Dalam lapangan filosofis, banalitas kejahatan merupakan sebuah cetusan baru dalam mengungkapkan sebuah kejahatan yang dilakukan secara excited, terencana, rapi, dan seterusnya. Mungkin muncul pertanyaan atas fenomena ini, mengapa dikatakan banalitas, yang namanya kejahatan ya kejahatan, bukan?

Hannah Arendt adalah orang yang pertama kali menggunakan kata banal ini untuk menunjuk pembunuhan massal terhadap orang Yahudi di bawah komando Adolf Eichmann. Pendirian Kamp Konsentrasi untuk menghabisi orang-orang Yahudi merupakan sebuah perencanaan yang sangat matang bahkan sistematis. Eichmann sebagai kaki tangan Adolf Hitler ketika itu pun tanpa ragu melakukan kekejaman ini. Sekian juta orang Yahudi meninggal di Kamp Konsentrasi.

Eichmann kemudian ditangkap di Argentina dan diterbangkan ke Israel untuk menghadapi persidangannya. Ketika mengikuti persidangan atas kejahatan perang yang dilakukan Eichmann di Yerusalem, Arendt menyatakan bahwa Eichmann seolah merasa tidak bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Mengapa Arendt berkata demikian? Karena pembelaan Eichmann, yang sangat terkenal dan kemudian menjadi kritik tajam terhadap sebuah positivisme hukum, di hadapan sidang Eichmann menunjukkan bahwa ia melakukan semua itu karena hukum (waktu itu) di negaranya memang menganjurkan demikian. Jadi, pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi waktu itu digariskan oleh hukum. Woooowww….

Dengan pernyataan demikian, dapat ditarik konsekuensi logis dari apa yang dinyatakan Eichmann bahwa mengikuti apa yang dikatakan hukum berarti mendapat kehormatan atau pahala, dan memberontak terhadap hukum berarti pelanggaran dan dapat berujung kepada kematian. Terhadap pernyataan inilah, Arendt kemudian berkata bahwa kejahatan yang dilakukan Eichmann itu banal. Kenapa?

Bagi Arendt, banalitas kejahatan, sebagaimana ditunjukkan dengan perbuatan Eichmann, merupakan ketumpulan akal budi di hadapan kediktatoran kala itu. Arendt melihat bahwa argumen pembelaan Eichmann di persidangan, walaupun Eichmann mengutip pernyataan imperatif kategoris-nya Kant yang terkenal itu, memiliki kekeliruan penafsiran yang berakibat fatal. Sebelum masuk lebih dalam lagi, perlulah sedikit memahami pandangan filosofis Immanuel Kant. Memangnya, apa yang dikatakan Kant sehingga Eichmann begitu ‘meyakini’-nya?

Kant (1724-1804) adalah seorang filsuf Jerman (Prussia kala itu). Salah satu pemikiran Kant yang cukup terkenal adalah imperatif kategoris. Apa maksudnya? Menurut Kant, moralitas dibangun di atas dasar kebebasan. Tapi, kebebasan ini tidak berada dalam ruang kosong. Kebebasan justru berada dalam subjek. Dalam diri manusia[1], akal budi mempunyai kemampuan untuk memilih sendiri hukum-hukumnya dan menaatinya. Bertindak menurut hukum-hukum yang dipilih sendiri itulah yang disebut Kant sebagai kehendak. Budi praktis[2], yang dalam Kant berkaitan dengan moralitas, adalah kemampuan untuk menghendaki. Karena itu, apa yang baik tanpa persyaratan apa pun adalah kehendak baik.

Kehendak Baik di sini adalah apa yang baik pada dirinya sendiri. Kehendak baik inilah yang kemudian mendasari perbuatan manusia sehingga dari situ Kant dapat berkata, “Act so that the maxim of thy will can always at the same time hold good as a principle of universal legislation. (bertindaklah sedemikian rupa sehingga maksim perbuatanmu pada saat yang sama dapat menjadi prinsip universal)”[3] Maksim perbuatan ini dengan demikian menjadi prinsip universal yang berlaku bagi semua mahkluk yang berakal budi. Tapi, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana wujud perbuatannya? Bagi Kant, kehendak baik terwujud dengan melakukan apa yang menjadi kewajiban. Kewajiban ini bukan dalam pengertian melakukan perbuatan UNTUK atau DEMI apa yang menyenangkan atau apa yang telah digariskan hukum dari luar. Kewajiban ini berada dalam pengertian semata-mata DEMI kewajiban itu sendiri. Mengapa DEMI kewajiban itu sendiri dan bukan KARENA alasan-alasan lain?[4] Ini karena terminologi kewajiban di sini menyatakan bahwa manusia bukan saja tertarik untuk berbuat kebaikan, tapi juga dapat melakukan keburukan.[5] Inilah kemudian apa yang disebut sebagai imperatif ketegoris, yakni perintah yang bersumber dari rasio yang disadari sebagai keharusan.

Maksim perbuatan yang menjadi prinsip universal sebagaimana dimaksudkan di atas diarahkan kepada hidup yang baik dengan kewajiban yang menyertainya. Ini tidak berarti bahwa hidup yang baik adalah puncak atau finalitas etika Kant. Hidup yang baik hanya dapat dicapai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional yang dikehendaki menjadi kewajiban untuk ditaati. Kehendak dengan demikian tunduk pada rasio. Dengan kata lain, kehendak tunduk pada batasan pengertian ‘baik’ yang digariskan rasio. Kehendak berada dalam relasinya dengan hukum (maksim perbuatan yang menjadi prinsip universal). Puncak etika Kant karena itu berada dalam wilayah kewajiban.

Lalu, pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah untuk apa manusia berbuat baik atau dengan kata lain apa makna perbuatan manusia. Berkaitan dengan ini Kant memberikan 3 postulat dari budi praktis di mana salah satunya menyatakan adanya Allah.[6] Adanya Allah dimaksudkan Kant untuk memberikan makna dan arti bagi perbuatan manusia itu sendiri

Setelah melihat uraian singkat tentang imperatif kategoris-nya Kant,  dapat ditanyakan, mengapa pengadopsian Eichmann terhadap gagasan Kant itu justru berakibat fatal? Karena imperatif kategoris Kant dilencengkan sedemikian rupa sehingga pendasaran terakhir yang dilihat Arendt dari pembelaan Eichmann adalah bahwa bukan akal budi (kehendak baik) yang menjadi dasar terakhir sebuah hukum normatif, melainkan apa yang disebut Arendt sebagai Third Reich atau yang sebagaimana dikatakan Arendt bahwa Eichmann bertindak kejam sehingga Führer (Hitler)yang mengetahui tindakan tersebut akan menyetujuinya. Karena itu, Arendt melihat bahwa seluruh dasar terakhir dari perbuatan Eichmann diletakkan pada kehendak Hitler, si Führer itu sendiri.

Menurut Arendt, banalitas kejahatan seperti yang diperlihatkan oleh Eichmann berarti ketidakmampuan berpikir secara rasional atau memahami tindakannya dan konsekuensi yang muncul dari tindakan tersebut (thoughtlessness). Pertanyaan Arendt adalah bagaimana mungkin seseorang seperti Eichmann yang mempunyai kehidupan sehari-hari yang normal, yang punya keluarga dapat melakukan kejahatan sedemikian besar? Jika menyimak lebih mendalam, maksud Arendt dengan ‘banalitas’, ia tampak memaksudkannya sebagai tanggungjawab pribadi di bawah sistem kediktaktoran. Jadi, ‘banalitas’ bukan hanya berkaitan dengan tindakan dan prinsip yang mendasari tindakan tersebut, melainkan dengan kualitas tertentu dari pikiran dan karakter seseorang sebagaimana yang dikatakannya, “The point is that this evil, not evil per se, is banal.[7] Banalitas kejahatan terjadi karena manusia dengan akal budinya tidak mampu atau tidak berkuasa di hadapan sistem yang mengatur atau memerintah demikian. Banal karena manusia di hadapan sistem demikian menjadi robot tanpa nalar kritis sama sekali. Manusia seperti bidak catur yang dikendalikan oleh kuasa yang memainkannya.


[1] Menurut Kant, terdapat 3 cara bagaimana pengetahuan itu terjadi. Pertama, objek-objek fenomen masuk ke dalam diri kita melalui panca indera kita. Kedua, pada saat yang bersamaan, objek-objek tersebut dimengerti melalui kategori-kategori yang sudah ada secara a priori dalam akal budi kita. Dalam hal ini, Kant menyebut adanya 12 kategori. Dan pada tahap ketiga, pernyataan atau proposisi dibentuk dari tahap kedua tersebut atas apa yang sudah dimengerti secara kategori. Di pihak lain, proses ini sendiri mengandaikan dua bentuk intuisi internal manusia yang bersifat a priori, yakni ruang dan waktu. Lih. Immanuel Kant. The Critique of Pure Reason. Bab.VI bagian 1-2. Karena itu, pengertian ‘baik’ yang selanjutnya menjadi prinsip moral tindakan sudah terkandung dalam kategori demikian.

[2] Budi praktis sesungguhnya tidaklah berbeda dari budi murni. Budi praktis adalah peranan akal budi dalam tataran praktis, yakni berkaitan dengan penggunaan budi manusia untuk menentukan baik-buruk dalam kehidupan sehari-hari.

[3] Immanuel Kant. The Critique of Practical Reason. Buku I, Bab I bag. 6.

[4] Contoh: Saya menolong teman KARENA ia adalah sahabat saya sejak kecil. Dalam pandangan Immanuel Kant, ‘menolong teman KARENA ia adalah sahabat saya’ tidak dapat dijadikan dasar moralitas. Dengan kata lain, bagi Kant, kita menolong teman justru karena DEMI Kewajiban (Sikap/perbuatan) menolong itu sendiri. Dan kewajiban ini disadari sebagai PERINTAH dari DALAM DIRI KITA (RASIONALITAS MANUSIA).

[5] Dalam hal ini Kant memberi contoh mengenai janji. Lih. Immanuel Kant. Idem. Buku I, Bab I, bag. 1-3. Lih. juga Magnis-Suseno. 13 Tokoh Etika. Hal. 144.

[6]These postulates are those of immortality, freedom positively considered (as the causality of a being so far as he belongs to the intelligible world), and the existence of God. The first results from the practically necessary condition of a duration adequate to the complete fulfilment of the moral law; the second from the necessary supposition of independence of the sensible world, and of the faculty of determining one’s will according to the law of an intelligible world, that is, of freedom; the third from the necessary condition of the existence of the summum bonum in such an intelligible world, by the supposition of the supreme independent good, that is, the existence of God. Immanuel Kant. Idem. Buku II, bab II, bag. 4-6. Ini tidak berarti bahwa Kant mengakui adanya Allah. Mengapa? Karena apa yang ada dalam dirinya sendiri tidak dapat kita ketahui (Noumena, das Ding an sich). Postulat di sini sesungguhnya hanya merupakan pengandaian akal budi saja yang diterima sebagai benar. Ketiga postulat yang diberikan oleh Kant, adanya Allah, immortalitas jiwa dan kebebasan.

[7] Artinya, “Kejahatan ini (ketidakmampuan berpikir lantaran manusia pasti memiliki akal budi untuk berpikir), bukan kejahatan dalam arti murni jahat (setan, iblis gitu) adalah banal”. Buku  bisa dilihat di sini http://homepage.univie.ac.at/birgit.erdle/se-arendt-engl/Arendt,%20Hannah%20-%20Eichmann%20in%20Jerusalem%5B1%5D.pdf