Grotius bukanlah orang pertama yang berbicara mengenai hukum kodrat. Tetapi, sumbangannya mengenai hukum internasional merupakan pemikiran baru di mana perbedaan antara hukum kodrat dan hukum historis memiliki poin esensial di dalamnya. Dalam arti tertentu, Grotius memang masih merujuk ke hukum kodrat. Namun, ini dilakukan untuk menunjukkan kebenaran yang mengalir dari hukum kodrat mengenai gagasan-gagasan tertentu yang pasti, sebegitu pastinya, sehingga tidak seorang pun dapat menyangkalnya tanpa melanggar kodratnya sendiri.[1]
Menurut Grotius, manusia bukan hanya cenderung untuk mencari keuntungannya sendiri, melainkan memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat.[2] Dan sejalan dengan Aristoteles, Grotius menunjukkan kecenderungan manusia ini dalam bidang bahasa. Lebih dari sekedar mengeluarkan suara, berbicara berarti mengetahui apa yang diungkapkan dan juga bertindak menurut prinsip-prinsip yang berlaku. Prinsip yang dimaksudkan oleh Grotius adalah prinsip moralitas yang ditanam oleh Allah dalam hati dan pikiran manusia. Dan prinsip ini ditegaskan oleh akal budinya.
Di sini, moralitas sebenarnya adalah bahasa yang telah diubah atau ditransisi dari apa yang disebut dengan prinsip self-preservation. Mempertahankan diri (self-preservation) merupakan hukum kodrat yang mendasari hidup manusia selain kewajiban untuk tidak merugikan dan membahayakan hidup orang lain. Bagi Grotius, kodrat manusia demikian menjadi sumber hokum.[3]Di pihak lain, institusi dan hukum bangsa-bangsa merupakan hasil (akibat) dari kehendak manusia. Pada poin ini, Grotius mengajukan apa yang disebut dengan kehendak bebas Allah (the free will of God) sebagai sumber hukum selain hukum kodrat tadi.
Sumber hukum ini bukan sama sekali berbeda dengan hukum kodrat. Menurut Grotius, semua orang yang berkehendak untuk hidup bersama membuat perjanjian yang bisa mengatur mereka. Pada poin inilah, Grotius memahami bahwa hak-hak sipil diturunkan dari perjanjian tersebut. Prinsip ini disebut Grotius sebagai prinsip kegunaan. Tapi, berbeda dengan Carneades yang menyatakan prinsip kegunaan sebagai sumber keadilan dan hak (sebab baginya hukum kodrat tidak ada), Grotius memahaminya lebih sebagai tambahan (supplements. Latin: accedit) bagi hukum kodrat. Dengan kata lain, prinsip kegunaan ini melengkapi hukum sipil.[4] Dasar dari prinsip ini adalah bahwa manusia secara individual itu lemah dan memerlukan banyak hal untuk hidup dengan baik.[5] Atau dengan kata lain, manusia selalu cenderung untuk masuk dalam suatu komunitas (comunio) yang dapat memberi perlindungan pada hidup mereka.
Berkaitan dengan hukum suatu bangsa, lantaran menerapkan prinsip kegunaan ini demi sesuatu yang hendak dicapai, maka hal ini berlaku juga bagi relasi antar bangsa. Hukum-hukum tertentu yang mengatur relasi bangsa satu terhadap yang lain ditetapkan melalui perjanjian. Hukum yang ditetapkan melalui perjanjian ini disebut dengan hukum internasional (ius gentium). Poin penting yang diangkat oleh Grotius di sini adalah keadilan yang disandingkannya dengan Allah lantaran keadilan adalah kehendak Allah sendiri.[6] Sebagaimana manusia cenderung masuk dalam suatu komunitas, maka suatu bangsa pun akan melakukan hal yang sama. Ini terjadi, menurut Grotius, lantaran jika suatu bangsa hanya membatasi diri pada hukum yang berlaku di dalamnya, bangsa tersebut rentan membuka konflik dengan bangsa lain.
Untuk alasan-alasan inilah, Grotius melihat bahwa di antara bangsa-bangsa mesti terdapat hukum bersama yang menjadi patokan dan kekuatannya terutama yang berkaitan dengan perang. Pada masanya, Grotius melihat bahwa hampir di seluruh dunia kekristenan terdapat semacam ‘a license in making war’[7] (ijin untuk berperang) yang menyebabkan hukum ilahi dan hukum manusia kehilangan kekuatan dan daya wajibnya.[8] Karena itu, ia berusaha mendeduksi prinsip-prinsip hukum, baik itu dari kodrat maupun dari suatu kesepakatan bersama, untuk menunjukkan bahwa prinsip-prinsip hukum tersebut ‘Bersifat nyata dan jelas dalam cara yang sama seperti segala sesuatu yang kita rasakan dengan panca indera kita; karena prinsip-prinsip ini tidak akan menipu kita jika panca indera kita ditentukan dengan benar dan hal-hal yang perlu lainnya tidak dikehendaki’.[9]
[1] Hugo Grotius. On The Law of Peace and War dalam Dagobert D Runes (ed.). A Treasury of Philosophy. Hal. 453 di mana dikatakan ‘Di tahap awal, merupakan tujuanku untuk merujuk pada kebenaran segala sesuatu yang masuk dalam hukum kodrat yang begitu pasti dan sebegitu pastinya sehingga tidak seorang pun dapat menyangkal tanpa menghianati kodratnya sendiri’.
[2]Idem. Hal. 446-447. Ini dikatakannya untuk melawan pendapat Carneades yang menyatakan manusia hanya cenderung mencari keuntungannya sendiri. Karena itu baginya, tidak ada yang namanya keadilan. Jika ada, ‘Hal itu merupakan kebodohan karena justru membahahayakan dirinya sendiri ketika menerima kepentingan orang lain’.
[3]Idem. Hal. 448 ‘Hukumlah yang menetapkan apa yang perlu bagi kesejahteraan tiap orang; ganti rugi barang milik orang lain yang kita ambil dan keutungan yang kita dapat dari barang tersebut; kewajiban untuk memenuhi janji-janji; Ganti rugi atas barang yang dirusakkan; dan hukuman yang setimpal’.
[4] Bahwa prinsip kegunaan diperoleh dari perjanjian dan perjanjian itu sendiri diadakan karena kehendak manusia, dijelaskan Grotius sebagai berikut ‘Dasar bagi hukum sipil adalah kewajiban karena kesepakatan dan karena daya ikat kesepakatan itu diperoleh melalui hukum kodrat, kodrat karena itu dapat dikatakan menjadi dasar utama bagi hukum sipil’. Lih. Idem. Hal. 450.
[5]Idem.
[6]Idem. Hal. 451 dimana dikatakan ‘Poin pentingnya adalah bahwa keadilan memiliki sandingannya atau sahabatnya yakni Allah, …; Ia mempersiapkan putusanNya bagi kehidupan lain, namun dengan cara yang serupa Ia sering memperlihatkan keputusanNya dalam hidup ini’.
[7]Idem. Hal. 452.
[8]Idem. Berikut kutipan lanjutannya, ‘Sebagaimana tiap orang memiliki kekuatan untuk melakukan kejahatan tanpa batas’.
[9]Idem. Hal. 453.