Jika Comte di sosiologi, Wilhem Wundt berada di bidang psikologi. Di bidang psikologi (dimulai oleh Wilhem Wundt itu sendiri yang mendirikan laboratoriun untuk penelitian psikologi yang kemudian dikenal sebagai psikologi eksperimental), model-model eksperimentasi dengan hitungan-hitungan prediktif kalkulatif juga sangat dominan. Dalam ilmu psikologi, gaya berpikir yang semacam itu lantas pada awal abad keduapuluhan disebut sebagai psikologisme. Positivisme dalam psikologi menjadi puncak kejayaan perkembangan ilmu-ilmu humanistik
Hingga saat itu, metodologi matematis (termasuk di dalamnya kalkulatif, observasi empiris) yang dipakai untuk menjelaskan sah dan benarnya sebuah pengetahuan seakan tampak sempurna dan tak ada cacatnya sama sekali. Tapi justru di sinilah letak kelemahan mendasar dari metode demikian ketika ilmu-ilmu humanistik berusaha dijelaskan dengan cara yang sama seperti angka-angka.
Masih ingatkah ketika RUU Terorisme (sesudah bom Bali) yang merumuskan sebuah tindakan untuk dikatakan perbuatan teroris atau pembunuhan biasa didasarkan semata pada jumlah korban (HANYA pada angka). Saya lupa detailnya, tapi kira-kira logika positivistiknya demikian: di atas 500 dikatakan perbuatan teroris dan karena itu dihukum sebagai penjahat teroris (yang jelas lebih berat daripada pembunuhan biasa). Cuma yang menjadi kritik tajam atas hal ini adalah apakah bukan suatu pemikiran naïf ketika sekelomok orang membunuh 400 orang dan dihukum sebagai penjahat biasa. Belum lagi soal pereduksian nilai kemanusiaan ke dalam angka-angka sedemikian rupa bukankah justru menggambarkan sebuah paradox dari pembuatan UU itu sendiri (di mana UU justru memaksudkan supaya manusia lebih hidup secara manusiawi, damai, tenteram).
Perkembangan metode matematis ini justru membuat salah seorang ahli matematika yang tersohor menjadi gelisah. Ia adalah Edmund Husserl. Ia sangat gelisah karena pertanyaan-pertanyaan: Benarkah sebuah ilmu pengetahuan itu baru meyakinkan kalau sudah menunjukkan hitungan matematis yang sahih dan valid? Tidakkah, bila demikian halnya, kebenaran itu seakan lantas hanya menjadi hak paten dari satu dua orang yang bernama ilmuwan belaka? Benarkah kebenaran itu hanya milik dari segelintir orang yang tahu statistik, hitungan aritmatika, geometri?
Edmund Husserl adalah pencetus fenomenologi dalam arti ia hendak menjadikan fenomenologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Secara ringkas, fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang fenomena. Fenomena apa? Ya semua fenomena. Nah, menurut Husserl, dari fenomena-fenomena inilah kemudian manusia dapat masuk lebih jauh ke dalam sumber atau dasar yang menyebabkan fenomena itu terjadi. “Back to the things (kembali kepada benda-benda itu sendiri)” merupakan semboyan dari fenomenologi Husserl. Upaya Husserl ini merupakan reaksi penolakan atas psikologisme dan ilmu posivistik yang berkembang saat itu[1].
Menurut Husserl, kita tidak perlu memaksakan kategori-kategori pemikiran kita atas realitas. Sebaliknya, biarlah realitas menampakkan diri apa adanya.[2] Apa yang ditampakkan oleh realitas sejauh ia ada, dapat ditangkap oleh kesadaran. Kesadaran karena itu tidaklah pasif. Pada poin ini, Husserl dapat berkata bahwa kesadaran adalah kesadaran yang bertujuan. Struktur kesadaran sebagai intensionalitas ini memang masih menempatkan manusia tetap sebagai pusat makna. Karena itu, yang dicari dalam fenomenologi ini adalah apa makna hidup manusia. Maka, dalam fenomenologi Husserl, tema sentral diletakkan pada lebenswelt, yakni dunia hidup kita sehari-hari. Bagaimana Husserl memulai analisa fenomenologisnya untuk sampai kepada benda-benda itu sendiri (esensi benda itu)?
Husserl memperkenalkan sebuah metode yang disebut reduksi fenomenologis. Reduksi fenomenologis adalah sebuah penundaan (epoche, bracketing) terhadap pandangan sehari-hari untuk sampai kepada halnya. Ada tiga tahap reduksi.[3] Pertama, reduksi fenomenologis yang memaksudkan penyingkiran segala sesuatu yang bersifat subjektif. Kedua, reduksi eidetik yang memaksudkan penyingkiran sementara objektivitas yang menyelubungi esensi benda tersebut. Reduksi pada tahap kedua ini sesungguhnya merupakan penundaan anggapan terhadap struktur-struktur yang mendasari adanya benda tersebut. Dan ketiga, reduksi transendental yang memaksudkan penyingkiran terhadap kesadaran yang bukan kesadaran murni. Ketika kita sampai pada kesadaran murni berarti kita sampai kepada apa (esensi) yang menampakkan diri apa adanya kepada kita.
Struktur kesadaran yang bersifat intensionalitas membuat Husserl mampu untuk membuka kembali Cogito tertutupnya Descartes. Ini terjadi karena pengalaman akan dunia mendahului semua pengetahuan.[4] Dunia, karena itu, dalam kerangka fenomenologi tidak berada atau terlepas dari manusia. Dunia dan manusia adalah satu. Tanpa dunia, segala pemahaman dan pengetahuan tidaklah mungkin terjadi. Salah satu murid Husserl, Heidegger, akan melengkapi tapi sekaligus mendobrak pendirian gurunya ini. Bagi Heidegger, dalam perjalanan selanjutnya, ego transendental Husserl justru identik dengan realitas murni. Dengan kata lain, ego transendental tidak menambah sesuatu yang baru.[5] Mengapa? Bagi Heidegger, pemikiran Husserl masih berorientasi pada kesadaran itu sendiri. Heidegger melihat bahwa ada yang lebih mendasar dari persoalan relasi kesadaran dengan realitas, yakni keber-ada-an. Dengan bantuan fenomenologi[6], Heidegger berupaya menggarap permasalahan ini. Dalam Being and Time (buku utama Heidegger), penggunanan fenomenologi justru menjadikan karyanya tersebut bersifat hermeneutis[7]. Dengan kata lain, Heidegger berupaya melihat seluruh perkembangan sejarah pemikiran filosofis dalam kerangka hermeneutis. Hal ini terutama menyangkut tema Ada yang merupakan persoalan utama Heidegger. Karena itu, ontologi harus menjadi fenomenologi tentang Ada. Selanjutnya, fenomenologi harus menjadi hermeneutika mengenai eksistensi. Eksistensi di sini merujuk pada eksistensi manusia lantaran hanya manusia yang dapat mempertanyakan adanya sehingga dapat membuka ruang (kemungkinan) untuk memahami Ada. Pada poin ini, eksistensi manusia diistilahkan Heidegger dengan Dasein yang artinya ada (Sein) di sana (Da).
Tidak digunakannya konsep manusia (human being, man), menurut Heidegger, lantaran konsep tersebut kerap dipahami sebagai yang sudah jadi, selesai, statis dan dalam arti tertentu cenderung dilihat sebagai objek (dalam relasinya dengan subjek). Karena itu, terminologi ‘di sana’ hendak menunjukkan suatu proses menjadi, dinamis yang hanya selesai ketika Dasein mati. Tapi, bagaimana Dasein dapat mengenal dirinya sebagai demikian? Untuk menjawab ini perlulah memahami apa yang dimaksud Heidegger dengan dunia.
Bagi Heidegger, Dasein haruslah dipahami sebagai berada-dalam-dunia. Dunia dalam pemahaman Heidegger bukanlah berada dalam pengertian objek. Artinya, dengan meneliti dunia, kita dapat menghasilkan pemahaman mengenai diri kita sendiri. Misal, seorang ilmuwan yang mencari data bagi kepentingannya. Ilmuwan ini dalam usahanya mencari data justru memisahkan diri dengan apa yang hendak dicari itu. Bahkan tanpa disadari juga kerap ilmuwan menetapkan kategori-kategori pemikiran atas apa yang diteliti. Karena itu, hasilnya justru tanpa disadari sudah berada dalam kerangka kesadaran si ilmuwan. Inilah yang kemudian menjadi kritik terhadap nilai kesahihan dari pengetahuan yang dihasilkan. Dengan kata lain, dapat ditanyakan, apakah ilmu sungguh-sungguh bebas nilai (nilai kepentingan, kekuasaan, subjek si peneliti, dan sebagainya).
Dunia adalah tempat Dasein mengada, tempat penyingkapan Dasein (pengungkapan Ada itu sendiri). Dasein tanpa dunia adalah tidak mungkin sebab Dasein tidak akan pernah dapat melihat dan memahami entias-entitas lainnya (seperti benda-benda, manusia lainnya) juga dirinya lepas dari dunia ini. Lebih lanjut, penggunaan tanda hubung (-), menegaskan ketakterpisahan Dasein dengan dunia. Dari poin tersebut dapat dimengerti bahwa bagi Heidegger kesadaran bukanlah semata kesadaran akan sesuatu, melainkan kesadaran pada dasarnya adalah kesadaran dalam atau sebagai sesuatu. Maksudnya, kita tidak sekedar menyadari sesuatu melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita.
[1] Lih. Dermot Moran. An Introduction to Phenomenology. London: Routledge, 2000. Hal. 9. Bdk. Edmund Husserl. Ideas I. bag. Introduction di mana ia berkata, “Kritikku terhadap metode psikologi tidaklah bermaksud untuk menolak sama sekali nilai psikologi itu sendiri….Yang aku kritik adalah bahwa metode psikologi memberikan kepastian hampa dalam arti metodenya sendiri itu cacat sehingga cara kerja ini perlu diangkat ke taraf yang lebih tinggi. Taraf yang lebih tinggi inilah yang dinamakan Fenomenologi Murni atau Transendental di mana disiplin ilmu ini berurusan dengan Science of Essence (as an ‘eidetic’ science).” (Terjemahan dari penulis sendiri)
[2] Sebagai Contoh, jika Anda ditanya, “Apakah matahari itu?” Anda mungkin menjawab bahwa matahari adalah pusat tata surya. Jawaban ini memang tidak salah. Tapi, secara fenomenologis, jawaban ini belum dapat dikatakan benar. Seorang fenomenolog adalah seorang pemula dalam arti pemula dalam segala pengetahuan. Seorang fenomenolog justru mempertanyakan segala hal (pendapat orang, ide, gagasan dan sebagainya). Seorang fenomenolog tidak mengikuti begitu saja apa yang dikatakan atau apa yang telah ditetapkan sebagai demikian. Jadi, bagi seorang fenomenolog, matahari itu pertama-tama adalah panas. Panas karena fenomena atau gejala pertama yang kita rasakan dari matahari adalah panas.
[3] Mudji Sutrisno & F Hardiman (eds.). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal. 90-91.
[4] Paul Ricoeur, seorang filsuf berkebbangsaan Perancis akan memakai pemahaman ini untuk menjelaskan makna bahasa. Bagi Ricoeur, karena kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu, maka bahasa adalah bahasa mengenai sesuatu. Pemahaman ini menghantar Ricoeur pada analisanya mengenai diskursus di mana peristiwa dan makna terkandung di dalamnya dan bersamaan dengan itu siapa subjek dari diskursus akan diulas olehnya juga. Lih. Ricoeur. The Hermeneutical Function of Distanciation dalam majalah Philosophy Today (1973).
[5] Dalam kata pengantarnya terhadap fenomenologi Husserl. Lih. Merleau-Ponty. Phenomenology of Perception. Colin Smuth (terj.). London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1962.
[6] Lih. Richard E Palmer. Hermeneutics. Hal. 128-132.
[7] Secara khusus dapat dilihat pada Being & Time, bag. 8 yang berbicara mengenai metode investigasi fenomenologis. Hal. 49-63.
[…] ke Kritik Fenomenologis – Ontologis Terhadap Psikologisme dan Positivisme Share this:TwitterFacebookLike this:LikeBe the first to like this. Comments RSS […]