Salah satu pemikiran Machiavelli yang terkenal adalah gagasannya mengenai pemimpin totaliter. Dampak pemikirannya juga luas di masa Renaisans. Yang kemudian membedakan adalah kesalahpahaman dalam memahami gagasannya. Seringkali dan umumnya, sifat kejam, tragis, destruktif dilekatkan pada pemikiran Machiavelli secara mutlak. Apakah pemikiran Machiavelli memang tanpa pengandaian apa pun? Tampaknya bahwa gagasan demikian jelas tidak dibangun atas dasar situasi sosial yang benar-benar aman dan damai sebagaimana studi sejarah atas situasi politik-sosial Republik Florence di mana Machiavelli hidup.
Pengantar di atas hanya pikiran spontan yang muncul saat menyaksikan bagaimana persoalan HAM seringkali dibenturkan dengan upaya melawan terorisme. Mari melihat misalnya mengapa RUU Anti-Teror (Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) belum juga disahkan? Satu alasan yang paling kuat adalah beberapa pasal berpotensi melanggar HAM. Menurut catatan Kontras, ada 11 pasal yang bermasalah dengan HAM. Di lain pihak, Indonesia sebagai Negara yang menganut paham demokrasi, menjunjung tinggi setiap proses penegakan HAM lantaran proses tersebut pada dasarnya wujud berdemokrasi itu sendiri. HAM bukan produk Barat, Timur, Utara, atau Selatan. Adanya penegakan HAM dalam aturan dan hadirnya sebuah Lembaga/Institusi (Komnas HAM, dsb) menunjukkan Negara serius dalam masalah ini. Poinnya, Negara menghormati dan menghargai tiap individu sebagai anggota warganya. Bagaiamana dengan terorisme?
Dulu, pernah muncul di koran Kompas (Juli 2004), opini atau lebih tepatnya kritik tajam atas Pembatalan UU Anti Terorisme Bom Bali yang menegaskan positivisme hukum atas pembatalan UU tersebut. Ya, dulu pernah dibatalkan. Sekarang, sejak 2003, salah satu yang diperdebatkan adalah justru persoalan HAM (selain keterlibatan TNI) atas draf Revisi UU Tindak Pidana Teror nomor 15 tahun 2003. Dan, tragisnya, aksi teror tidak menungggu sah-nya UU tersebut.
Pada tahap ketidakpastian inilah (ditambah dengan aneka peristiwa sebelumnya), masyarakat kemudian merindukan sosok kuat bertangan besi. Meme maupun gambar disertai tulisan ‘puenak jamaku tho’ banyak bertebaran di media sosial hingga terpampang di belakang truk. Yang buat onar, keributan langsung sikat. Masa bodo dengan perbandingan utang luar negeri, korupsi, dan sebagainya. Yang penting hidup aman dan damai. Masalahnya, kerinduan ini apakah setara dengan ketentraman, kenyamanan, dan potensi untuk hidup lebih baik? Dalam sistem demokrasi, kehidupan sosial, politik, dll selalu berada dalam dinamika proses. Para ahli politik bilangnya sebagai bandul yang bergerak. Dalam Novel, ini disebut ciri ambivalensi. Ya, karakter ambivalensi-nya yang membuat Novel tersebut menyenangkan dan asyik dibaca.
Dan untuk TERORISME. Saya jadi teringat Goebbels. Joseph Goebbels (Menteri Propaganda NAZI Jerman) dalam suatu kesempatan pidato berkaitan dengan tuntutan Inggris atas Jerman supaya menyerah menyatakan bahwa orang-orang Jerman akan memberikan perlawanan sengit (a Total War) terhadap Inggris. Dan saking sengitnya perlawanan tersebut, dampak/akibatnya tidak akan pernah terbayangkan sebelumnya (oleh Inggris). Goebbels adalah seorang propaganda sejati. Pernyataan ‘tidak pernah terbayangkan sebelumnya’ merujuk pada kewajiban untuk memberikan segala-galanya pada Fűhrer sehingga dampak yang ditimbulkan akan diingat terus oleh tiap orang.
Sekali lagi, dengan bermain atas persepsi, gambar potongan tubuh korban atau pun pelaku yang disebarkan di media justru mampu mempertegas ‘dampak yang tidak pernah terbayangkan’. Jangan memberi ruang bagi persepsi demikian. Kita tidak dalam suasana perang. Hanya orang seperti Goebbels yang beranggapan bahwa dunia ini perlu ditata dengan cara revolusioner dan karena itu itu orang lain harus taat serta tunduk. Jika tidak mau, tunggu akibatnya.