Machiavelli merupakan seorang pemikir yang mungkin dikenal karena ‘kebrutalan’ gagasannya tentang kekuasaan. Pemikirannya tentang – terutama dalam bukunya berjudul Il Principe – Negara dan cara mempertahankan kekuasaan atasnya sangat menonjol. Politik tanpa Etika, begitulah yang kerap didengungkan terhadap gaya berpikir Machiavelli. Hmmm….let’s see.
Salah satu poin penting yang diajukan oleh Machiavelli berkenaan dengan pemahaman mengenai hasrat (desire) manusia. Machiavelli melihat hal ini justru sebagai dasar semua kebijakan politik. Bagi Machiavelli, manusia pada dasarnya digerakkan oleh kepentingan diri (self-interest)[1]. Kepentingan diri ini begitu nyata dan dapat dirasakan langsung. Jika dalam tiap manusia terdapat hasrat ini, yang terjadi selanjutnya adalah relasi di antara manusia mudah terbuka pertikaian. Tapi, rupanya, Machiavelli tidak langsung berbicara mengenai relasi antar manusia itu sendiri. Fokus perhatiannya justru lebih terletak pada relasi penguasa dengan warga negara.
Dengan memahami hasrat ini, menurut Machiavelli, penguasa bukannya malah memberangus hasrat tersebut, melainkan hal tersebut perlu diatur dan ditata sedemikian rupa demi kebaikan bersama. Tetapi, apa yang dimaksud dengan kebaikan bersama di sini bukanlah dalam arti moral. Artinya, jika para pemikir sebelumnya (seperti Aristoteles, Thomas Aquinas) menggagas hidup bersama berdasar pada hukum kodrat atau hukum ilahi, maka hal ini bagi Machiavelli justru dapat terjadi sebaliknya yakni secara potensial menciptakan dasar bagi ketidaktaatan pada penguasa[2].
Penguasa, karena itu, perlu memperhatikan apa yang sedang berlangsung dalam kehidupan negaranya. Jika keadaan memaksa, ia dapat menggunakan cara apa pun demi mempertahankan kelangsungan kehidupan negara. Pada poin ini, kekuasaan merupakan hal yang esensial sebab dari kekuasaan mengalir hak yang digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan negara dari setiap ancaman yang datang. Implikasinya adalah jika penguasa berhasil mempertahankan negara dari ancaman, kewajiban akan muncul dengan sendirinya dari warga negara untuk tunduk pada penguasa. Dengan kata lain, penguasa yang bijak memahami dan mengetahui bagaimana kekuasaan itu dipraktekkan[3].
Di lain pihak, kekuasaan sebagai hak untuk memerintah adalah sesuatu yang mustahil jika tidak ada kekuatan yang memberlakukan hak penguasa. Bagi Machiavelli, kekuatan untuk memberlakukan hak penguasa, yang berarti hukum demi kebaikan bersama, terwujud dalam diri tentara[4]. Dengan kata lain, di mana ada tentara yang baik, di situ terdapat pula hukum yang baik dan demikian juga sebaliknya. Kekuatan dan kekuasaan adalah dua hal yang sejajar. Kehidupan politik dalam arti relasi antar manusia hanya dapat dimungkinkan oleh adanya kekuasaan dan kekuatan.
Maka, dalam kaitannya dengan tata Etika Politik, Machiavelli dengan jelas meletakkannya pada posisi kekuasaan dan kekuatan. Atau dengan lain kata, Etika justru dipahami dan dipikirkan sebagai usaha penguasa dan tentaranya mengambil cara-cara yang perlu untuk pencapaian tujuan bersama, yakni kehidupan Negara yang aman. Aman di sini berarti kepentingan tiap-tiap orang terjamin dan terpenuhi. Dalam beberapa hal Machiavelli memang berbicara tentang ketakutan sebagai syarat mutlak untuk taat[5]. Tetapi, hal tersebut bukan tanpa alasan. Seringkali, sebagaiamana yang sering diungkapkan, pemikiran Machiavelli ini pada dasarnya mengasumsikan kedudukan/situasi negara yang berada dalam keadaan genting dan bahaya sehingga cara apa pun akan digunakan untuk mempertahankan kedudukan penguasa[6]. Karena itulah, kebaikan bersama, tujuan Negara, cita-cita dan tujuan hidup anggota masyarakat tidak dipikirkan dalam kaitan dengan moralitas, tetapi lebih pada apa yang nyata, riil sebagaimana dikatakannya,
‘Karena alasan inilah – di mana seorang penguasa harus mengetahui bagaimana mempertahankan kekuasaan Negara,bertidak melawan keyakinan moral, bahkan pertemanan, kemanusiaan, dan agama) – biarlah seorang penguasa diberi kepercayaan untuk mengendalikan situasi Negara (yang dalam bahaya) sehingga cara dan tindakan apa pun yang diambil olehnya pastilah BAIK. Karena itu pula, penguasa demikian justru akan dielu-elukan’[7].
[1] Machiavelli. The Prince 10 (dibaca The Prince bab 10), dimana dikatakan ‘If the people have property outside the city, and see it burnt, they will not remain patient, and the long siege and self- interest will make them forget their prince… For it is the nature of men to be bound by the benefits they confer as much as by those they receive’.
[2] ‘They based their political doctrines on consideration of man’s highest aspirations, the life of virtue and the society dedicated to the promotion of virtue. They rendered themselves ineffective. As Bacon said, they made “imaginary laws for imaginary commonwealth”’ dari ringkasan disertasi Rm. Armada, CM. Hobbes on Right and Obligation dalam FORUM no.23 thn XXVIII 2000. Lihat juga The Prince 15 di mana Machiavelli menyatakan ‘it appears to me more appropriate to follow up the real truth of a matter than the imagination of it’.
[3] ‘Therefore, if everything is well considered, it will not be difficult for a wise prince to keep the minds of his citizens steadfast from first to last, when he does not fail to support and defend them’. The Prince 10.
[4] The Prince 12 ‘The chief foundations af all states, new as well as old or composite, are good laws and good arms’.
[5] The Prince 17 ‘And men have less scruple in offending one who is beloved than one who is feared, for the love is preserved by the link of obligation which, owing to baseness of men, is broken at every opportunity for their advantage; but fear preserves you by a dread of punishment which never fails’.
[6] Ini ditunjukkan dengan beberapa terminologi semisal ‘new principality’, ‘newly acquired state’, ‘new states’, ‘a prince, specially a new one’.
[7] The Prince 18.