Filsafat feminisme dapat dikatakan sebagai suatu cara berpikir yang menekankan pengalaman, identitas, serta cara berada dan berpikir perempuan dilihat sama seperti kaum pria. Singkatnya, bagaimana berfilsafat dari sudut pandang perempuan. Menurut para filsuf feminis, gagasan mendasar mengenai Allah, dunia dan manusia dibangun atas dasar konsep patriarkal (dari bahasa Latin, pater: bapa). Akibatnya, peranan perempuan kurang diperlihatkan bahkan tidak jarang dirugikan. Peranan dan perjuangan perempuan justru dikuasai dan diukur dari konsep patriarkal. Karena itulah, para filsuf feminis bermaksud merombak kembali gagasan-gagasan mendasar yang menjadikan perempuan berkedudukan seperti itu.
Kemunculan filsafat feminisme memang kerap dikaitkan dengan terbitnya buku Simone de Beauvoir berjudul The Second Sex (terbit tahun 1949). Jauh sebelum karya ini terbit, pembedaan peran pria dan wanita itu sendiri sudah tampak pada pemikiran Plato dan Phytagoras. Tapi, pemikiran para filsuf Yunani tersebut tidak seradikal Simone de Beauvoir. Plato, misalnya, hanya menggagas perbedaan fisik antara pria dan wanita.
Terlepas dari itu, Plato mengatakan baik pria dan wanita dapat dan mampu melaksanakan fungsi yang sama sebagai manusia seutuhnya dalam suatu masyarakat. Sementara Simone de Beauvoir mengangkat perbedaan fisik ini ke tataran ontologis dengan mengatakan
“One is not born, but rather becomes a woman. No biological, psychological, or economic fate determines the figure that the human female presents in society; it is civilisation as a whole that produces this creature, intermediate between male and eunuch, which is described as feminine”.
Pendekatan inilah yang barangkali memicu kelahiran gerakan feminisme untuk menafsirkan kembali peran dan fungsi perempuan dalam bidang ekonomi, sosial, politik sampai pada bidang agama.
Beberapa tokoh Penting
Mary Daly (1928- )
Pemikiran feminisme dalam bidang agama dapat dilihat dari beberapa karyanya antara lain, The Church and The Second Sex (1968), Beyond God The Father: Toward a Philosophy of Women’s Liberation (1973), dan Gyn/Ecology, The Metaethics of Radical Feminisme (1977). Dalam dua karyanya yang pertama, Daly masih menggeluti persoalan mengenai Allah dan Kristianitas. Sementara pada karya ketiga, gagasan-gagasan tersebut ditinggalkannya lantaran gagasan tersebut sudah terikat dalam tradisi patriarkal sehingga akomodasi peran wanita di dalamnya hanya berakibat kekerasan pada wanita. Mengapa berubah? Jawaban atas pertanyaan ini akan bisa dijawab dengan melihat kembali pada pemikirannya di dua karyanya yang pertama.
Pusat pemikiran Daly terletak pada usaha reinterpretasi feminisatas konsep sentral teologi termasuk tentang eksistensi manusia dan Allah. Fokus perhatian Daly pada gagasan mengenai Allah hendak mengatakan kaitan erat antara pondasi struktur sosial dan legitimasi patriarkal yang berdasar pada ciri maskulin Allah. Poin inilah yang hendak dibongkar oleh Daly. Dengan kata lain, ia hendak membebaskan teologi dari fungsi legitimasi patriarkis dan menampilkan proses menjadi manusia dalam arti sepenuhnya. Pembebasan lantas menjadi kata kunci bagi pemikiran Daly. Baginya, untuk menjadi manusia seutuhnya, kemampuan untuk menamai diri sendiri, dunia dan Allah haruslah ada dalam diri manusia. Tapi, kemampuan atau kekuatan untuk menamai inilah yang hilang atau dicabut secara paksa dari diri perempuan. Karena itu, pembebasan bahasa dan konsep dari kontrol patriarkis pada saat yang sama merupakan pembebasan wanita. Untuk tujuan tersebut, usaha pembebasan pertama ditujukan pada gagasan Allah sebagai Bapa.
Gagasan Allah sebagai Bapa merupakan gagasan maskulin yang tidak mengikutsertakan pengalaman wanita di dalamnya. Jika Allah sebagai laki-laki di surga mengatur umatNya, maka itu sesuai dengan rencana ilahi bahwa masyarakat diatur atau dipimpin oleh kaum pria. Atau sebagaimana yang diungkapkan Daly, “Jika Allah itu pria, maka pria itu Allah”. Konsep seperti ini jelas menindas wanita. Karena alasan inilah, Daly mengungkapkan cara yang ia sebut perubahan imajinasi kolektif yang dikaitkannya dalam bidang bahasa untuk mengubah gambaran Allah seperti itu. Allah sebagai Bapa pada dasarnya hanya merupakan penamaan. Tapi, penamaan demikian justru berakibat pada penentuan kualitas manusia secara artificial khususnya kepada perempuan dalam hidup bermasyarakat. Batasan-batasan epistemologis, ekonomis, politis, sosial dan lain-lain lantas dibangun di antara pria dan wanita. Batasan demikian menjadikan perempuan mendapat stereotipe yang pasif, tidak melawan, emosi, dan sebagainya. Untuk membongkar gagasan Allah seperti itu, Daly mengambil alih pendekatan eksistensialisme. Dengan paham ini, ia memaksudkan keberanian untuk menghadapi pengalaman apa pun juga termasuk pengalaman akan ketiadaan. Pengalaman-pengalaman manusiawi inilah yang menurut Daly dapat menghantar pada pengakuan dimensi ontologis tiap pribadi dan sekaligus pula dimensi sosialnya. Pengakuan dimensi sosial dimaksudkan untuk membongkar tatanan patriarkal tersebut. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah pendekatan eksistensial ini apakah memberikan tempat bagi Allah padahal gagasan mengenai Allah sebagai Bapa ini yang menjadi tujuan utama Daly?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Daly meninggalkan sebagian besar tradisi Kristiani dan menggantikan pembicaraan mengenai Allah dengan pembicaraan mengenai perempuan itu sendiri. Pergantian ini tidak berarti penyingkiran total atas Allah. Eksistensi mendasar manusia tetap membutuhkan transendensi terakhir, yakni Allah. Hanya Allah yang dipahami oleh Daly adalah Allah sebagai kata kerja, bukan sebagai ‘Allah yang duduk dan menghakimi’. Konsep Allah sebagai demikian jelas dapat memberi suatu kekuatan bagi manusia, khususnya bagi perempuan, untuk berproses menjadi manusia seutuhnya. Kata lainnya, proses menjadi manusia yang utuh berarti berpartisipasi dalam dinamika kekuatan adanya Allah.
Upaya Daly untuk membebaskan perempuan dalam agama Kristiani rupanya menemui halangan. Ia menyadari bahwa Kristianitas itu sendiri sudah terikat oleh tradisi patriarkal sehingga akomodasi perempuan di dalamnya justru mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan itu sendiri. Struktur patriarkal dianggap sebagai pondasi semua agama besar di dunia. Itulah mengapa dalam karyanya yang ketiga, ia meninggalkan Kristianitas dan gagasan mengenai Allah sebagaimana dijelaskannya dalam karya-karya sebelumnya. Gagasan Allah digantinya dengan konsep ke-allah-an. Dengan kata lain, Daly menjadikan gagasan ini lebih abstrak untuk memberi ruang bagi penegasan adanya wanita. Tapi, upaya ini justru menghilangkan perbedaan antara pria dan wanita. Allah, dengan kata lain, merupakan inkarnasi wanita itu sendiri
Sally McFague
Pendekatan filsafat feminis Sally McFague dalam bidang agama dapat ditemukan dalam karyanya yang berjudul Metaphorical Theology: Models of God in Religius Language (1982). Dari judul buku ini setidaknya dapat diketahui arah pembicaraan Sally mengenai Allah. Ia berupaya menguraikan apa yang sesungguhnya disebut sebagai bahasa religius dalam hubungannya dengan pengalaman menjadi wanita. Karena itu, Sally pertama-tama hendak menerapkan pandangan feminis pada tradisi. Tradisi apa? Tradisi Kristiani yang sudah dibalut oleh bentuk patriarkal. Menurutnya, ungkapan dasar agama Kristiani adalah pembebasan, bukan patriarkal.
Dewasa ini apa yang disebutnya bahasa religius sudah kehilangan makna dan relevansi. Bahasa yang seharusnya dipakai dalam konteks ibadah justru melupakan jarak antara dunia ini dan realitas ilahi. Konsekuensi ini mengalir pada apa yang disebut dengan konteks interpretatif. Konteks itu mau mengatakan bahwa seseorang yang berbicara mengenai Allah adalah ada yang bersifat sosial, historis dan kultural. Ini berarti bahwa pluralitas konteks interpretatif tidak dihargai lantaran bahasa demikian menyingkirkan manusia berdasar pada kelas, ras atau seks. Menurut Sally, para femimis pada umumnya sepakat bahwa manusia dilahirkan ke dalam dunia yang telah bersifat linguistik ini dan mereka yang menamai dunia inilah yang mengendalikannya. Persoalan yang dihadapi para feminis bukan hanya bahwa Allah itu bersifat maskulin tapi bahwa bentuk-bentuk patriarkal menjadi layar atau latar belakang di mana semua relasi antara diri dan Allah, diri dan orang lain dapat dilihat. Bagaimana ini dapat terjadi?
Sally melihat bahwa persoalan ini merupakan akibat dari pemahaman Gereja di abad pertengahan yang mengemukakan analogi ada. Namun, setelah reformasi Protestan relasi antara simbol dan referensinya (analogi ada, red) menjadi lenyap. Relasi ini digantikan oleh bahasa metaforis yang dilihat Sally terdapat dalam tradisi Protestan namun memiliki akar dalam tradisi Katolik. Menurutnya, metafora inilah yang bisa digunakan untuk berbiara mengenai relasi Allah dan manusia dalam konteks dewasa ini. Mengapa metafora? Karena metafora menemukan kemiripan dalam ketidakmiripan. Metafora itu menggoncang, membawa perbedaan dan meruntuhkan kebiasaan. Tapi, metafora dalam dirinya sendiri tidak mencukupi. Bagi Sally, harus ada distingsi antara bahasa religius metaforis dan konseptual. Distingsi ini diperlukan supaya menghindari pemberhalaan terhadap bahasa religius metaforis tersebut. Hal ini misalnya dapat dilihat dari gambaran Allah sebagai Bapa. Ungkapan (metafora) ini menyingkirkan cara berpikir dan berbicara yang lain. Karena itulah bahasa religius metaforis perlu ditransisi ke bahasa konseptual supaya pengalaman perempuan dapat diikutsertakan dalam relasi Allah dan manusia. Poin inilah yang disebut Sally sebagai ungkapan dasar Kristianitas yang membebaskan.
Pembebasan ini bukan semata pembebasan dari kekuasaan laki-laki melainkan juga pembebasan dari batasan kebiasaan (tradisi) serta harapan bagaimana seharusnya dunia ini berhubungan dengan Allah. Pembebasan ini tercapai melalui cara berada yang baru dalam hubungannya dengan yang ilahi dan yang dicirikan oleh cinta tanpa syarat. Penekanan Sally di sini terletak pada relasi Allah dengan manusia bukan usaha menggambarkan Allah. Tiap pengalaman manusia akan yang ilahi pada dasarnya mau mengatakan relasi yang membebaskan. Manusia memang membutuhkan bahasa metaforis dan menurut Sally Allah sebagai Sahabat pantas menjadi ungkapan yang sangat penting dan bermakna. Gambaran ini mengungkapkan maturitas dan mutualitas serta sekaligus mengungkapkan juga relasi di antara manusia baik usia, seks, warna, agama dan menerima perbedaan baik sebagai individual, bangsa dan kebudayaan. Dengan kata lain, ungkapan Allah sebagai Sahabat ini memiliki tendensi imanental yang kuat yang di dalamnya kita tidak lagi berada di bawahNya melainkan berada dalam Allah.
Luce Irigaray (1930 – )
Tokoh ini adalah seorang Perancis yang beraliran post-strukturalis. Pemikirannya lebih tertuju kepada kritik subjek rasional. Menurutnya, konsep subjek manusia sejak Plato sampai Freud selalu berkaitan dengan konsep maskulin yang membangun dan menginterpretasikan dunia ini. Karena itu, kaum perempuan kerap digambarkan sebagai warga kelas dua di bawah kaum pria. Namun, maksud Luce Irigaray bukanlah menyamakan diri dengan pria dalam kekuatannya dengan mengabaikan perbedaan yang ada. Justru ia hendak berkata bahwa kaum maskulin tidak lagi dapat membatasi segala hal dan menetapkan segala nilai.
Tekanan pada perbedaan menuntun Luce berbeda dari para pemikir feminis lainnya yang menekankan kesamaan politis dan hak-hak wanita. Bagi Luce, menuntut kesamaan sebagai wanita sesungguhnya merupakan suatu ungkapan yang keliru atas persoalan yang sebenarnya. Mengapa? Karena hal tersebut mengandaikan terminologi perbandingan, yakni kesamaan terhadap pria, gaji, kedudukan publik, dan sebagainya. Yang lebih parah lagi, tuntutan kesamaan justru mengartikulasikan keinginan akan kekuasaan. Inilah yang hendak dihindari oleh Luce Irigaray.
Wanita harus memiliki logikanya sendiri. Artinya, ketika logika berkaitan dengan kebenaran, maka perbedaan dalam kesatuan, identitas diri, dan temporalitas haruslah diperlihatkan. Logika demikian mengungkapkan esensi dan keseluruhan yang menjadikan wanita mampu berada. Adanya wanita lantas berarti berada dalam apa yang disebut Irigaray sebagai ‘wanita ilahi’. Subjektivitas manusia membutuhkan keilahian agar menjadi bebas, otonomi dan berdaulat. Tapi, tradisi religiusitas barat tidak memiliki keilahian yang mengakui perbedaan seksual ini. Itulah mengapa menurut Irigaray tujuan wanita hanya berasal dari luar, yakni dari laki-laki yang merupakan cermin Allah. Dengan kata lain, seluruh tujuan wanita pada dasarnya adalah menjadi pria (berproses seperti adanya pria).
Tidak berada bersama Allah merupakan suatu kehilangan bagi wanita itu sendiri, bagi komunitas serta barangkali juga bagi Allah. Wanita harus menggugat diskursus mengenai Allah sebagaimana mereka menggugat diskursus mengenai subjek manusia. Mereka harus mencari keilahian wanita yang tersembunyi yang akan membuat mereka bertumbuh dan memenuhi dirinya sebagai seorang individual dan sebagai anggota komunitas. Menurut Luce Irigaray, ini hanya dapat terjadi ketika terdapat seorang Allah yang bergender feminim yang dapat memberikan horizon bagi proses wanita. Luce Irigaray membuka sebuah kemungkinan dalam penjelasannya mengenai mistisisme wanita. Pemikiran ini merupakan satu-satunya tempat dalam pemikiran barat di mana wanita berbicara dan berbuat secara publik. Menurutnya, di sinilah cinta Allah menaklukkan segalanya. Inkarnasi Allah karena itu dapat memberikan sumbangan kepada proses wanita itu sendiri untuk menjadi apa yang disebutnya sebagai wanita ilahi.
Sebuah Tanggapan
Tema utama yang mendasari seluruh pergulatan filsafat feminisme adalah kekuasaan kaum maskulin atas perempuan. Bagi para filsuf feminis, legitimasi kekuasaan itu sesungguhnya tidak ada. Namun, struktur patriarkal telah menciptakannya sedemikian rupa dalam konteks sosial, historis, dan kultural sehingga seolah-olah legitmasi itu tidak dapat digugat lagi. Bahkan, legitimasi ini didasarkan pada landasan ontologis yang mengakibatkan bukan saja kaum perempuan itu rendah tetapi juga mereka adalah warga kelas dua. Penindasan, kekerasan, kerugian karena itu sangat dekat dengan golongan perempuan. Untuk merubah ini semua, Mary Daly tidak ragu untuk langsung mengarahkan kritknya pada konsep teologis Allah sebagai Bapa. Pendekatan utama yang ia lakukan berdasarkan pada pendekatan paham eksistensialisme dengan maksud menegaskan pengakuan dimensi ontologis tiap pribadi dan sekaligus pula dimensi sosialnya.
Rupanya pendekatan ini sudah mengandung benih penyamaan begitu saja karakter atau sifat Allah dengan karakter atau sifat manusia dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah perempuan. Akibatnya, dasar ontologis diletakkan Daly pada perempuan itu sendiri. Inilah yang kemudian membawa Daly untuk mengubah konsep Allah menjadi ke-Allah-an. Dengan kata lain, menjadikannya lebih abstrak supaya memberi ruang bagi proses atau dinamika perempuan. Usaha ini berarti bahwa konsep Allah dijadikan impersonal, bahkan sekedar sebagai konsep untuk proses transendensi kaum perempuan itu sendiri. Hal ini mau mengatakan Allah tidak lain adalah inkarnasi wanita itu sendiri. Mary Daly mengabaikan jarak antara realitas ilahi dan manusia. Poin inilah yang dilihat oleh Sally McFague.
Dalam usaha mengatasi kesulitan yang ditinggalkan oleh Mary Daly, Sally menggarap apa yang disebut sebagai teologi metaforis. Teologi metaforis berarti teologi yang berdasar pada metafora bahasa religius sebagai pusat pemikirannya. Bahasa religius sebagai sebuah bahasa harus memperhatikan pengalaman manusiawi terutama kaum perempuan. Sally mengistilahkannya sebagai konteks interpretatif yang berarti bahwa seseorang yang berbicara mengenai Allah adalah ada yang bersifat sosial, historis dan kultural. Konteks ini sekaligus memperlihatkan pula pluralitas atau keberagaman yang ada. Di pihak lain, metafora sebagai metafora tidaklah mencukupi. Mengapa? Menurut Sally, metafora dalam dirinya sendiri dapat menjadi berhala maka bahasa demikian perlu ditransisi ke bahasa konseptual. Sayangnya, Sally tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bahasa konseptual. Ia hanya mengandaikan bahasa konseptual menampung juga pengalaman wanita. Apakah Sally memaksudkan konseptualisasi bahasa lebih lanjut? Artinya, apakah konsep Allah sebagai Bapa adalah konsep yang sungguh-sungguh dapat diaplikasikan dalam pengalaman wanita?
Sally sendiri memang mengajukan konsep Allah sebagai Sahabat. Tapi, apakah konsep ini sendiri tidak jatuh dalam pemberhalaan? Artinya, konsep ini sebenarnya adalah suatu ungkapan yang berdasar pada pengalaman konkret tapi diangkat sebagai model penghayatan pengalaman religius. Lebih lanjut, konsep ini sendiri justru melupakan poin transendensi Allah. Apa yang hendak ditolak oleh Sally, yakni pengabaian jarak antara realitas ilahi dan manusia, malahan tanpa disadari masuk dalam pemikirannya mengenai bahasa konseptual. Ia memang menolak dominasi linguistik kaum maskulin, tapi penolakan ini menghantar pada satu pemberhalaan lainnya yang justru melupakan transendensi Allah.
Luce Irigaray yang merupakan seorang post-strukturalis Perancis memusatkan perhatian pada kritik subjek rasional. Menurutnya, pengertian subjek dari Plato hingga Freud selalu dibangun atas dasar maskulinitas. Ini mengakibatkan perempuan menjadi warga kelas dua. Namun, tujuan Irigaray tidaklah menuntut kesamaan seperti para filsuf feminis lainnya. Yang menjadi penekanannya adalah perbedaan. Perbedaan di sini mau berkata bahwa wanita harus mempunyai logikanya sendiri. Ketika kaum perempuan memiliki logikanya sendiri, keberadaannya sebagai manusia yang utuh dan kesetaraannya dengan kaum maskulin diperlihatkan sekaligus.
Pemikiran Irigaray mengenai logika demikian mempunyai konsekuensi lebih lanjut yakni pengandaian adanya Allah yang bergender feminim. Inilah yang memungkinkan pembicaraan mengenai mistisisme wanita. Tapi, pemikiran Irigaray tidaklah tanpa kelemahan. Penekanannya pada mistisisme wanita justru melupakan dimensi praktis kehidupan sosial kaum perempuan. Dengan kata lain, bagaimana bisa menjadi wanita ilahi terlepas dari pengalaman konkret aktual. Secara tidak langsung, ini merupakan akibat dari pemikiran post-strukturalis yang mengatakan kebenaran itu ada di balik realitas ini. Memang Irigaray memaksudkan mistisisme praktis yang berarti menghayati peran wanita dalam kehidupan sehari-hari, tapi hal ini dilakukan dalam kesendirian, lepas dari dimensi sosialnya. Itulah mengapa pada akhirnya Irigaray mengatakan “woman exist beyond what anyone may think of her”.
Kritik atas Filsafat Feminisme ???
Dari sisi etimologis, feminisme pada dasarnya adalah paham mengenai wanita. Namun, feminisme juga mengandung unsur gerakan. Dikatakan gerakan lantaran tujuan feminisme dimaksudkan supaya pengalaman, identitas, cara berpikir dan bertidak dilihat sama seperti kaum pria. Inilah yang dapat kita lihat dari gerakan feminisme dewasa ini yang menuntut kesetaraan di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Umumnya, gerakan ini membedakan apa yang disebut dengan gender dan seks. Gender adalah sesuatu yang bisa diubah, sementara seks merupakan sesuatu yang dari kodratnya tidak pernah bisa dirubah. Meskipun demikian, gerakan feminisme tidak memisahkannya hanya membedakan saja. Mengapa? Karena manusia selalu sudah terikat dengan jenis kelamin dan konsep gendernya. Kesatuan seksualitas dan tubuh manusia tidak dapat dipisahkan dari definisi diri sebagai individu. Dengan kata lain, status ontologis demikian perlu diperlihatkan dengan jelas bukan justru mengidentifikasi individu berdasarkan pada seksualitas.
Inilah poin yang menjadi kolaborasi filsafat dan feminisme. Hanya saja ketika kaum perempuan memerlukan dasar ontologis yang terungkap dalam cara berpikir epistemologi, metafisika, etika maupun estetika, dasar ontologis ini mensyaratkan perbedaan namun tetap berada dalam kesetaraan. Implikasinya, apa yang disebut dengan kebenaran tunggal itu tidak ada. Ketika kebenaran tunggal ini tidak ada, yang diajukan kemudian adalah apa yang disebut sebagai saling keterhubungan. Poin inilah yang sering disebut sebagai pengakuan akan adanya pluralitas. Artinya, bagaimana memahami cara berada yang berbeda. Keberadaan kaum perempuan lantas dapat dipahami dengan cara demikian.
Gagasan demikian memang memperlihatkan suatu keunggulan pengakuan keberadaan wanita yang berdasar pada kritik sistem filsafat pada umumnya. Tapi, filsafat feminisme sebagai suatu cara berpikir yang berarti menuntut adanya logika, metodologi, dan sebagainya tidak luput juga dari kelemahan. Pertama, filsafat ini mengandaikan aplikasi universal pemikirannya. Ini berarti bahwa mereka hendak menjadikan seluruh sistem filsafat berkarakter feminis. Hal ini menjadi dilema lantaran di satu pihak mereka mengakui bahwa filsafat feminis adalah filsafat yang dapat membebaskan ketertutupan sistem filsafat selama ini dari pemikiran kaum feminis namun di lain pihak pembebasan itu menuntut secara paksa masuknya sistem filsafat mereka. Implikasinya, hierarki idealitas tetap ada. Dengan kata lain, yang ideal itu adalah filsafat feminisme, yang lain tidak. Filsafat feminisme secara tidak langsung menjadi kebenaran tunggal itu sendiri. Kedua, sebagai suatu sistem filsafat, filsafat feminisme menarik jalan pikirannya dari ketertindasan kaum wanita oleh kaum maskulin. Logika ini dapat dilihat dari poin keharusan atau kewajiban kaum wanita. Kewajiban di sini berarti adanya pembatasan kaum wanita untuk menjadi lebih dari sekedar apa yang dijalaninya selama ini (misal, urusan rumah tangga). Yang keliru dari pemikiran demikian adalah bahwa adanya identifikasi kewajiban dengan kekerasan atau ketertindasan. Dengan kata lain, kewajiban disamakan begitu saja dengan ketertindasan itu sendiri. Dalam banyak hal, ini terjadi karena pemikiran kaum feminis sendiri cenderung melihat poin kewajiban sebagaimana tampak dalam pewarisan tradisi pada umumnya. Dan terakhir, bagaimana filsafat feminisme berhadapan dengan sistem agama atau budaya pada umumnya atau bagaimana filsafat ini mengaplikasikan dirinya dalam agama dan budaya yang dalam banyak hal dilihat kaum feminis sebagai sumber ketertindasan? Kesulitan ini dapat dilihat dari tiadanya dasar ontologis yang pasti dalam pemikiran filsafat feminisme. Artinya, mereka meletakkan dasar pemikirannya pada relasi, pada suatu yang impersonal. Ini menjadi dilema tersendiri. Di satu pihak mereka menghindari penyembahan kultus personal, namun di lain pihak mereka mendasarkan diri pada suatu yang abstrak, yakni relasi (saling keterhubungan).
Sebagai suatu sistem filsafat, filsafat feminisme tetaplah membutuhkan logika, metodologi, objek, dan sebagainya. Dan sejauh filsafat feminisme memiliki unsur-unsur demikian, filsafat ini tidaklah tanpa kelemahan.