Hanya ingin berbagi sebagai penikmat kopi di warung kopi ….

Masih bisa menikmati kopi merupakan salah satu tanda hidup itu indah. Karena keindahan inilah warung yang menjajakan makanan ringan pasti tak luput dari ketersediaan kopi. Ya, keindahan hidup seperti ini jelas perlu juga dibagikan pada orang lain. Tidak pernah keindahan itu mampu dimiliki oleh diri sendiri. Dan yang paling membuat nalar ini tambah lancar adalah dengan menyeruput kopi sambil berdiskusi dengan orang lain. Yup, diskusi mulai dari masalah berat sampai remeh temeh.

Dari omongan realisme dan kapitalisme sampai masih adanya (kata abang becak yang tiba-tiba nimbrung diskusi) praktek prostitusi di bekas lokalisasi. Dari yang memakai dasi (pokoknya pakai dasi lah) sampai tukang sayur keliling kompleks. Suasana dialog, guyon, cangkrukan begitu terasa. Artikel koran pun bahkan bisa diperdebatkan. Dari politik luar negeri sampai politik RT tidak luput dibicarakan. Yang merasa lulusan sarjana politik saja bahkan bisa tercengang mendengar argumen orang awam. Luar biasa. Mungkin perlu didirikan Asosiasi Warung Kopi.

Katanya sich, kehadiran dan suasana warung kopi menggambarkan pola interaksi sosial yang terjadi di tengah masyarakat itu sendiri. Bahkan ada yang bilang, ruang fisik bisa lho menciptakan pola relasi demikian. Ruang fisik di sini maksudnya warung kopi tersebut. Dan dapat dikatakan warung kopi juga merupakan cerminan ruang publik. Kata Habermas, ruang publik itu artinya ruang di mana segala pembicaraan dan opini berproses dan pada akhirnyya membentuk opini publik yang lebih spesifik. Poinnya, opini apa saja. Biasanya menyangkut kebijakan dari pemerintah daerah. Lihat saja, beberapa bulan lalu jalan yang sudah diperbaiki, bagian sisinya dibongkar lagi buat proyek saluran air. Eh, setelah selesai, muncul lagi proyek ini dan itu. Kenapa tidak sekaligus pengerjaannya? Itulah cangkrukan ala warung kopi.

Menariknya, warung kopi pun bisa berfungsi sebagai sistem keamanan lingkungan. Di sudut gang, pojok jalan, bahkan di tengah kampung, hadirnya warung kopi memberikan ruang pengawasan bagi warganya. Sadar atau tidak, kopi di warung kopi bukan hanya terasa di lidah. Tapi juga terasa dalam fungsi sosialnya. Menarik bukan? Sangat menarik. Mengapa? Karena masyarakatlah yang menciptakan ruang ini sedemikian rupa. Warung kopi tidak hadir karena kebijakan pemerintah atau aturan legal.

Perkembangan dewasa ini memperlihatkan nuansa cangkrukan warung kopi mulai pudar karena hadirnya teknologi. Teknologi mampu memaksa tiap orang masuk dalam dunianya yang luas dengan melupakan keindahan di sekitarnya. Teknologi bahkan mampu menarik tiap orang untuk menciptakan dunianya sendiri. Teknologi yang berwujud dunia maya ini rupanya telah mengubah tindakan cangkrukan (act of speech) menjadi semata perilaku instinktif-subjektif. Ini terjadi lantaran teknologi – khususnya kebutuhan akan akses internet dunia maya – mengalihkan perhatian ke sesuatu yang sangat pribadi (privacy) (Kim, 2017)[1].

[1] Kim, J.-H. (2017). Smartphone-mediated communication vs. face-to-face interaction: Two routes to social support and problematic use of smartphone. Computers in Human Behavior, 67, 282–291a