Setiap orang akan sepakat bahwa hal yang terpenting untuk diketahui adalah apakah kita tidak ditipu oleh moralitas

Everyone will readily agree that it is of the highest important to know whether we are not duped by morality

(Emmanuel Levinas, preface in Totality and Infinity)

Levinas, harus diakui, merupakan seorang filsuf yang mencetuskan cara berpikir baru dalam memahami relasi antar manusia (walaupun cukup mengherankan lantaran baru tahun 1980-an pemikirannya hangat dibicarakan setelah bukunya yang terkenal terbit tahun 1961 di Belanda). Di mana letak kebaruan (kedalaman, red) cara berpikirnya? Untuk hal ini, mari kita melihat tanggapan Levinas atas cara berpikir sebelumnya di mana cara berpikir tersebut berpuncak dalam peristiwa NAZI (di mana Levinas juga pernah menjadi tahanan tahun antara 1940-45). Menurut Levinas, seluruh Tradisi Filsafat Barat didasarkan pada sebuah ontologi; seperti kesamaan, hubungan timbal-balik, rasionalitas, Dunia Idea, Roh, atau Ada. Penjelasan detail atas hal ini ditemukan dalam esainya berjudul “Is Ontology Fundamental

Esai ini menggambarkan tanggapan Levinas atas momen di mana Heidegger sempat menerima NAZI dalam hidupnya. Bagi Levinas, adalah sesuatu yang membingungkan di mana Heidegger – salah seorang filsuf besar – dapat membuat kekeliruan fatal seperti ini. Poin utama dari kritik Levinas terhadap pemikiran Heidegger dalam esai itu adalah pemahaman mengenai ADA selalu mengandaikan adanya relasi dengan orang lain. Tanpa relasi demikian, pemahaman Dasein akan ADA menjadi tidak mungkin. Dengan kata lain, relasi dengan orang lain inilah awal dari filsafat, BUKAN Ada itu sendiri (dapat dicontohkan Ada itu seperti Matahari di mana tanpa matahari manusia tidak akan dapat melihat apa pun). Bagi Levinas, inilah poin – relasi manusia dengan yang lainnya – yang dengan tegas dan gamblang menunjukkan bahwa Etika pada dasarnya adalah Filsafat Pertama.

Dasar Ontologi bagi Etika karena itu diletakkan pada Relasi dengan Orang Lain oleh Levinas. Akan tetapi, relasi antar manusia ini tidak pernah dapat dipahami sepenuhnya. Mengapa? Rupanya, Levinas berusaha keluar dari pemikiran raksasa Heideggerian waktu itu. Maka, menurut Levinas, relasi dengan orang lain melampaui pemahaman apa pun juga. Ia tidak dapat dikategorikan atau ditematisasi. Jika dapat, maka orang lain justru dapat aku ‘kuasai’. Jika terjadi demikian, kehadiran orang lain menjadi objek bagiku. Parahnya, bagi Levinas, ini pun bahkan dapat menjadi objek epistemologis. Inilah yang terjadi pada peristiwa NAZI di mana ketika manusia menekankan dan memaksakan KESAMAAN (the Same) dengan yang lainnya, selalu ada pihak yang dapat menghancurkannya dengan berkata ‘Aku berbeda dari yang lain’. Bagaimana Levinas memberi solusi atas hal ini?

Dengan memahami bahwa Etika adalah Filsafat Pertama di mana Etika di sini dipahami sebagai sebuah relasi antar manusia, maka Levinas mengajukan gagasan Wajah untuk Etika-nya. Mengapa Wajah? Dalam hidup sehari-hari, Wajah merupakan hal pertama yang dijumpai. Di sini, Levinas bukan semata berbicara soal fisik. Yang ia tekankan adalah perjumpaan Wajah (dalam bahasa Levinas disebut Face-to-Face relation, red) selalu mendahului SEMUA hal. Kok bisa?

Ketika Aku menjumpai seseorang, maka hal pertama yang mengatakan dia ada adalah Wajah. Wajah seolah ‘menyerang’, punya karakter provokatif. Wajah mendahului semua aturan, norma dan tatanan dalam hidup sosial. Bahkan menurut Levinas, Wajah tidak memiliki tempatnya dalam dunia. Mengapa tidak ada tempat? Karena jika ada, maka Wajah menjadi persoalan tematis dan menjadi sebuah personalan epistemologis. Dari Parmenides hingga Heidegger, cara berpikir inilah yang Levinas sebut sebagai Totalitas (Bukunya yang terkenal berjudul Totality and Infinity). Totalitas menggambarkan usaha pendasaran Etika pada sebuah Metafisika (Contoh, pemahaman mengenai Ada seperti Ada itu Satu, Ada itu Benar, Ada itu Indah). Metafisika demikian justru mengandung karakter kekerasan. Mengapa? Karena ia memaksakan Yang Lain untuk menjadi Yang Sama (The Sameness). Apa ini berarti Etika yang dipikirkan Levinas menjadi sebuah Etika yang tanpa dasar – An Ungrounded Ethics? Sulit untuk tidak menjawab Ya.

Bagi Levinas, relasi Face-to-Face adalah relasi asimetris. Relasi ini tidak menekankan kesamaan. Lha, kalau tidak sama lantas bagaimana saya memahami Orang Lain? Wajah tidak pernah dapat tuntas DIPAHAMI. Wajah selalu lolos dari pemahaman yang manusia miliki. Lagi, menurut Levinas, BUKAN Orang Lain yang datang dan diam lalu dipahami, melainkan Aku-lah yang menhadirkan diri-ku bagi Orang Lain. Levinas memberi contoh dari panggilan Abraham.

Dalam Kitab Kejadian 22:1 digambarkan bagaimana Allah memanggil Abraham. Yang menarik perhatian Levinas adalah jawaban Abraham, dalam bahasa Ibrani, yakni Hineni. Hineni (Inggris, Here I am) pada dasarnya adalah sebuah tindakan ‘yang menghadirkan diri sendiri’ kepada seseorang. Menurut Levinas, hineni adalah sebuah perintah dari dalam diri atas kehadiran Orang Lain. Perintah ini menjadi kewajiban fundamental bagi tiap manusia. Tanpa kewajiban demikian, seluruh prinsip moral tidak akan berarti apa-apa. Apakah ini berarti bahwa Wajah yang ditemui sehari-hari menampilkan Wajah Allah sehingga manusia TIDAK BOLEH (bentuk perintah negatif) menghancurkan dan membunuh sesamanya?

Pertama harus dikatakan bahwa Wajah tidaklah mewakili atau menghadirkan Wajah Allah. Jika Wajah memperantarai – katakanlah demikian – maka pemahaman ini terjebak dalam metafisika yang justru ditolak Levinas. Dalam pandangan Levinas, rusaknya tata hidup bersama bukanlah terletak pada Etika-nya, melainkan ada yang keliru dengan dasar metafisikanya. Kalau begitu, apa maksud Levinas dengan menyatakan bahwa kehadiran Wajah adalah ungkapan sebuah Epifani – sebuah gagasan teologi yang menyatakan kehadiran diri Allah?

Levinas sangat genial dalam hal ini. Ia merubah pemikiran Descartes mengenai bukti Adanya Allah. Masih ingatkan gagasan Descartes mengenai bukti Adanya Allah? Bagi Descartes, fakta bahwa pikiran manusia itu tak terbatas menunjukkan dengan telak adanya Allah. Mengapa? Karena Allah yang Tak Terbatas inilah yang memberikan pemahaman itu ke dalam pikiran manusia. Walaupun mendapat kritik tajam lantaran kemacetan logikanya (sehingga Descartes harus mencari jalan keluar dengan mengemukakan argumen Adanya Allah), perhatian Levinas bukanlah pada logika Descartes. Levinas justru lebih tertarik pada gagasan ketakterbatasan tersebut. Mengapa? Karena bagi Levinas, gagasan ketakterbatasan tersebut menggambarkan bahwa ‘pikiran manusia dapat melampaui apa yang dapat dipikirkannya’. Levinas sendiri memang tidak menerima gagasan Descartes atau bahkan memahami bahwa Orang Lain itu adalah Allah, melainkan Levinas menggantikan gagasan Allah itu dengan Orang Lain. Karena itu, kehadiran Wajah Orang Lain selalu melebihi atau melampaui pemahaman yang aku miliki atasnya. Wajah itu hadir, namun tetap terselubung. Bahkan, menurut Levinas, Logos bukan hanya menjadi daging, tapi juga menjadi Wajah.

Catatan:

Tulisan ini disarikan dari buku The Cambridge Companion to Levinas terutama dari artikel Introduction (Simon Critchley), Levinas and Judaism (Hilary Putnam), Levinas and the face of the other (Bernhard waldenfels), Evil and the temptation of theodicy(Richard J. Bernstein)