Dalam kehidupan masyarakat tradisional, upacara dengan segala bentuk dan cara-caranya memainkan peran vital dalam menjaga keutuhan dan keharmonisan. Mengapa? Menurut Rene Girard, seorang antropolog terkemuka dalam 30 tahun terakhir ini, upacara menjadi dasar bagi terbentuk dan perkembangan masyarakat dengan segala nilai-nilainya. Di dalam upacara, segala kekerasan yang mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat dapat disalurkan kepada korban baik itu binatang maupun manusia.

Dengan disalurkan, maka perpecahan dan pertikaian (realitas kekerasan) dapat ditiadakan sehingga perdamaian dan keharmonisan tercipta kembali. Akan tetapi, perdamaian yang tercipta itu rapuh, maka upacara tersebut mesti dilakukan secara berkala. Inilah yang disebut Girrard sebagai mekanisme Kambing Hitam[1].

Dengan memahami arti penting upacara secara demikian, penulis hendak membahas Upacara Gajah Lompat yang diadakan oleh marga Siregar/Salak. Karena itu, sebagai rujukannya, penulis menggunakan sumber dari buku Tuanku Rao. Alasan utama adalah karena hanya di dalam buku ini penjelasan secara rinci tentang upacara tersebut dapat ditemukan. Akan tetapi, penggunaan sumber dari buku-buku lain tidak disingkirkan. Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini akan diperlihatkan arti penting upacara ini bagi kebudayaan Indonesia.

Kebudayaan Batak

Bagian ini pertama-tama akan dibuka dengan uraian asal-usul orang-orang Batak. Lantas dilanjutkan dengan uraian singkat tentang sistem keagamaan (religi) dan tata pemerintahannya yang dibahas satu per satu.

Asal-usul Orang-orang Batak

Dari sudut etnologi, orang-orang Batak termasuk dalam ras proto-Melayu. Sebelum memasuki pulau Sumatera, suku bangsa Batak menempati wilayah sekitar pegunungan Bukit Barisan di perbatasan Burma/Siam (Thailand) selama kurang lebih 3000 tahun (kira-kira 100 generasi). Di wilayah ini mereka tinggal bersama dengan suku bangsa-suku bangsa lainnya[2]. Ciri umum suku bangsa ini adalah tinggal di tempat terpencil. Artinya, menolak hubungan dengan dunia luar, terutama dengan orang-orang dari pantai laut yang kerap membawa agama baru[3]. Akan tetapi, kira-kira tahun 1000 SM, suku bangsa Mongol dari utara mendesak ke arah selatan. Desakan ini mengakibatkan suku bangsa Palae Mongoloid yang menempati wilayah utara dari suku bangsa proto-Melayu mendesak suku bangsa ini. Suku bangsa proto-Melayu terdesak sampai ke tepi laut, tepatnya sekitar Teluk Martaban. Di pemukiman yang baru ini, sedikit demi sedikit mereka dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Kontak dengan kebudayaan Hindu mengakibatkan suku bangsa proto-Melayu mengambil istilah-istilah budaya Hindu. Istilah-istilah yang masuk ke dalam kebudayaan Batak sendiri antara lain seperti Debata, Singa, Batara, Mangaradja, dan lain-lain.

Karena berbagai alasan[4], mereka akhirnya menyeberangi lautan untuk menemukan tempat pemukiman baru. Suku bangsa Batak yang ikut menyeberang akhirnya sampat di pantai Barat Pulau Andalas (Pulau Sumatera) melalui 3 gelombang[5]. Dari gelombang ketiga inilah (kurang lebih 1300 Masehi[6]), suku bangsa Batak yang kita kenal sekarang ini, menduduki wilayah antara Aceh dan Minangkabau, antara Samudera Hindia dan Selat Malaka. Orang-orang Batak ini kemudian mendirikan pemukimannya yang pertama di tepi Danau Toba, di kaki Gunung Pusuk Buhit dengan nama Siandjur Sagala Limbong Mulana[7]. Demikianlah asal-usul orang-orang Batak.

Sistem Keagamaan (Religi)

Sistem keagamaan orang-orang Batak umumnya bertalian dengan asal-usul mereka sendiri. Kesaksian mengenai hal ini dapat dilihat dalam pustaha[8] (buku kuno yang berisi silsilah orang-orang Batak dan yang berawal dari dunia mahkluk halus). Mengapa demikian? Mereka yakin bahwa mereka (orang-orang Batak) merupakan keturunan dewa (descendants of god). Raja pertama, Si Radja Batak dikatakan  merupakan keturunan dari Puteri Tapidonda yang turun dari Kayangan. Puteri ini disuruh oleh Debata Mulajadi Nabulon, Dewa Tertinggi, untuk turun ke dunia tepat di Gunung Pusuk Buhit supaya menjadi Ibu Suri dari suku bangsa Batak[9]. Dari sini dapat dilihat bahwa orang-orang Batak memiliki konsep mengenai adanya dewa-dewa yang memerintah atas manusia. Menurut keyakinan mereka, ada 5 dewata[10]. Dewa pertama adalah Debata Mulajadi Nabulon yang dipandang sebagai Pencipta. Selanjutnya dewa tritunggal, yakni Batara Guru yang dipandang sebagai penjaga keadilan dan tata tertib (hakim yang adil), Debata Sori (Soripada) yang dipandang sebagai ahli pidato, dan Balabulan (Mangalabulan) yang dipandang sebagai dewa yang kerap menjatuhkan manusia. Dewa  yang terakhir ini merupakan dewa yang paling ditakuti. Dewa terakhir adalah Debata Asiasi yang dilihat sebagai penyeimbang di antara ketiga dewa tritunggal tersebut.

Ketiga dewa tritungal ini (mungkin pengaruh gagasan dari agama Hindu[11]) diciptakan oleh Debata Mulajadi Nabulon. Ketiga dewata tersebut dipandang memiliki perwujudan manusia. Mereka merupakan nenek moyang umat manusia. Dari keturunan mereka, yang perannya sangat penting adalah Sideak Parujar, putri dari Batara Guru, yang menyebabkan terjadinya dunia ini[12]. Di samping kepercayaan akan dewa-dewa ini, orang-orang Batak juga meyakini adanya Naga Padoha (Raja Padoha), yaitu seekor naga. Asal-usulnya tidak jelas, mungkin sudah ada sejak semula tanpa dijadikan oleh Mulajadi. Di atas kepala naga ini ditambahkan 3 dewata, yaitu: Boru Saning Naga, Boraspati ni Tano dan Pane na Bolon[13]. Ketiga dewa ini menjelmakan diri ke dalam kekuatan dan gejala-gejala alam[14].

Berkaitan dengan kepercayaan akan roh dan jiwa, orang-orang Batak mengenal 3 konsep pemikiran. Pertama, Tondi yakni konsep mengenai jiwa atau roh orang itu sendiri yang diterima seseorang pada waktu ia masih di rahim ibunya dan menyertai dia selama perjalanan hidup ini. Jika Tondi meninggalkan badan untuk sementara, orang itu sakit, jika seterusnya orang itu mati[15]. Kedua, Sahala yakni konsep mengenai jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang[16]. Bedanya dengan Tondi adalah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jika mempunyai jumlah dan kwalitasnya juga berbeda-beda. Dalam pengertian sekarang Sahala adalah kata lain dari kewibaan, keagungan, kemuliaan dan kedaulatan[17]. Ketiga, Begu yakni roh orang yang sudah mati, roh-roh alam dan roh-roh yang kerjanya menyusahkan orang[18].

Berkaitan dengan dunia tempat dewa-dewa dan manusia, orang-orang Batak membedakan tiga macam tempat yang disebut dengan banua[19]. Pertama, Banua Ginjang yang merupakan tempatnya para dewa. Banua ini dilambangkan dengan warna putih. Kedua, Banua Tonga yang merupakan tempat tinggal manusia dan dilambangkan dengan warna merah (warna darah). Ketiga, Banua Toru yang merupakan tempat kegelapan abadi dan dilambangkan dengan warna hitam. Ketiga warna ini merupakan warna suci dan digunakan dalam ritual-ritual upacara juga sebagai warna rumah. Secara umum, keyakinan religius orang-orang Batak merupakan campuran dari kepercayaan keagamaan kepada Dewata, pemujaan yang bersifat animisme terhadap roh orang yang sudah meninggal dan dinamisme. Dalam penerapannya, batas-batas dari unsur-unsur tersebut tidak tampak jelas baik berlangsung dalam kalangan orang biasa, pemimpin ataupun dalam praktik religius-magis[20].

Tata Pemerintahan

Bentuk pemerintahan suku bangsa Batak bergandengan dengan sistem kepercayaan mereka sendiri. Sebagai keturunan dewa, orang-orang Batak di Sianjur Sagala Limbong Mulana mengambil bentuk teokrasi. Artinya, kepala pemerintahan sekaligus juga berperan sebagai kepala agama dan disebut sebagai Raja-Imam. Raja-Imam memakai gelar, Halinu Ni Nebata Mulajadi Nabolon yang artinya para dewa bersinar di atas bumi[21]. Raja-Imam orang Batak yang pertama adalah Si Radja Batak yang menggunakan gelar Sori Mangardja (= Sri Maharaja). Sebuah gelar yang dibawa dari pantai Burma. Pemerintahan raja-imam ini berakhir pada masa dinasti Singamangaradja (terutama setelah Singamangaraja XII).

Selama kurun waktu yang panjang, suku bangsa Batak terpecah menjadi beberapa cabang marga. Perpecahan ini mengakibatkan suku bangsa Batak tercerai-berai (tersebar) ke berbagai wilayah. Di wilayah-wilayah tertentu, beberapa marga[22] yang masih berdekatan secara kekerabatan atau yang tinggal di daerah yang berdekatan satu sama lain biasanya mendirikan suatu pemukiman yang disebut Bius[23]. Pemerintahannya karena itu disebut dengan tata pemerintahan Bius.

Bius berarti sekumpulan manusia tertentu atau penggabungan beberapa ‘hordja’ (marga). Penggabungan ini berdasarkan perjanjian. Bius diperintah oleh seorang raja-imam. Di dalam kerajaan Bius, ada pula yang dinamakan ‘huta’ (Sanskerta: Kuta, artinya benteng) atau kampung yang berciri perbentengan (ada parit dan tembok)[24]. Huta ini juga diperintah oleh seorang raja dan pemerintahannya memiliki otonomi sendiri. Hanya demi persatuan Bius, jalannya pemerintahan biasanya langsung dari raja Bius kepada raja Huta[25]. Hubungan antar-Bius bersifat horizontal sedangkan Bius dengan Huta bersifat Vertikal[26]. Pergantian raja dilakukan berdasarkan keturunan[27].

Dari seluruh struktur pemerintahan Batak ini, yang paling penting adalah struktur patrilineal. Struktur ini tidak membatasi diri pada lingkup hukum warisan saja, tetapi menyangkut pemerintahan dan pemilikian tanah, perkawinan dan pemujaan arwah, penyelenggaraan peradilan, tempat pemukiman dan penggarapan tanah. Gereja Kristen bahkan terkena dampak dari penerapan struktur demikian[28]. Pola patrilineal ini dikepalai oleh seorang dari keturunan yang tertua dan pada upacara-upacara keagamaan dalam Huta maupun Bius ia menempati kedudukan berdasarkan alur kekerabatan (dari kampung-induk di Toba). Pertemuan-pertemuan yang membahas suatu soal biasanya dipimpin oleh Raja Bius sendiri atau raja Huta jika dilangsungkan di lingkungan Huta dan keputusan yang diambil berdasarkan musyawarah[29].

Secara singkat dapat dilihat bahwa orang-orang Batak pada umumnya mengambil bentuk pemerintahan teokrasi namun dalam prakteknya (penerapannya) memberlakukan bentuk federal. Artinya tiap kerajaan memiliki otonomi sendiri namun tetap berada dalam kekuasaaan dari kerajaan yang lebih besar. Meskipun demikian, seringkali tata pemerintahan orang-orang Batak tidak terlalu jelas. Ada campuran antara organisasi formal dan adat-istiadat yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat itu sendiri[30].

Munculnya Upacara Gajah Lompat

Sebagaimana telah dikatakan di atas, upacara Gajah Lompat merupakan upacara yang dilaksanakan oleh marga Siregar-Salak. Asal-usul marga ini, jika ditarik sampai kepada suku bangsa Batak pertama yang tinggal di Sianjur Sagala Limbong Mulana, berasal dari keturunan Martua Radja Doli Sagala, Putra Bungsu dari Sri Baginda Sori Mangaradja LXVI. Sebagai putra bungsu tentu amat sulit untuk menggantikan ayahnya menjadi raja. Maka, ia bersama pasukannya pergi menyerang sebuah kampung di Pulau Samosir sebelah timur. Nama kampung itu Lottung. Di kampung ini, Martua Raja Doli Sagala, mendirikan pemukimannya yang baru dengan dia sendiri sebagai rajanya. Dia mengubah nama keluarga Sagala menjadi Lottung. Dia memiliki tujuh orang anak yang akan menjadi ketujuh cabang marga, antara lain: Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar. Dari marga siregar inilah, Siregar-Salak berasal.

Sebagai Fungsi Pemersatu

Sebelum sampai ke daerah Sipirok, marga Siregar sudah terpecah beberapa kali yang diakibatkan oleh berbagai faktor[31]. Sering faktor utama ini berkaitan dengan persediaan sumber makanan di alam yang tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk suatu marga. Ini mengakibatkan sekumpulan marga (ikatan bius sekerabat) mesti berpencar mencari sumber makanan yang cukup bagi keluarganya. Kedatangan marga Siregar-Salak di Sipirok memang bukan berarti akan dengan mudah dapat memperoleh sumber makanan yang baik. Di daerah itu sudah ada beberapa marga yang berjumlah kecil. Karena berjumlah kecil, marga-marga ini tunduk kepada marga Siregar-Salak (yang dikatakan haus darah) [32]. Pendatang baru ini, marga Siregar-Salak, mendirikan kampung yang bernama Rantai Omas di tepi sungai Aek Siguti. Sebagai sebuah perkumpulan, marga ini diperintah oleh Raja Ompu Paltiradja Siregar. Tetapi di daerah ini pun, masalah yang sama yang mengakibatkan perpecahan dan persebaran suku bangsa Batak terjadi lagi. Untuk menghindari perang saudara, Ompu Paltidaja Siregar memberikan otonomi kepada Ompu Raja Sayurmatua untuk mendirikan kerajaan Parausorat, Ompu Raja Parlindungan untuk mendirikan kerajaan Baringintumburjati dan kepada Raja Pandebosi (Ompu Ni Hatunggal) untuk mendirikan kerajaan Sipirok Godang. Namun, pemberian otonomi demikian tidak menjamin tidak adanya perang saudara[33]. Maka, Ompu Paltiradja menciptakan simbol kesatuan yang bisa diterima oleh semua orang di daerah Sipirok yang mengambil bentuk sebuah upacara yang dinamakan Upacara Gajah Lompat di Dolok Pamelean.

Di tengah-tengah Luat Sipirok, daerah kekuasaan dari ketiga raja ini, terdapat bukit kecil yang dijadikan Pusat Religiositas bagi penduduk Luat Sipirok. Ompu Paltiradja menamakan bukit itu dengan nama Dolok Pamelean. Di atas bukit itu ditanam sebuah pohon Waringin yang diberi nama Bona Ni Asar, artinya pohon yang darinya berasal hukum dan tata tertib[34]. Ompu Paltiradja kemudian menyatakan bahwa Dolok Pamelean bersama dengan pohon Bona Ni Asar sebagai Gunung Pusuk Buhit untuk marga Siregar-Salak karena itu menjadi tangga ke Banua Ginjang. Bersama dengan pernyataan tersebut, Ompu Paltiradja menyatakan pula dirinya sebagai Datu Nahurnuk sebagaimana Datu Nabolon di Sianjur Sagala Limbong Mulana. Dengan ini dasar hukum dan tata tertib bagi persatuan dan kesatuan daerah Sipirok ditetapkan di bukit tersebut.

Selanjutnya, Ompu Paltiradja menetapkan bahwa demi persatuan ini harus dibuatlah upacara dengan korban bukan hewan tapi manusia. Mengapa manusia? Sebab penghormatan yang pantas kepada Debata Mulajadi Nabolon adalah manusia. Upacara diadakan sekali setahun, semacam Thanks Giving yang tentu saja dilihat sebagai suatu bentuk (faktor) yang menyatukan.

Makna Manusia dalam Upacara

Pengurbanan manusia dalam upacara ini jelas bukan tanpa arti. Pemilihan manusia yang hendak dikorbankan pun mesti memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Pemilihan manusia dilakukan oleh para Ahli Dukun yang terdiri dari 3 orang. Masing-masing mewakili tiap kerajaan di Luat Sipirok. Dikatakan, ‘Tidak pernah kurang calon-calon yang sukarela mau dikorbankan. Sesuatu kehormatan yang terbesar untuk si korban sendiri, dan untuk keluarga yang ditinggalkan’[35]. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa para calon yang banyak tersebut sangat bergairah dan bersemangat untuk mengorbankan dirinya? Jawabannya terletak pada keyakinan bahwa arwah (roh) dari si korban akan langsung masuk ke Banua Ginjang dan membawa salam dari marga Siregar-Salak. Si korban ‘tidak perlu lagi kembali ke Banua Tonga, tidak perlu lagi kembali ke tanah garing (tandus, penulis) di Luat Sipirok banting tulang pacul-pacul sawah tanpa air untuk irigasi[36].

Ada apa di surga? Gambaran surga (Banua Ginjang) di sini sangat mentakjubkan. Dikatakan bahwa surga ini merupakan tempat di mana si korban hidup dalam keadaan bahagia, hanya mengendarai kuda saja mengikuti Debata Mulajadi Nabolon sendiri. Bahkan di tempat ini, si korban dapat minum tuak secara gratis dan sepuas-puasnya tanpa larangan apa pun juga. Dan ada banyak juga para wanita yang berparas secantik dewi yang bebas untuk diambil. Cuma ‘sangat sulit mendapat tiket masuk. Tidak ada tukang-tukang Tjatut Kartjis Banua Ginjang di Luat Sipirok. Tjuma ada di Eropah sebelum Martin Luther (1517)[37].

Persyaratan calon korban haruslah seorang Doli-Doli Naposo Bulung (anak laki-laki berumur belasan tahun dan memiliki paras yang baik). Pemuda itu dihiasi dengan daun-daun Waringin, daun-daun Sibiobio dan banyak lagi. Selama 7 hari 7 malam, pemuda calon korban itu dipuja dan dirajakan. Ia disembah oleh 3 orang raja dari Luat Sipirok, ‘yang sementara recess tjakar-tjakaran dan pukul-pukulan sesuai maksud dari Ompu Paltiradja[38]. Setelah tiba harinya, pemuda itu yang dalam keadaan terhipnotis oleh mantra tiga orang Dukun dan sedang memeluk batu Linggam yang berdiri tegak lurus di bawah pohon Waringin Bona Ni Asar ditusuk dari belakang dengan Hudjur Panaluan (tombak pusaka) sampai menembus jantungnya. Darahnya membasahi tanah di bawah pohon Bona Ni Asar. Maksudnya, Debata Mulajadi Nabolon menjadikan tanah Luat Sipirok subur sehingga panen dapat berlimpah-limpah di tanah tandus Luat Sipirok. Selesai upacara ini, diadakanlah pesta. Tujuannya adalah supaya rakyat jelata tidak menyadari bahwa Luat Sipirok sebenarnya sedang menghadapi bahaya[39].

Jenazah korban lantas dinaikkan ke atas gajah yang sudah dicat putih, merah dan hitam. Gajah itu pun diarak keliling Luat Sipirok oleh warganya dari Dolok Pamelean sampai kembali ke Dolok Pamelean lagi. Walaupun tidak sampai 20 kilometer diperlukan 3 hari untuk prosesi perarakan ini. Mengapa? Karena yang dipilih adalah malam terang bulan supaya prosesi gajah sekaligus juga menjadi pasar malam yang berpindah-pindah. Pasar malam ini berfungsi sebagai pasar jodoh pula bagi warganya. Dalam prosesi, gajah tidak boleh menempuh jalan lurus. Mengapa? Supaya jenazah tidak diikuti begu (roh jahat). Begu ini mesti diperdaya dengan tipu muslihat. Selama arak-arakan gajah tersebut, ada juga warga yang ikut jadi korban tanpa ditusuk dengan tombak pusaka tapi mati konyol terinjak oleh gajah itu. Mengapa? Gajah yang terus-menerus dipaksa untuk berjalan bengkok-bengkok tentu sering mengamuk. Karena mengamuk, gajah tersebut meloncat-loncat hingga menginjak warga yang menonton jalannya prosesi ini. Mengapa bisa terinjak? Karena warga yang melihat prosesi ini sangat banyak, bahkan sampai ribuan. Itulah sebabnya, pengorbanan yang dimaksudkan oleh Ompu Paltiradja disebut warga dengan nama Gajah Lompat. Warga yang mati terinjak tentu saja tidak boleh dibawa ke Dolok Pamelean.

Setelah kematian Ompu Paltiradja, Ompu Radja Sayurmatua mengusulkan supaya gajah yang hidup itu diganti dengan gajah yang dibuat dari kayu. Pada tahun 1816, bersamaan dengan masuknya Tentara Paderi (Usaha peng-Islaman ke dalam Mashab Hambali yang datang dari Minagkabau)[40], upacara gajah lompat dihapus. Maka dengan berakhirnya Dolok Pamelean sebagai tangga ke Banua Ginjang, berakhir pula pengorbanan manusia di Luat Sipirok.

Sebagai Penyalur Hasrat Kekerasan (Kekuasaan)

Sebagaimana telah diuraikan dengan cukup mendetail mengenai pelaksanaan upacara Gajah Lompat, tujuan pertama diciptakannya upacara ini berangkat dari adanya benih-benih perpecahan yang mengancam keutuhan ketiga kerajaan di Luat Sipirok. Keutuhan tersebut jelas perlu dipertahankan demi perdamaian dan keberlangsungan masyarakat itu sendiri. Sekarang tinggal bagaimana caranya. Akhirnya ini ditemukan dalam ritus atau lebih tepatnya sebuah praktik korban yang dikembangkan dari kurban hewan[41] kepada kurban manusia. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa ada peralihan demikian? Dari penjelasan Girard dapat dimengerti bahwa kurban hewan dirasa tidak mampu lagi memberikan kemiripan atas benih kekerasan yang terjadi. Penyaluran kekerasan mesti mendapatkan kemiripannya dengan benih kekerasan yang terjadi. Dengan kata lain, si kurban mesti identik dengan kekerasan yang ingin disalurkan dan ini hanya dapat ditemukan dalam kurban manusia. Manusia menjadi simbol perdamaian tetapi sekaligus juga memuat di dalamnya potensi konflik yang menyebabkan kekerasan.

Oleh karena itu, kekerasan kolektif sebagaimana yang melanda ketiga kerajaan di Luat Sipirok mendapatkan penyalurannya. Akibatnya memang adalah terciptanya keadaan damai itu kembali. Hal ini tampak jelas sebagaimana yang diungkapkan dalam buku Tuanku Rao,

Selama 7 hari 7 malam, Pemuda Tjalon Korban itu dipudja dan diradjakan. Disembah oleh 3 orang Feodal Lords of the Siregar/Salak Clan yang sementara recess tjakar-tjakaran dan pukul-pukulan. Sesuai dengan maksud dari very clever Ompu Paltiradja[42].

Mengapa? “Supaya Rakya Jelata tidakpun insyaf bahwa Negara sudah lama failliet, bahwa situasi dalam negeri sudah bobrok[43]. Praktik korban ini diatur dan dikontrol dengan ketentuan dan aturan ritus yang ketat dan keras. Dengan demikian, agresi internal dikosongkan ke luar dan masyarakat dipulihkan dari kehancuran diri. Akan tetapi, perdamaian yang tercipta melalui mekanisme demikian tidak kuat, alias rapuh. Maka perlu ada perulangan terus. Dari sini, bisa dipahami jika pelaksanaan Upacara Gajah Lompat dilaksanakan sekali setahun[44].

Relevansi Bagi Kebudayaan Indonesia (Usul atau Kritik?)

Jika kita menerapkan pandangan modern terhadap pelaksanaan Upacara Gajah Lompat tentu saja ini akan membawa kesulitan tersendiri. Pemahaman akan lebih baik jika mengerti alur sejarah dan mengetahui latar belakang keyakinan marga Siregar-Salak di Luat Sipirok. Harus diakui bahwa sebagian besar kebudayaan Indonesia dibangun atas dasar keyakinan religius. Namun, seringkali pula keyakinan religius atau agama malah menampakkan kekerasannya yang paling brutal. Apakah wajah kebudayaan Indonesia yang mengakui diri masyarakat agamis ini memang demikian? Tentu tidak. Kita tentu saja tidak ingin mengatakan bahwa kekerasan merupakan inti agama sebagaimana penemuan Girard yang mencengangkan banyak orang yakni bahwa agama diperlukan oleh masyarakat karena agama merupakan lembaga penanganan kekerasan masyarakat. Kita juga tentu saja tidak ingin mengorbankan pihak-pihak lain demi stabilitas negara

Kerangka kebudayaan nasional dengan demikian haruslah disusun tidak berdasarkan orang-orang tertentu seperti ilmuwan sosial, politikus, dan lain-lain. Pertanyaan kita adalah siapa yang menjadi subjek kebudayaan dalam arti sebenarnya? Dengan kata lain siapa yang mesti menetapkan program tujuan bagi pengembangan kebudayaan nasional? Bahwa fakta adanya pluralitas agama di Indonesia tidak bisa disangkal. Kekerasan sebagai kekerasan tidak bisa dibenarkan (baca: disucikan) atas nama agama. Sebagai masyarakat yang berbudaya dan sekaligus memiliki keyakinan akan Yang Suci dan sebagai bangsa Indonesia, kita mesti melihat kembali nilai-nilai yang memungkinkan hidup bersama dari aneka nilai-nilai kebudayaan. Pluralitas atau yang sering dilihat dan dipahami sebagai mayoritas tidak menuntut uniformitas, tapi justru mengandaikan adanya kesamaan di antara aneka budaya untuk dan demi kesatuan.

Dengan demikian, pertama-tama yang perlu direnungkan adalah vitalitas agama dalam hidup bermasyarakat. Lebih khusus lagi, apa peran orang beriman, yang percaya kepada Yang Suci? Hingga pada akhirnya, kita mesti bertanya pada diri sendiri yakni apakah realitas manusia merupakan realitas kekerasan? Semua tanggapan terhadap persoalan ini berimplikasi pada bentuk negara yang mana yang sesuai dengan realitas Bangsa Indonesia, Demokrasi, Totaliter, Absolut, atau Federal.

Hadiwijono, Harun. Religi Suku Murba di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1971.

Napitupulu, OL. Perang Batak: Perang Sisingamangradja. Jilid I. Djakarta: Yayasan Pahlawan Nasional Sisingamangaradja, 1971.

Parlindungan, Mangardja Onggang. Tuanku Rao. Djakarta: Tandjung Pengharapan, 1964. 

Schreiner, Lothar. Telah Kudengar Dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978.

Simanjutak, Bungaran Antonius. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945. Jakarta: Yayasan Obor, 2006.

Sindhunata. Kambing Hitam: Teori Rene Girard. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Vergouwen, JC. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LkiS, 2004.


[1] Lih. Sindhunata. Kambing Hitam: Teori Rene Girard. Yogyakarta: Kanisius, 2006

[2] Parlindungan. Tuanku Rao. Djakarta: Tandjung Pengharapan, 1964. Hal. 20

[3] Idem

[4] Idem. Hal. 21

[5] Idem. Hal. 22

[6] lihat juga penekanan tahun ini pada Simanjutak. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945. Jakarta: Yayasan Obor, 2006. Hal. 35-37 yang berkenaan dengan tulisan-tulisan Arab tentang Sumatera terutama kaitannya dalam hubungan perdagangan. (kutipan dari TIdeman 1936: 36-38)

[7] Parlindungan. Op Cit. Hal. 23

[8] Lih. Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Hal. 113; Vergouwen. Masyarakat dan Hukum Adat batak Toba. Hal. 1-2, 7 dan pada Lothar Schreiner. Telah Kudengar dari Ayahku. Hal. 104-109.

[9] Parlindungan. Op Cit. Hal. 24

[10] Lih. Harun Hadiwijono. Religi Suku Murba di Indonesia. Hal. 71-72

[11] Vergouwen. Op Cit. Hal. 74

[12] Lih. Harun Hadiwijono. Religi Suku Murba di Indonesia. Hal. 72-74 tentang Mitologi Penjadian. Bandingkan dengan mitos penjadian dalam garis besar pembagian pustaha pada Lothar Schreiner. Op Cit. Hal.106-108

[13] Dewa ini dijelaskan sebagai penguasa mahkluk halus dalam Koentjaraningrat. Op Cit. Hal. 114

[14] Harun Hadiwijono. Op Cit. Hal. 73

[15] Koentjaraningrat. Op Cit. Hal. 114. Lih. juga Vergouwen. Op Cit. Hal. 91-95

[16] Vergouwen. Op Cit. Hal.  95-97

[17] Harun Hadiwijono. Op Cit. Hal. 80

[18] Lih. Vergouwen. Op Cit. Hal. 75-77; Koentjaraningrat. Op Cit. Hal. 114-115; Harun Hadiwijono. Op Cit. Hal.  80

[19] Lih. Parlindungan. Op Cit. Hal. 27

[20] Vergouwen. Op Cit. Hal. 73-74

[21] Parlindungan. Op Cit. Hal. 24

[22] Penjelasan yang mendetail tentang marga lihat Simanjutak. Op Cit. Hal. 79-93; Harun Hadiwijono. Op Cit. Hal. 76; Vergouwen. Op Cit. Hal. 19-22

[23] Lih. Vergouwen. Op Cit. Hal. 1-7

[24] Simanjutak membagi struktur masyarakat Batak menjadi 3 yakni Huta, Hordja dan Bius. Lih. Simanjutak. Op Cit. Hal. 163-187

[25] Lih. Napitupulu. Perang Batak: Perang Sisingamangaradja. Hal. 97-98

[26] Idem. Hal. 112

[27] Parlindungan. Op Cit. Hal. 24

[28] Vergouwen. Op Cit. Hal. 38

[29] Lih. Napitupulu. Op Cit. Hal. 98-101 dimana dikatakan bahwa dalam masyarakat Bius sudah ada susunan badan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

[30] Lih. Simanjutak. Op Cit. Hal. 66-69

[31] Parlindungan. Op Cit. Hal. 37-45

[32] Idem. Hal. 45. Lihat juga catatan para penulis Arab tentang Orang-orang Batak yang makan manusia (kanibal) dalam Simanjutak. Loc Cit. Hal. 37

[33] Parlindungan. Op Cit. Hal. 47

[34] Idem. Hal. 48

[35] Idem. Hal. 49

[36] Idem

[37] Idem

[38] Idem

[39] Idem. Hal. 50

[40] Idem. Hal. 54

[41] Lih. Vergouwen. Op Cit. Hal. 77-85.  Tentang kurban hewan dan pelaksanaan kurban pada komunitas Bius yang umumnya dianggap kurang berarti jika dilangsungkan di daerah yang marganya mendiami wilayah leluhur dan terus hidup bersama sebagai satu kesatuan dari cabang-cabang atau galur-galur serta setiap marga yang menduduki tempatnya sendiri-sendiri di wilayah tersebut.

[42] Parlindungan. Op Cit. Hal. 49

[43] Idem. Hal. 50

[44] Lih. Idem. Hal. 48

Post Disclaimer

The information contained in this post is for general information purposes only. The information is provided by Upacara Gajah Lompat Pada Marga Siregar-Salak di Luat Sipirok (Sebelum Kedatangan Tentara Padri) and while we endeavour to keep the information up to date and correct, we make no representations or warranties of any kind, express or implied, about the completeness, accuracy, reliability, suitability or availability with respect to the website or the information, products, services, or related graphics contained on the post for any purpose.