Menurut Aristoteles manusia adalah mahkluk sosial (animale sociale). Untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, manusia tidak dapat mencukupinya secara individual. Secara individual, manusia hanya dapat mempertahankan hidupnya (vivere). Karena itu, manusia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama dalam satu masyarakat[1]. Pandangan ini kemudian diteologisasikan dengan menyatakan bahwa kodrat sosial manusia berasal dari Allah, Pencipta manusia. Ini berarti bahwa Allah memang menghendaki adanya kehidupan bersama dalam apa yang disebut negara. Namun, apa yang ditata dalam negara? Yang ditata adalah segala hal yang berhubungan dengan relasi antar manusia agar pengembangan potensi (aktualitas) manusia itu sendiri dapat dicapai sepenuh-penuhnya. Dengan kata lain, penataan demikian dapat terjadi jika ada kondisi yang memungkinkan, yakni perdamaian[2]. Pernyataan ini menarik karena berkenaan dengan hak tiap-tiap orang di mana
‘At the time of civil strife, therefore, it became a nice question for the subject to decide when he was justified in rebelling because of the government’s failure to preserve the peace’[3].
Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris, mengakui bahwa perdamaian begitu penting tapi ia menolak pandangan yang mengatakan bahwa adanya manusia adalah demi masyarakat[4]. Menurut Hobbes, sosialitas manusia dalam arti bahwa manusia mampu hidup dalam masyarakat (man is made fit for society) terjadi melalui pendidikan yang baik dan pengalaman[5]. Sebelum Hobbes, banyak filsuf membangun ajaran tentang berdirinya negara dari dasar pemikiran demikian. Seolah-olah perdamaian dapat tercapai dengan sendirinya atau dengan kata lain diandaikan karena kodrat sosial manusia. Hobbes berpendapat bahwa pemikiran tersebut berangkat dari pemahaman yang keliru mengenai kodrat manusia itu sendiri. Jika kodrat manusia, sebagaimana diterima sebelum Hobbes, merupakan dasar bagi berdirinya sebuah tatanan hidup bersama, lantas mengapa ada begitu banyak perang, pemberontakan yang melumpuhkan perkembangan sosialitas manusia itu sendiri.
Masa hidup Thomas Hobbes hampir seluruhnya diwarnai oleh pertikaian. Hobbes menggambarkan bagaimana hidupnya sendiri tidak pernah lepas dari ketakutan. Dirinya dan ketakutan seolah dilahirkan kembar ke dalam dunia ini[6]. Selama hidupnya, perkataan ini mencerminkan keinginan dan harapannya untuk hidup dalam situasi yang aman dan damai diantara berbagai peristiwa perang saudara dan perubahan peta kekuasaan politik di negaranya[7]. Karena itulah, Hobbes hendak mencari dasar di mana manusia dapat mencapai tata kehidupan bersama yang baik. Dengan ‘baik’ di sini dimaksudkan tidak adanya perang, pertikaian, kerusuhan, dan keadaan yang mengancam stabilitas tatanan tersebut. Karena itu, terciptanya perdamaian merupakan syarat pertama dan utama untuk stabilitas tatanan hidup bersama. Atau dengan lain kata, Hobbes hendak menggarap relasi timbal balik antara perdamaian dan kekuasaan yang mengatur tata hidup bersama itu.
Jalan pertama yang ditempuh Hobbes adalah dengan melihat kembali kepada keadaan di mana manusia belum memiliki tatanan sosial, belum bermasyarakat. Menurut Hobbes, dalam keadaan ini tiap manusia memiliki hak yang sama atas segala sesuatu yang disediakan oleh alam. Ketidaksamaan hak berasal dari hukum sipil (the Civil Law)[8]. Hak berarti apa yang perlu untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Dalam arti ini, hak yang dimiliki tiap-tiap orang bersifat fundamental, asasi lantaran langsung menunjuk kepada kelangsungan hidup (survival). Namun di satu sisi, persedian sumber alam untuk kelangsungan hidup manusia makin menipis. Di sisi lain, hak yang sama ini menghantar manusia kepada persaingan untuk memperoleh segala sesuatu yang diperlukan untuk hidup. Lantas apa yang terjadi? Yang terjadi adalah yang kuat memangsa yang lemah. Dengan kata lain, perang antar manusia. Dan karena ini melibatkan semua manusia, maka Hobbes menyebut keadaan ini perang semua melawan semua (a mere war of all against all).
Manusia adalah manusia yang menderita, tidak pernah merasa aman, lantaran manusia yang satu berpotensi menjadi serigala bagi dirinya. Kematian menjadi hal yang begitu menakutkan. Manusia, menurut Hobbes, hanya mementingkan diri sendiri. Karena itu, manusia bersifat individualis, egoistis. Relasi dengan sesama dilihat dalam kerangka kepentingan dirinya. Tiap orang menginginkan orang lain menghargainya sebagaimana ia menghargai dirinya sendiri. Sehingga dalam keadaan ini, ‘We find three principal causes of quarrel. First, competition; secondly, diffidence (that is mistrust); thirdly, glory’[9]. Hobbes melihat bahwa ini terjadi karena di dalam keadaan perang ini tidak ada aturan yang memaksa manusia untuk berbuat apa yang diperintahkan ataupun menjauhi apa yang dilarang. Demikian juga patokan kebaikan-keburukan, keadilan-ketidakadilan, dan lain-lain. Ukuran atau patokan dengan demikian sangat tergantung dari pemahaman manusia itu sendiri, yakni dalam apa yang dirasakan, diterima, diketahui melalui pengalaman[10].
Menurut Hobbes, adalah kodrat manusia untuk mencintai dirinya sendiri dan mengusahakan kebaikannya sendiri (pandangan ini kemudian dikenal sebagai egoisme psikologis)[11]. Menyangkal hak ini sama saja dengan menyangkal bahwa kita berhak untuk menjadi manusia, yang jelas-jelas mustahil, sebagaimana mustahil pula untuk menuntut binatang karnivora tidak memakan daging atau ikan untuk berenang. Namun, ini bukanlah hak dalam pengertian tradisional yakni menetapkan kewajiban pada orang lain, melainkan berarti semata-mata ‘kebebasan’. Oleh karena itu, dari kodratnya, manusia tidak memiliki kewajiban apa pun, tapi hanya ada hak-hak yang tak terbatas. Dalam situasi ini, tiap manusia perlu dan bisa melakukan tindakan apa pun, antara lain: mencuri, memperbudak dan bahkan membunuh agar tetap bertahan hidup.
Keadaan ini bagi Hobbes adalah keadaan di mana tidak ada peradaban dan hal-hal positif yang lahir darinya. Maka, keadaan alami (perang) sebenarnya merupakan kesimpulan dari keadaan dasar manusia dan penderitaannya[12]. Dalam Leviathan, Hobbes memberi keterangan, ‘In such condition there’s no place for industry because the fruit thereof is uncertain….and consequently no culture of the earth’[13]. Dan yang paling buruk adalah ‘continul fear, and danger of violent death, and the life ot man, solitary, poor, nasty, brutish and short.’[14]. Keadaan demikian membawa manusia untuk merenungkan keadaannya yang sulit ini. Melalui akal budinya (rasionalitasnya) manusia akhirnya memahami bahwa ‘peace is necessity for survival’[15] dan ‘suggesteth convenient articles of peace, upon which men may be drawn to agreement’[16].
Dengan perdamaian, itu berarti permulaan bagi tatanan kehidupan bersama dapat dimulai. Persoalan selanjutnya adalah siapa yang membuat tatanan ini agar kelanggengan perdamaian tetap bertahan dan bagaimana caranya. Menurut Hobbes, caranya adalah melalui perjanjian yang dibuat diantara tiap-tiap orang. Melalui perjanjian, mereka menyerahkan hak untuk memiliki segala sesuatu (right for all things) kepada seorang penguasa. Penguasa ini diciptakan oleh tiap-tiap orang yang mengadakan perjanjian (kontrak). Tujuannya adalah bahwa melalui penguasa ini segala aturan dan hukum dapat dijaga dan dipertahankan demi hidup bersama. Hukum dan aturan yang diciptakan oleh tiap-tiap orang yang berjanji sekaligus menuntut kewajiban untuk ditaati sehingga perdamaian dapat langgeng. Tapi, mengapa diperlukan seorang penguasa? Karena perjanjian (kontrak) yang mengikat tiap-tiap orang yang mengadakan perjanjian tersebut sangat rapuh. Adanya kebebasan untuk tidak melaksanakan apa yang menjadi perjanjian tersebut perlu dihapus. Maka kata Hobbes, ‘For where liberty ceaseth, there beginneth obligation’[17]. Dan Hobbes menyebut penguasa ini sebagai Leviathan, the mortal God, yakni Allah yang dapat mati
[1] Aristoteles. Politic I. 2 (dibaca buku pertama, artikel no.2)
[2] Richard Peters. Hobbes. Hal. 34-35.
[3] Idem. Hal.32
[4] Thomas Hobbes. De Cive I.2 (dibaca bab 1 artikel nomor 2).
[5] Thomas Hobbes. Preface to the Reader dalam De Cive. (untuk memudahkan, selanjutnya penulis hanya akan menyebutkan karyanya saja, tanpa menyertakan namanya).
[6] Sterling P Lamprecht. Introduction dalam De Cive. Hal. XV.
[7] Hobbes menemukan dirinya dalam suatu negara di mana perdamaian dan keamanan tidak menjamin hidupnya untuk mengerjakan karya-karya ilmiahnya. Tuntutan kebebasan dan tuntutan perwakilan yang adil di pemerintah oleh aneka kelompok (pedagang, petani, orang-orang profesional, dll) justru menempatkan negara dalam keadaan yang sama sekali tidak mendukung untuk keamanan dan perdamaian. Lih. Richard Peters. Op Cit. Hal. 43-44; Ian Johnston menjelaskan aneka faktor yang terkait dengan hal ini seperti runtuhnya kesatuan agama, pertumbuhan kapitalisme, perubahan kependudukan, dan adanya toleransi. Lih. Ian Johnston. On Hobbes’s Leviathan dalam http://www.statcounter.com diakses tanggal 12 Februari 2008.
[8] De Cive I.3.
[9] Leviathan I.13 (dibaca buku pertama bab 13).
[10] De Cive I.7.
[11] Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_Rights diakses tanggal 4 Oktober 2007.
[12] F. Copleston. A History of Philosphy: The British Philosophers from Hobbes to Paley. Hal. 42
[13] Leviathan I.13.
[14] Idem.
[15] Richard Peter. Hobbes. Hal. 158-159.
[16] Leviathan I.13.
[17] De Cive I.10.