Beberapa tahun lalu, seorang teman menceritakan sebuah kisah. Bukan kisah komedi, tragedi atau pun campuran keduanya. Hanya kisah hidup. Sebuah kisah yang muncul karena manusia perlu melihat kembali ke belakang supaya ia paham ke mana ia mau melangkahkan kakinya kelak. kenapa harus ber-kisah? Ya karena mau diungkapkan secara ilmiah tidak bisa. Mau dinyatakan dalam rumus pun ya tidak mungkin. Dalam kisah ada makna. kita hanya perlu berkisah/bercerita agar makna itu hadir. Dan inilah kisahnya………

Seorang anak bertanya kepada ibunya, “Bu, sebenarnya aku ini dari mana asalnya?”. Ibu yang ditanya itu menjawab, “Kamu dari atas” sambil menunjukkan jarinya ke atas. Anaknya melihat ke atas. Hanya ada langit-langit rumah. Tapi, yang ibu maksudkan tentu adalah langit di atas sana. Lalu si anak bertanya lagi, “Bu, katanya dulu aku ada di perut ibu, bagaimana aku bisa keluar dari perut ibu?”. Si ibu menjawab, “kamu keluar lewat mulut ibu sayang”. Si anak membayangkan bagaimana leher ibunya yang membesar. Hmmm, si ibu sebenarnya agak kerepotan juga menjawab pertanyaan anaknya. Tidak mudah memberi jawaban yang tepat. Dan daripada anaknya bertanya lagi, si ibu pun lantas pergi ke dapur menyiapkan makanan. Suatu hari, si anak datang lagi dengan pertanyaan yang sama dan dijawab dengan jawaban yang sama pula oleh ibunya. Kemudian si anak berpikir, “Kalau benar aku dari atas, itu berarti aku pernah berada bersama yang lain”. “Tapi, mengapa aku muncul di keluarga ini dan bukan di keluarga yang lain, yang lebih kaya gitu?”, pikir si anak. Si anak seringkali melamun sendirian.

Di pikirannya terlintas gambaran imajinasinya, seandainya aku lahir di tempat lain, seandainya aku begitu, seandainya dan seandainya. “Ah, sudahlah” cetus si anak. Si anak kemudian bermain mobil-mobilan di tumpukan pasir depan rumahnya. Ia membangun sebuah dunia di mana semuanya diatur menurut imajinasinya. Ada rumah, jalan, gedung, mobil dan lain-lain. Semuanya berjalan menurut imajinasinya. Ruang dan waktu menjadi ruang dan waktu si anak. Tidak ada yang lain. “Aku adalah aku dan duniaku adalah duniaku” Begitu mungkin pikir si anak. Tiba-tiba konstruksi dunianya runtuh oleh panggilan ibunya yang menyuruhnya untuk segera mandi dan belajar.

Keesokan harinya, ketika hendak berangkat sekolah, si anak dipeluk oleh ibunya dan si ibu berkata, “Belajar yang rajin ya, ibu sayang kamu”. Si anak merasakan wujud kata sayang dengan pelukan ibunya. Si anak hanya berkata, “Ya Bu”. Tapi, sesungguhnya yang ia rasakan lebih dari jawaban yang diberikan oleh mulutnya. Ia berjalan kaki menuju sekolah karena letak sekolahnya memang tidak begitu jauh. Dari jauh, si anak melihat ibunya melambaikan tangan ke arahnya. Si anak membalas dan kemudian berlari mengejar teman-teman yang sudah menunggu.

Di sekolah, si anak bukanlah orang yang pandai. Hukuman tidak jarang diterimanya karena tidak dapat menjawab sebuah persoalan. Seringkali si anak mengeluh, “Mengapa aku tidak dapat menjawab persoalan sedangkan yang lain bisa?”. Ketika si anak membangun dunia imajinatifnya di tumpukan pasir, dia tidak pernah membangun sekolah dengan pelajaran-pelajarannya dalam dunianya itu. Setidaknya yang ada hanyalah gedung sekolah dan bukan pelajarannya. Si anak sesungguhnya bukan mengeluh tentang pelajarannya. Tapi, ia mengeluh mengapa dalam pelajaran ia tak menemukan pengalamannya sendiri. Biarpun begitu, si anak tetap bersekolah.

Ketika menginjak usia remaja, si anak kemudian bersekolah di kota lain. Di situ, ia bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah yang ketika berbicara memperdengarkan logat yang unik di telinganya. Tapi, bukan ini yang membuat si anak terkesan. Ada satu peristiwa hidup yang membuat pemahamannya berantakan. Dulu, ia, si anak memahami dirinya muncul di dunia bukan karena campur tangan orang tuanya. Sekarang, ia tahu bahwa ia dijadikan dan dimunculkan ke dunia oleh kedua orang tuanya. Runtuhlah konsep yang ia pegang selama ini. Ya, konsep yang ia pikir sebagai konsep yang dianut semua orang. Ternyata ia keliru. “Apakah ibu berbohong kepada aku?” batinnya. Sayang, ibunya sudah meninggal ketika ia mau menanyakan hal ini.

Di depan tubuh ibunya, ia terdiam. Pelukan yang ibu berikan masih membekas di ingatannya. Kesepian dan merasa ditinggalkan, tapi percaya bahwa ibu sudah berada di sana adalah perasaan yang ia alami ketika berada di depan tubuh ibunya. Ia masih ingat dengan jelas kata-kata yang diucapkan ibunya ketika ia hendak berangkat ke kota lain untuk bersekolah. “Nak, coba lihat tahi lalat di jari tengah kananmu itu”. Ia melihatnya dan lantas bertanya, “Emangnya kenapa Bu?”. Kata ibunya, “Itu artinya kamu bisa mengatur hidupmu dengan baik”. Si anak hanya melihat tahi lalat di jarinya.

Sekarang, ketika si anak melihat jari tengah tangan kanannya, tahi lalatnya sudah tidak ada. “Apakah ini berarti aku tidak menjalani hidup dengan baik?” Gumannya dalam hati. “Ataukah aku sudah menjalaninya tapi tidak menyadarinya?” Lanjutnya. Dalam sebuah peristiwa hidup, ia mengalami bahwa hidup baik itu sesungguhnya hanya sebuah horizon dan manusia, selalu berusaha menggapainya. Hidup baik itu tidak pernah selesai dalam dirinya. Hidup baik selalu membawa manusia kembali ke belakang untuk menghadapi masa depan. Gerak kembali ke belakang dan maju ke depan inilah yang membentuk identitas diri, cerita hidup manusia. Inilah dunia hidup manusia di mana orang saling terlibat di dalamnya. Si anak tersenyum ketika ingat kembali dunia yang ia bangun di tumpukan pasir.

Di dunianya sekarang, ia tidak merasa kehilangan ibunya. “Ibu hanya pergi ke sana dan suatu saat aku akan menyusulnya ke sana. Sekarang, aku hendak mengisi duniaku bersama dengan kehadiran orang lain” katanya tenang dalam hati. Mungkin karena gelisah. Tapi, ia tidak tahu bagaimana memikirkannya. Mungkin karena bukan saatnya. Tapi, mengapa terus bergejolak dalam pikiran dia. Mungkin karena ia ingin tahu atau mungkin karena ia sendiri kecewa dengan keadaannya. Tidak, bukan itu. Ini terjadi karena dirinya tidak bisa lari dari apa yang menimpa dia Si anak terikat dengan keadaannya. Pikirannya memang bebas. Imajinasinya terkadang liar. Rasa gembira, senang, sedih, tangis, tertawa, harapan dan kecemasan dirasakan begitu mengalir.

Semuanya terjadi supaya akhirnya diri kita tahu siapa saya. Singkat kata, hidup diri kita sendiri. Si anak terus mencari identitasnya. Terus mencari hingga tiba pada saat di mana pertama kali memulai pencarian ini. Di sanalah sebenarnya narasi itu dimulai dan terus bergulir hingga semuanya tidak dapat diceritakan lagi.

Ada peristiwa tertentu yang membantu diri seseorang dan menuntunnhya pada jalur identitas narasinya. Ada juga peristiwa yang mesti terjadi agar tiap manusia dapat mempraktekkan apa yang ia pelajari. Dan akhirnya, ada hal-hal yang terjadi agar tiap manusia dapat menarik pelajaran darinya. Hidup adalah teks yang ditafsirkan untuk perjalanan hidup tiap manusia.