Adalah Edward Bernays yang mengaplikasikan gagasan Freud ke dalam sistem sosial di Amerika di awal abad ke-20. Edward Bernays adalah pendiri sekaligus pencetus ilmu di bidang relasi masyarakat [Public Relations]. Apa yang menjadi pokok dari gagasan Freud tersebut? Menurut Freud, manusia pada dasarnya dikendalikan oleh naluri bawah sadar, yang Freud sebut sebagai Id [Carl E. Schorske. 2006: 8-22]. Inilah instink dasar manusia yang menjadi karakter ‘state of nature’-nya manusia [dibaca kodrat manusia]. Tujuannya adalah mencari kesenangan. Persoalannya, apakah dalam realitas masyarakat, kesenangan yang dimaksud itu ada? Jika ada, bagaimana mendapatkannya? Lantas, apakah di tengah keterpurukan/krisis yang melanda masyarakat, kesenangan itu juga bisa dicari? Bagi Bernays, kesenangan tersebut bukan dicari tapi harus dibentuk dan diciptakan sedemikian rupa sehingga sebenarnya kesenangan itu pada dasarnya adalah proyeksi Id itu sendiri.

Pembentukan dan proses penciptaan kesenangan itu dapat berhasil dengan mengandaikan bahwa masyarakat tersebut menganut pula paham patriarkis. Mengapa? Menurut Paul Ricoeur, kecenderungan kuat Freud menafsirkan Id sebagai berkonotasi hasrat seksualitas, sebenarnya tidak terlepas dari kungkungan nilai-nilai budaya yang jelas mempengaruhi pemikiran Freud [Freud and Philosophy, 1970:3-6][1]. Lepas dari perdebatan mengenai gagasan Freud, Bernays memang dengan gemilang menerapkan gagasan Freud tersebut pada masyarakat Amerika. Dengan gemilang pula, Bernays menampilkan bagaimana di depan umum/publik perempuan merokok. Fenomena perempuan dan rokok menjadi momen ‘hidup’ masyarakat. Harus diakui, inilah iklan dalam bentuknya yang paling dasar. Kenapa perempuan dan kenapa pula harus rokok? Lalu, mengapa masyarakat Amerika dapat menerima pesan iklan itu dengan sangat antusias sehingga menjadi momen ‘hidup’ masyarakat?

George Washington Hill, presiden American Tobacco kala itu, merupakan sosok pendorong di balik iklan ini. Sebagaimana masyarakat pada umumnya waktu itu, perempuan yang merokok apalagi di tempat umum adalah sesuatu yang tabu. George Hill ingin mendobrak pandangan ini dan ia meminta bantuan Edward Bernays. Caranya? Bernays menganalisa kira-kira apa arti rokok bagi perempuan. Analisis Bernays – jelas juga dengan bantuan Sigmund Freud pamannya –  menyatakan bahwa rokok merupakan simbol penis [Nancy J. Chodorow. 2006: 224-246][2]. Dengan merokok, perempuan justru dapat memiliki ‘penis’-nya sendiri. Penis di sini bukan perkara fisik, melainkan simbol kekuasaan dari budaya patriarki. Lantaran perempuan adalah simbol pihak yang lemah, maka rokok jelas menjadi simbol kekuasaan dan sekaligus kebebasan itu sendiri. Dengan mempermainkan 2 simbol ini, apalagi didukung oleh iklim demokrasi kala itu, Bernays menyatakan bahwa kebebasan [dengan perempuan menyalakan rokok di depan umum] pada dasarnya adalah milik semua orang. Bahkan, dengan ‘memiliki penis’-nya sendiri, perempuan justru mampu menempatkan diri sejajar dengan laki-laki. Iklan demikian jelas menjadi single symbolic act, tapi sekaligus pula irrasional.

Keberhasilan Bernays lantas menarik minat korporasi/perusahaan untuk menggunakan psiko-analisis dalam menjual produk-produknya. Prinsip utamanya adalah bagaimana mengubah cara pikir masyarakat mengenai produk. Dengan kata lain, pertanyaannya adalah bagaimana menjadikan masyarakat berprilaku konsumtif? Caranya, mengkonversi apa yang sungguh-sungguh kebutuhan menjadi seperti kebutuhan [suppose to need]. Dengan bahasa sederhana, bagaimana ‘memaksa’ masyarakat memakai/membeli produk yang sebenarnya [in real need] tidak mereka butuhkan tapi mereka menyukai dan merasakan ‘sesuatu’ [gengsi, status sosial, dsb] dari situ.

Masyarakat harus dilatih untuk menginginkan sesuatu. Latihan ini jelas akan membentuk mentalitas baru dan setidaknya mempengaruhi bagaimana masyarakat akhirnya melihat dirinya sendiri. Sebut saja contohnya ‘latihan’ tersebut dalam realitas sehari-hari seperti: fashin show, hadirnya majalah wanita, dan yang terpenting iklan itu sendiri. Yang pertama-tama jelas ditawarkan adalah simbol dan konsep kepribadian yang memikat. Intinya, apa pun itu yang mampu dan dapat mengekspresikan kepribadian dan personalitas memiliki dan membawa dampak konsumtif kepada masyarakat. Gagasan ‘consuming self’ secara telak ditemukan di sini. Ini menjadi sebuah dorongan untuk menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang ‘desired culture’ berpola dan berdasar pada pikiran masyarakat itu sendiri, ‘mind of the crowd’.

Negara dan ‘Mesin’ Kebahagiaan

Semua sistem pemerintahan Negara tidak luput dari usaha meningkatkan kesejahteraan warganya. Yang membedakan adalah acaranya. Hal ini sebenarnya sudah dikatakan oleh Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa Negara dan pribadi-pribadi sebenarnya bertujuan ke arah yang sama, yakni kebahagiaan. Tapi, apa itu kebahagiaan? Sulit untuk memformulasikannya secara pasti. Yang jelas dan yang dapat dianalisa adalah adanya perasaan bahagia itu sendiri. Setidaknya bahwa tiap orang dalam masyarakat dapat merasa bahagia karena satu dan lain hal sudah memperlihatkan bagaimana Negara menjamin hidup warganya. Dan itulah yang dilakukan Bernays.

Bernays ketika ditarik ke dalam dunia politik pun rupanya memakai cara yang sama untuk menciptakan relasi publik yang kondusif. Penggarapan psikoanalisis terhadap pola pikir masyarakat dimaksudkan justru sebagai upaya untuk mengontrol masyarakat itu sendiri. Mengapa dikontrol? Ini karena menurut teori psikoanalisis, masyarakat demokratis cenderung mengeluarkan instink agresif yang menghancurkan masyarakat itu sendiri. Ini terjadi ketika masyarakat Amerika mengalami depresi ekonomi yang sangat parah pada tahun 1930-an dan dikenal sebagai ‘Great Depression’. Dengan kata lain, pengontrolan ini sama saja berarti bahwa kesadaran masyarakat harus dan bisa dimanipulasi untuk mencapai tujuan Negara itu sendiri. Bagaimana cara memanipulasi kesadaran masyarakat? Dengan menstimulasinya melalui produk-produk konsumtif.

Ini dapat dan bisa terjadi lantaran gerak masyarakat – menurut Bernays – dikendalikan oleh kekuatan/instik irrasional. Masyarakat itu pada dasarnya takut. Takut terhadap apa? Bukan terhadap apa, tapi takut bahwa hidupnya tidak bermakna. Supaya bermakna, bagaimana caranya? Dan inilah permainan iklan. Iklan menawarkan dan dengan cara irrasional pula memproyeksikan makna hidup itu sebagai kesenangan yang sudah lama dinanti dan dicari oleh Id. Masalahnya, istilah ‘makna hidup’ lantas dikonotasikan dan dipersepsikan sama dengan bentuk material yang terwujud dalam produk-produk [pakaian, mobil, dsb]. Semua produk tersebut pada dasarnya adalah simbol dari kekuasaan, kekuatan, kebebasan.

Di Jerman, ketika Hitler berkuasa, ia mengangkat simbol kekuasaan dan kekuatan ke ranah publik dalam bentuk pakaian militer beserta simbol-simbol yang mewujudkan keperkasaan [bendera, patung, dsb]. Inilah yang lantas disebut sebagai sebuah mesin kebahagaiaan. Dikatakan mesin karena ini adalah kunci untuk kemajuan ekonomi. Dengan kata lain, tampak bahwa memang aspek ekonomi menjadi prioritas dan tujuan Negara. Sebenarnya, jika dilihat lebih teliti, mekanisme ini adalah sebuah ‘lingkaran diri’, self cyrcle yang sekali lagi irrasional. Masyarakat ‘dipaksa’ untuk mengkonsumsi produk-produk yang sebenarnya adalah wujud dari kesenangan Id [desire, instinc]. Masyarakat modern lantas ditandai oleh kesadaran konsumtif yang berkarakter khusus, yakni ‘consuming self’. Sifat konsumtif lantas sinonim dengan kebahagiaan dan sekaligus pula menandakan bahwa masyarakat mudah ditipu.

Negara dengan masyarakatnya yang berkarakter [mengarah ke] industri jelas sulit untuk keluar dari jebakan ini. Dikatakan jebakan lantaran, tujuan Negara dan tujuan masyarakat adalah satu dan sama. Dan dilemanya, tujuan tersebut justru berdimensi dan bernada ekonomis yang menyerempet sebelas duabelas dengan kapitalisme. Inilah kritik tajam Herbert Marcuse atas masyarakat industi modern.

Iklan dan Demokrasi

Mungkin agak naif jika harus mengaitkan dua hal dari sub-tema ini. Masalahnya, tidak pula bisa disangkal bahwa peran dan fungsi iklan – sebagaimana dijelaskan di atas – cukup mempengaruhi dan menentukan cara berpikir masyarakat. Iklan memang tidak mesti harus berbentuk elektronik sebagaimana ditayangkan di media. Iklan pun bisa hadir dalam bentuk tontonan di depan mata sebagaimana kehadiran awal iklan di Amerika. Misal, nuansa PilKada di Indonesia baru-baru ini telah menjadi ajang ‘penjualan diri’ para calon dengan cara yang unik sekaligus – sekali lagi – memaksa kesadaran untuk membentuk persepsi masyarakat atas para calon tersebut.

Sebagaimana direkam oleh Bandung Mawardi [Opini di Jawa Pos, 30 Juli 2015], para calon Kepala Daerah ‘berhasil’ mempertontonkan pesan simbolis melalui alat transportasi yang digunakan para calon ketika mendaftar ke KPU. Demokrasi menjadi tontonan yang unik tapi juga ‘picik’. Alat transportasi yang digunakan para calon tersebut [antara lain; delman, becak, sepeda onthel, baju surjan, caping, setum wales = alat berat untuk menghaluskan jalan, angkot, kuda] seolah menyimbolkan kesederhanaan, satu dengan rakyat, rendah hati, pokoknya apa pun yang ada di hati sanubari rakyat. Masyarakat ‘dipaksa’ dan diajak untuk menonton dagelan ini. Mengapa disebut dagelan? Karena tontonan tersebut adalah kebohongan. Dan tepatlah sebagaimana yang telah terjadi selama ini, bahwa ‘advertising is manipulating’.  Demokrasi adalah tontonan [iklan] yang justru menyajikan kebohongan bahwa rakyat seolah-olah paham akan arti demokrasi itu sendiri. Aspek irrasional dari tontonan tersebut – lantaran mungkin dianggap aneh – diangkat ke ranah kesadaran publik. Mungkin dikatakan aneh karena baru kali ini ada calon pejabat yang mau naik becak, naik delman, naik kuda. Dikatakan aneh juga mungkin karena simbol transportasi yang dipakai sungguh kontradiksi dengan keseharian peristiwa di jalan yang biasa diamati masyarakat.

Apa yang ditulis oleh Bandung Mawardi semakin menegaskan bahwa di Indonesia, suara rakyat bukan suara Tuhan. Tapi, suara rakyat adalah suara irrasional. Simbol-simbol yang dipertontonkan ‘memaksa’ masyarakat untuk merasa bahwa simbol-simbol tersebut memang sungguh-sungguh mewakili rakyat. Sebuah perasaan yang sebenarnya dibentuk dan dipermainkan sedemikian rupa sehingga perasaan itu berubah menjadi kebutuhan. Padahal, sebagaimana yang Freud nyatakan, demokrasi massa justru menandaskan aspek irrasional yang muncul ke ranah publik/masyarakat. Dan aspek ini haruslah dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak bersifat destruktif terhadap Negara itu sendiri. Dengan mempertontonkan simbol-simbol serta slogan-slogan, dengan menempatkannya pada posisi strategis [sehingga sedap untuk dilihat], dengan mengangkat kisah-kisah pahlawan atau tokoh wayang sebagai dagelan politik di ranah publik, dengan apa pun yang bisa menjadi simbol politis, ‘mind of the crowd’ yakni cara berpikir dan cara pandang masyarakat lantas dapat dibentuk. Dan kembali lagi, ini adalah persoalan menangkap ‘feeling on product’ dari perspesi masyarakat di bidang politik.

Harus diakui memang dalam nuansa demokratis-lah, hal ini bisa terjadi di mana masyarakat bisa diarahkan ke satu tujuan, yakni kesenangan dan kebahagiaan. Masalahnya, masyarakat Indonesia seolah tidak pernah kapok jika dulu pun pada peristiwa PilKada, Pemilu dan sebagainya, masyarakat pernah dikecewakan dan mungkin mau dikecewakan lagi. Jiwa per-politik-kan kita belum benar-benar dewasa. Politik sekedar hanya tampil sebagai tontonan sensasional dan menarik. Jikalau pun ada yang bermutu, itu pun hanya berapa persen saja. Pada titik inilah, iklan seharusnya mampu menampilkan semangat kedewasaan dalam demokrasi.

Dalam sektor industri, iklan kerap dimasukkan dalam kategori industri kreatif. Kemampuan iklan untuk mengubah mindset masyarakat telah menjadikan iklan sebagai senjata yang sangat ampuh. Fenomena perilaku konsumtif hingga terbentuk budaya konsumtif pun tidak bisa dilepaskan dari rekayasa mind of the crowd melalui iklan. Harus diakui bahwa masyarakat dewasa ini, terutama perkotaan sebagaimana yang penulis amati, telah masuk dalam pusaran sikap konsumtif itu sendiri. Parahnya, kaitan dari pemahaman konsumtif itu adalah materialistik.

Sebenarnya, mengapa disebut konsumtif? Ketika perilaku sudah menjadi kebiasaan, itulah yang dinamakan budaya. Budaya konsumtif pada dasarnya menegaskan prilaku masyarakat yang tidak kenal lelah dalam mengkonsumsi. Lantas, apa yang sebenarnya masyarakat konsumsi? Apa saja asal itu membuat masyarakat senang, gembira dan bahagia. Masalahnya, perasaan-perasaan seperti ini justru adalah perasaan yang harus terus dicari. Mengapa? Karena manusia tidak pernah puas. Dan inilah motif ekonomi itu. Dalam bingkai psiko-analisis, motif ini merujuk pada proyeksi Id itu sendiri. Dengan kata lain, masyarakat industri-modern sebenarnya sedang mengkonsumsi dirinya sendiri, consuming self. Dalam iklan, self diterjemahkan sebagai sebuah perkara hasrat, perkara keinginan.

Adalah benar bahwa setiap orang pasti mengingkan sesuatu bagi hidupnya. Dan hebatnya, iklan menafsirkan keinginan itu sebagai bentuk keinginan paling mendasar bagi manusia – yang tanpanya akan sulit untuk hidup. Keinginan dan kepuasaan sebagai bentuk pencapaian tujuan self  [Id, red] lantas diwujudkan dalam bentuk materi yang berbalut estetika. Dan poin terakhir yang hendak ditekankan adalah bahwa kebahagiaan lantas tercapai melalui consuming self. Kebahagiaan yang pada dasarnya adalah sebuah nilai luhur kemanusiaan lantas tereduksi pada hanya semata pencapaian materi belaka. Sejauh masyarakat aman, damai dan nyaman dengan dirinya, sejauh itu pula Negara dapat berjalan dengan lancar.

Daftar Pustaka

Adorno T & Horkheimer. Dialectic of Enlightenment. Stanford University Press: California, 2002.

Chodorow, Nancy J. Freud on Women dalam Cambridge Companion to Freud. Cambridge University Press: Cambridge, 2006.

Elliot, Anthony. Psychoanalysis and Social Theory dalam Jurnal Historical Developments and Theoretical Approaches in Sociology Vol.I tahun 2000. Bisa dilihat di http://www.eolss.net/sample-chapters/c04/e6-99a-13.pdf

Freud, Sigmund. Three Contributions to the Theory of Sex [The Project Gutenberg  EBook of Three Contributions to the Theory of Sex by Sigmund Freud], yang bisa diunduh dari http://www.gutenberg.org/files/14969/14969-h/14969-h.htm#p21

Marcuse H. Erros and Civilization [A Philosophical Inquiry into Freud]. Beacon Press: Boston, 1974

Mawardi, Bandung. Alat Transportasi Politik dalam Opini Jawa Pos edisi 30 Juli 2015.

Ricoeur, Paul. Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation. Yale University Press: London, 1970.

Schorske, Carl E. Freud: The psychoarcheology of civilizations dalam Cambridge Companion to Freud. Cambridge University Press: Cambridge, 2006.

[1] Poinnya adalah bahwa menurut Ricoeur, pemahaman Freud tentang Id pada dasarnya adalah tafisran atas budaya itu sendiri.

[2] Lih. Sigmund Freud. Three Contributions to the Theory of Sex [The Project Gutenberg  EBook of Three Contributions to the Theory of Sex by Sigmund Freud], yang bisa diunduh dari http://www.gutenberg.org/files/14969/14969-h/14969-h.htm#p21