Dalam bingkai filsafat, masyarakat modern ditandai dengan kemampuan diri untuk menentukan sendiri hidupnya. Manusia tidak tunduk lagi pada apa yang ada di luar dirinya. Manusia harus menaklukkan alam untuk kepentingan dirinya. Caranya? Dengan memahami regularitas dan hukum-hukum yang berlaku di alam. Dengan cara ini, manusia dapat menguasai dan mengontrol alam sekitarnya. Proses memahami hukum dan regularitas ini disebut dengan ilmu yang harus memiliki karakter ontologis, epistemologis dan aksiologis. Maka, kemampuan manusia memahami hukum yang berlaku di alam akan menentukan perkembangan manusia itu sendiri sebagaimana dinyatakan Francis Bacon, ‘Science is Power’. Lantaran hal ini pula, ilmu lantas berurusan dengan metode/cara. Modern karena itu [dari Latin, Modus yang berarti cara, metode, ritme] berkaitan dengan cara-cara untuk mencapai kemajuan termasuk di dalamnya kemajuan masyarakat.
Pemahaman mengenai bagaimana mencapai kemajuan suatu masyarakat selalu menegaskan cara dan prosesnya di mana masyarakat diarahkan ke sana. Bahkan, dapat dikatakan secara lebih ekstrim, bagaimana membentuk masyakarat supaya tujuan itu tercapai. Dalam perjalanan sejarah, pertanyaan bagaimana telah dirumuskan dan diejawantahkan oleh berbagai pihak sedemikian rupa. Sebut saja, misalnya, sistem pemerintahan komunis, aristokrasi, absolutisme, sosial-nasionalis, demokrasi dan sebagainya. Namun, dengan semakin menajamnya kesadaran masyarakat atas kondisi kehidupannya, sistem pemerintahan pun terkadang juga berubah isi dan bentuknya atau berubah bentuknya namun isinya tetap. Salah satu contoh misalnya Negara Cina. Cina dengan ideologi komunisnya justru lebih banyak menerapkan paham kapitalisme dalam prakteknya. Perubahan ini pun berlaku bagi masyarakat yang menganut asas demokrasi. Bukan untuk mengatakan bahwa demokrasi tidak cocok. Tapi, persoalan utamanya adalah masyarakat itu berkembang. Dan perkembangan ini jelas menyangkut pola pikir dan kesadaran.
Salah satu cara membantu mengarahkan dan bahkan membentuk pola pikir masyarakat modern supaya tujuan tercapai adalah dengan iklan. Iklan merupakan sarana yang mudah untuk membentuk dan mempengaruhi pola pikir masyarakat dan kerap ini terjadi tanpa langsung disadari oleh masyarakat itu sendiri. Harus diakui bahwa peran penting psikologi terutama psikoanalisis sangat luar biasa bagi pembentukan pola pikir masyarakat. Yang menjadi lebih hebat dan sekaligus menyimpan bahaya adalah ketika iklan masuk dunia politik. Iklan menjadi alat untuk mengontrol massa. Tujuannya? Sederhana saja, yakni agar masyarakat merasa bahagia. Tapi, apa itu iklan sebenarnya? Mengapa iklan begitu penting dalam rangka kemajuan masyarakat?
Mengapa Iklan?
Sejarah munculnya iklan memang tidak terlalu jelas. Yang jelas adalah bahwa iklan muncul pada masyarakat industri. Secara etimologis, kata iklan [Inggris, advertising] dapat diasalkan dari bahasa Latin, yakni advertere. Kata Latin ini berarti menarik perhatian seseorang untuk [draw one’s attention to]. Dengan pengertian demikian, dunia industri jelas memerlukan sebuah daya tarik, product appeal, untuk memasarkan hasilnya. Cara memasarkan hasil inilah yang digarap secara luar biasa dalam dan melalui iklan. Ketika masyarakat industri menghadirkan dirinya sebagai sebuah budaya industri, maka fungsi iklan lantas tak dapat dihindari.
Iklan dalam masyarakat industri pada dasarnya adalah sarana untuk mengontrol pikiran masyarakat. Mengapa bisa demikian? Salah satu faktornya adalah lantaran masyarakat telah terhisap dalam sebuah rasionalitas teknis-mekanis. Istilah ini memang cukup membingungkan. Tapi, akan sangat membantu jika melihat apa yang dimaksud istilah ini ketika Adorno dan Horkheimer mengajukan kritik tajamnya atas budaya industri. Dalam bukunya berjudul Dialectic of Enlightenment, mereka berdua menyatakan bahwa dalam masyarakat industri, semua hal adalah identik. Semua hal memiliki bentuk standarnya karena memang inilah keinginan masyarakat. Lantaran identik, maka menurut mereka berdua, rasionalitas teknis-mekanis pada dasarnya adalah rasionalitas dominasi. Bukan lagi perkara dominasi fisik, melainkan inilah dominasi kesadaran [2002: 94-96]. Dan pada proses dominasi demikian, iklan menjadi senjata ampuh untuk mengarahkan kesadaran sebagai rasionalitas yang bertujuan.
Apakah benar dikatakan sebagai rasionalitas? Rasionalitas di sini bukanlah dipahami sebagai yang dimiliki oleh kesadaran manusia. Rasionalitas di sini lebih memaksudkan cara kerja industri itu sendiri. Justru manusia-nya yang dibentuk sedemikian rupa oleh cara kerja industri. Dengan kata lain, industri memiliki ‘rasionalitas’-nya sendiri. Teknologi budaya industri telah menghilangkan dimensi arti kerja manusia dan membatasinya hanya pada upaya standarisasi dari produknya. Prinsip dasar dari produk industri demikian lantas adalah kesamaan. Dan semua proses yang terlibat di industri sebenarnya bergerak atas dasar irrasionalitas masyarakat itu sendiri.
Ada semacam slogan dari budaya industri bahwa segala sesuatu mengalir dari kesadaran. Tapi, apa itu kesadaran? Kesadaran adalah perkara seni [mass art]. Lantaran seni pada dasarnya adalah sebuah tindakan mencipta, maka kesadaran yang dilihat sebagai seni [mass art] haruslah bisa diciptakan dan dibentuk sedemikian rupa. Itulah mengapa kemudian Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa manusia adalah sebuah ‘produk’ daur ulang dari proses budaya industri itu sendiri [2002: hal.100]. Pemahaman manusia yang demikian jelas tidak dapat dipisahkan dari permainan iklan itu sendiri. Apa yang ditampilkan oleh iklan adalah sebuah kecenderungan budaya industri yang jelas mempermainkan dan mengubah ‘daging dan darah masyarakat’ [2002: hal.108] melalui proses sosial yang diperkuat oleh kehadiran pasar dalam budaya industri.
Apa yang dilihat sebagai proses sosial harus dilihat dalam bingkai permintaan-penawaran sebagaimana berlaku di pasar. Pada poin inilah, harus diakui bahwa kodrat manusia sebagai Homo Oeconimous sungguh dieksploitasi secara hebat. Relasi manusia dengan sesamanya, dengan Negara, dengan apa pun itu lantas dilihat dalam bingkai demikian.
Freud dan Masyarakat Industri
Bagian ini jelas tidak hendak ingin membahas secara panjang lebar pemikiran Freud tentang psiko-analisis itu sendiri. Tulisan ini hendak melihat arti penting pemikiran Freud tentang psiko-analisis dalam ranah sosial melalui bingkai filosofis. Harus diakui, Freud dan psiko-analisisnya telah memainkan peran penting bagi kemajuan masyarakat industri. Semenjak Hegel, diskursus filosofis mengenai masyarakat berkembang dari struktur masyarakat itu sendiri, proses sosial dan transformasinya hingga ke persoalan bahasa dan interpretasi makna. Dewasa ini, pertanyaan dan ruang lingkup tersebut mendapat locus sociologis-nya melalui kerangka psiko-analisis. Pemikiran Freud mengenai subjektivitas telah menempatkan pemahaman bahwa masyarakat bukan lagi dilihat secara impersonal sebagai atau proses atau struktur atau institusi. Melainkan masyarakat dipahami sebagai sebuah dinamikan dari ‘an inner world, of our most personal needs, passions and desire’ [Elliot, 2000]. Dengan dasar demikian, analisis sosial lantas berurusan dengan ‘jiwa’ masyarakat itu sendiri.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, masyarakat industri dicirikan oleh karakter teknis-mekanis. Dengan ciri demikian, lantas apakah dapat ditanyakan seperti “apa yang menjadi ‘jiwa’ masyarakat demikian”? atau “apakah yang dimaksud sebenarnya dengan‘jiwa’ tersebut? Untuk memahami hal ini, mari melihat apa yang dikatakan Marcuse tentang Freud dalam bukunya berjudul Eros and Civilization. Menurut Marcuse, teori Freud tentang subjektivitas justru menyatakan secara diam-diam bahwa sejarah manusia adalah sejarah penindasan. Budaya bukan hanya membatasi karakter societas-nya, tapi juga eksistensi bio-logis; bukan hanya membatasi unsur-unsur manusia, tapi juga struktur instinktif itu sendiri [Marcuse, 1974:12]. Secara tidak langung, pemikiran Marcuse ini memperlihatkan secara tajam bahwa budaya industri dengan karakter teknis-mekanisnya pada dasarnya adalah instrumen bagi hasrat, keinginan manusia yang harus dipuaskan. Caranya? Dengan menciptakan [memproyeksikan] hasrat, keinginan sebagai sebuah bentuk material yang berbalut estetika. Dan bentuk atau wujud material itu haruslah identik dengan [sameness, identical] Id sebagai pusat subjektivitas manusia. Inilah yang kerap disebut sebagai materialisme-konsumtif.