Bagi NietzscheNietzsche,,, yang namanya kesadaran itu tidak ada. Kesadaran (Rasionalitas) itu pada dasarnya hanya merupakan bentuk kepercayaan manusia yang lemah. Misal, apa itu kebenaran? Kebenaran berarti kesesuaian antara pikiran dengan apa yang dikatakan. Bagi Nietzsche, definisi kebenaran bukanlah itu. Kebenaran, bagi Nietzsche, adalah siapa yang berkuasa, dialah yang benar. Karena itu, kebenaran sama dengan kekuasaan. Tapi, apa yang dimaksud dengan kekuasaan seperti ini?
Dalam pemikiran Nietzsche, apa yang disebut kesadaran (rasionalitas) sudah tidak berlaku lagi. Bagi Nietzsche, seluruh hal hanya dapat dijelaskan dengan apa yang disebut sebagai Kehendak. Kehendak adalah awal keberadaan manusia. Kehendak merupakan cara manusia memanusiakan hidupnya sendiri. Konsekuensi pemikiran Nietzsche ini menghantar dia untuk menyatakan bahwa “God is Dead” (Tuhan telah mati). Dalam sejarah filsafat, belum pernah ada orang yang seberani dia menyatakan hal ini.
Ketika Tuhan ‘dibunuh’ oleh manusia dengan sikap, perilaku dan tindakannya, maka yang tertinggal adalah manusia itu sendiri. Lalu, apa yang menjadi dasar perbuatan manusia? Jelaslah bahwa yang menjadi dasarnya adalah manusia itu sendiri. Ukuran kebenaran, ukuran moralitas, hukum, baik-buruk, benar-salah tidak lagi diasalkan pada Tuhan. Semua ini sekarang ditentukan oleh manusia itu sendiri. Maka, kata Nietzsche, orang yang masih mengakui adanya Tuhan dalam kehidupan mereka pada dasarnya adalah manusia-manusia yang lemah. Manusia-manusia ini bermental budak, lemah. Sedangkan, manusia-manusia yang menentukan sendiri ukuran moralitas, kebenaran dan sebagainya itu merupakan manusia-manusia yang kuat, bermental tuan. Oleh karena itulah, Nietzsche menyatakan bahwa manusia-manusia yang kuat ini sebagai Super Man (manusia super).
Bagaiamana di bidang ilmu-ilmu sosial?
Mari bicara tentang August ComteAugust Comte.
August Comte merupakan seorang tokoh sosiologi yang sangat terkenal. Ia mencetuskan gagasannya di bidang sosiologi dengan nama Positivisme Sosiologis. Apa artinya ini? Terminologi positivisme sebenarnya berawal dari akhir abad 18 dan merujuk pada ilmu-ilmu alam seperti fisika, kimia, matematika (dan kemudian semakin berkembang ke bidang geografi dan filsafat). Oleh Comte, pendekatan ini justru diaplikasikan ke dalam ilmu sosial. Mengapa? Dalam beberapa hal, aplikasi gagasan Comte ini merupakan reaksinya terhadap hasil revolusi Perancis dan pemikiran Abad Pencerahan. Apa kaitannya?
Comte melihat bahwa penekanan yang berlebihan pada rasionalitas justru menyebabkan kehancuran institusi tradisional seperti agama. Bagi Comte, cara berpikir demikian – yang terlalu menekankan rasio – merupakan cara berpikir ‘negatif’. Karena itulah, Comte mencetuskan cara berpikir yang mengedepankan ilmu dan fakta, bukan lagi tentang spekulasi dan metafisika. Akibatnya apa? Akibatnya adalah penggunaan analisa statistik untuk mencari dan menemukan penjelasan kausalitas terhadap fenomena sosial dan hukum-hukum yang mendasari perubahan dinamika masyarakat. Maka, tidak heran jika gagasan seperti Kehendak Bebas, Intensionalitas, Motivasi disingkirkan dari situ. Lantas, bagaiamana cara kerja Comte dalam menarik hukum-hukum yang mendasari perubahan masyarakat dan setidaknya mewaspadai perkembangan ke depan (dengan hukum yang telah ditemukan itu)?
Bagi Comte, seluruh perkembangan disiplin ilmu pasti melewati 3 tahap besar, yakni tahap teologi, metafisika, dan terakhir positivisme. Dari masing-masing ketiga tahap itu, terdapat sub bagian yang menjelaskan tiga tahap tersebut. (bisa dilihat di sini www.marxists.org/reference/archive/comte/1856/general-view.htm). Selain menjelaskan ketiga tahap itu, Comte berpendapat bahwa terdapat pula hierarki ilmu-ilmu. Nah, bagi Comte, sosiologi itu pada dasarnya mengalir dari biologi. Kok bisa?
Menurut Comte, kajian biologi pada dasarnya berkarakter holistik yang mulai dari keseluruhan organisme dan sistem yang menatanya. Bukan dari unsur-unsurnya. Misal, kajian tentang peredaran darah justru hanya dapat dipahami dalam sistem tubuh itu sendiri dan bagian-bagian yang bersangkutpaut dengan itu. Jadi, menurut cara pandang demikian, bagi Comte sosiologi mengkaji dan melihat masyarakat sebagai keseluruhan. Atau dengan kata lain, Comte melihat masyarakat ini sebagai suatu sistem sosial. Sosiologi dengan demikian berurusan dengan aksi dan reaksi dari aneka bagian dalam sistem sosial itu sendiri. Tingkah laku individu harus dianalisa dalam kaitannya dengan keseluruhan.
Menurut Comte, cara berpikir ini tidak dapat dibalik, yakni analisa atas masyarakat dilihat dari unsur-unsur pembentuknya, individu. Apa akibatnya jika sebuah karakter positivistik digunakan untuk sebuah pengetahuan tentang prilaku masyarakat? Akibatnya adalah seluruh penjelasan tentang fenomena sosial justru mirip penjelasan sebuah gejala-gejala alam di mana ketika seorang ahli mengetahui hukum-hukum dasar tersebut, realitas sosial (dan seluruh dinamika perkembangannya) dapat dijelaskan secara tuntas berdasar hukum-hukum tersebut. Tapi, apakah benar dan bisa bahwa perilaku dan tindakan masyarkat dapat diukur dari hukum (pola-pola relasi) yang ada (it is what it is)? Atau dengan kata lain, apakah tindakan dan perilaku masyarakat dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang dapat dijelaskan secara mekanis-ilmiah (seperti bagaimana seseorang menguraikan elemen-elemen pembentuk sebuah jam dan menunjukkan hukum-hukum yang berlaku bagi kinerja sebuah jam tersebut secara keseluruhan)? Seperti dijelaskan di atas, jawabannya jelas tidak dapat.
Bersambung ke Kritik Fenomenologis – Ontologis Terhadap Psikologisme dan Positivisme