula disebut di sini usaha lain yang dilakukan oleh J.G. Droysen dan Dilthey. Dilthey bahkan berkata, ‘Masa Modern ini, ilmu-ilmu yang berdasar pada metode induksi telah memberi banyak kemajuan daripada apa yang dilakukan oleh para filsuf’.

== TANYA == “Lantas, apa ada alternatif bagi metodologi ilmu Humaniora?”

Berhadapan dengan tuntutan ilmiah yang prosedural seperti induksi dalam ilmu alam – bagi Gadamer – ilmu humaniora jelas tidak memiliki metodologinya sendiri. Berbicara soal metode itu sendiri, sebenarnya apa arti penting metode bagi pencapaian sebuah ilmu? Apakah tidak ada pengandaian ilmiah lainnya yang mungkin lebih penting dari prosedural induktif itu sendiri? Sebagaimana yang dikatakan Gadamer, usaha Helmholtz yang hendak menekankan aspek kebebasan ketika menelaah atau mengkaji studi historis pun rupanya keliru. Dinyatakan keliru karena bagi Gadamer, sangat sulit untuk melihat penerapan proses induktif terhadap Kebebasan Manusia. Lantas? Gadamer harus mencari kembali di masa lalu, di mana tradisi humanis itu sendiri mulai muncul dan berkembang. Dan ini ditemukan di periode klasik Jerman dalam gagasan ‘Cultivating the human’ [Bildung dalam bahasa Jerman]. Menurut Gadamer, jiwa dari ilmu-ilmu humaniora terutama mengenai studi sejarah berada pada gagasan ini walaupun sulit untuk menegaskan dan menjustifikasinya secara epistemologis.

Bildung

Gadamer melihat sebuah gagasan penting dalam pemikiran Johann Gottfried von Herder tentang Cultivating The Human (Bildung zum Menschen). Herder adalah seorang filsuf yang jangkauan karyanya sangat luas. Umumnya, Herder dikenal lantaran karyanya tentang seni dan bahasa. Namun, gagasannya mengenai cultivating the human justru mempersiapkan dasar bagi perkembangan ilmu sejarah dan secara tidak langsung pula memberikan gairah baru bagi ilmu-ilmu humaniora itu sendiri. Dan harus diakui pula sumbangsih Johann Gottfried von Herder bagi Wilhelm von Humboldt mengenai kajian liguistik modern. Ini tampak jelas ketika Humboldt melihat perbedaan tajam antara Kultur dan Bildung. Bagi Humboldt, gagasan Bildung memaksudkan sesuatu ‘yang lebih tinggi dan mendalam, yakni disposisi pikiran’.

Gadamer memulai investigasinya terhadap arti kata Bildung itu sendiri – yang dalam konteks ini sangat menentukan karakter ilmiah/keilmuan bagi ilmu-ilmu humaniora di abad 19. Mengapa Bildung?

Kata Bildung adalah sebuah kata Jerman yang artinya sangat kompleks. Jika dicari padanannya ke dalam bahasa Inggris, kata Bildung adalah:  f – formation; (Erziehung) education; (Kultur) culture. Dan dalam Bahasa Latin adalah Formatio. Kapan gagasan ini menguat kembali secara filosofis? Sejak gerakan Renaisans menghidupkan kembali Aristotelianisme. Masalahnya, gerakan ini telah melepaskan sepenuhnya makna teknis dari kata Forma. Dengan kata lain, padanan kata Formatio untuk Bildung ternyata tidak mencukupi menjelaskan arti dari Bildung tersebut sebagaimana yang dipahami tradisi filsafat Jerman Klasik. Di pihak lain, padanan kata Bildung untuk bahasa Indonesia juga sulit ditemukan. Masalahnya adalah bahwa dalam bahasa Indonesia, ke-budaya-an [dari Inggris Culture, yang diturunkan dari bahasa Latin, Colere = mengolah] pada dasarnya sudah mencakup pengertian formation [pembentukan] dan education [pendidikan].

Immanuel Kant sebenarnya secara tidak langsung telah menggarap gagasan ini dalam temanya tentang ‘an act of freedom by the acting subject’. Hegel pun demikian. Hanya Hegel mampu melihat lebih tajam hal ini. Bagi Hegel, karakter yang dimiliki Bildung mengartikan ‘keeping oneself open to what is other, to others’. Artinya, dalam filsafat Hegel sebenarnya ciri manusia ditandai oleh ‘karakter keterputusan dengan alam‘. Lantaran karakter demikian, manusia jelas membutuhkan alam supaya pemenuhan/kesadaran akan diri tercapai. Hegel membahasakannya sebagai “Rising to the universal“. Pemahaman ini sebenarnya hanya intisari dari penjelasan panjang lebar Hegel tentang gerak Roh [Geist, red] yang masuk dalam Realitas [Budaya, Nilai, Kebiasaan, Bahasa, Individu, Masyarakat dan Negara] dan mewujudkan dirinya dalam bentuk Roh Universal. Lantaran hal ini, harus diakui bahwa Hegel-lah yang membuka ruang bagi lahir dan berkembangnya ilmu-ilmu sosial.

Apakah Gadamer menerima arti Bildung yang dinyatakan Hegel?

Gadamer menerimanya namun ia justru masuk lebih dalam lagi pada dimensi spiritual kata tersebut, sebagaimana dikatakannya,

Bildung here no longer means “culture” – i.e., developing one’s capacities or talents. Rather, the rise of the word Bildung evokes the ancient mystical tradition according to which man carries in his soul the image of God, after whom he is fashioned, and which man must cultivate in himself. The Latin equivalent for Bildung is formatio, with related words in other languages – e.g., in English (in Shaftesbury), “form” and “formation.” In German, too, the corresponding derivations of the idea of forma – e.g., “Formierung” and “Formation” – have long vied with the word Bildung. [TM, Hal. 10]

Mengapa Gadamer melakukan hal tersebut? Jelaslah bahwa Gadamer hendak menggali makna awal dari terminologi Bildung.

Bagi Gadamer, adanya transisi makna inilah yang hendak digarap untuk menegaskan makna awali Bildung itu sendiri. Melalui studi bahasa atas kata Bildung, Gadamer memahami bahwa Bildung – setelah era Hegel – tidak lagi berkaitan dengan kebudayaan dalam arti sempit [culture] melainkan merujuk pada tradisi mistis kuno di mana manusia membawa gambaran Allah dalam dirinya dan karena itu manusia harus mengolah dirinya.

Kata Bildung memperlihatkan proses menjadi daripada proses itu sendiri. Mengapa? Karena dampak yang ditimbulkannya tidak dicapai dengan cara tekhnis melainkan muncul dari dalam proses itu sendiri. Maka, Bildung selalu berada dalam proses ke-menjadi-an [continual process]. Karena itu pula, Bildung tidak memiliki tujuan di luar dirinya. ‘The cultivation of a talent is the development of something that is given, so that practicing and cultivating it is a mere means to an end’. Ini seperti kata-kata dalam kamus yang hanya digunakan sebagai cara untuk mencapai tujuannya [Misalnya, dengan memahami arti dan makna kata diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bahasa seseorang] – perhatikan apa yang disebut talenta adalah sesuatu yang diberikan/yang sudah ada.

Sampai di sini, apakah sudah terlihat karakter atau ciri ‘ilmiah’ dari gagasan Bildung? Jawabannya BELUM. Dan harus berpikir lagi ………………. Salam

Next : Sensus Communis