Konsep Rasionalitas Komunikatif Jürgen Habermas menjadi dasar bagi filsafat politiknya. Sumbangan Jürgen Habermas tentang politik dan hukum tercerna dalam “Between Facts and Norm”. Filsafat politik Jürgen Habermas merupakan penerjemahan teori tindakan komunikatif dalam usaha politis menjamin stabilitas sosial dalam tata kehidupan masyarakat bangsa yang tidak mengacu hanya pada nilai atau norma moral tertentu. Singkatnya segala perkakas akal budi yang tercermin dalam rasionalitas, tindakan, dan argumentasi dikolaborasi menjadi kerangka besar dalam membentuk filsafat politik yang kontemporer.
Wacana hukum menjadi penting tatkala sebuah Negara itu hendak mewujudkan integrasi sosial. Jürgen Habermas menegaskan bahwa tidak akan ada integrasi sosial tanpa sebuah penegakan hukum. Hukum adalah sebuah jembatan atau medium terhadap pelaksanaan dan perwujudan nilai-nilai moral dan “integrasi sosial”. “…law is the only medium in which it is possible reliably to establish morally obligated relationships of mutual respect even among strangers”.
Negara Hukum
Keberadaan hukum modern memuat dualitas paradoksal, yakni antara faktisitas dan validitas hukum itu sendiri. Kedua aspek yang paradoks dalam hukum itu menjadi dasar asumsi dalam tindakan komunikasi. Secara natural sebenarnya dualitas tersebut juga disebut sebagai persoalan antara fakta dan norma (“Naturally, this problem that arises between facts and norms”).
Negara hukum dimaksudkan sebagai sebuah Negara yang bertindak secara adil atas dasar keadilan hukum positif. Hukum tidak lahir begitu saja tanpa sebuah proses yang akhirnya mewajibkan hukum itu untuk ditaati. Lantas hukum yang macam apa sehingga sebagai hukum mempunyai kekuataan yang mengikat dan mewajibkan setiap individu? Jürgen Habermas menilai bahwa hukum pertama-tama mempunyai kekuatan yang mewajibkan karena legitimasinya. Oleh karenanya Jürgen Habermas secara panjang lebar memberikan sumbangan terhadap sebuah proses hukum yang legitim dalam sebuah Negara.
Keberadaan hukum dalam masyarakat tidak untuk membatasi kebebasan atau malahan menimbulkan disintegrasi di antara masyarakat satu dengan yang lain. Jikalau hal itu muncul maka dengan sendirinya tujuan hukum sebagai pengikat masyarakat, pembentuk integrasi masyarakat pudar. Hukum harus menjamin sekaligus memberikan kehidupan dalam tata masyarakat, tidak mematikan dan membuat cacat kebebasan masyarakat baik yang minoritas maupun mayoritas. Hukum hendaklah menjadi acuan hidup bersama dalam masyarakat bangsa.
Dalam konteks inilah legitimasi hukum menjadi sangat mendesak dan penting. Hukum yang legitim bukan berarti hukum itu mengandung kebenaran yang tidak bisa digugat, melainkan bagaimana produk hukum itu bebas dominasi dan egaliter dari instansi-instansi tertentu yang mempunyai kepentingan parsial kelompok atau golongannya sendiri.
Pertama, Legitimasi hukum bukan soal suara mayoritas, melainkan bagaimana prosedural hukum itu dihasilkan dengan melibatkan argumentasi masyarakat. Jurgen Habermas menegaskan bahwa “The argument aims to reach that ‘indifference point’ where the objective explanation can also be accepted as a sufficient explanation from the participant perspective”.
Legitimasi hukum mengharuskan juga agar diperoleh dengan memperhatikan suara minoritas masyarakat. Artinya bahwa produk hukum tersebut menjadi legitim apabila prosedural pembuatannya dihasilkan secara rasional. Rasionalitas itu dibuktikan terhadap fakta bahwa partisipan
Kedua, ciri Negara hukum yang demokratis ialah adanya upaya yang longgar dari pengambil kebijakan untuk menampung aspek komunikasi politik yang bebas dominasi. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa sebuah hukum itu juga legitim di mata masyarakat bangsa. “Law can be preserved as legitimate only if enfranchised citizens switch from the role of private legal subjects and take the persepective of participants who are engaged in the process of reaching understanding about the rules for their life in common”.
Cita-cita Negara hukum yang digagas Jurgen Jürgen Habermas menjadi sumbangan yang besar untuk alam demokrasi Indonesia. Bangsa Indenesia yang plural sekaligus berwacana demokratis menuntut sebuah Negara yang berdiri atas hukum yang legitim. Dalam konteks Indonesia keberadaan dan pencapaian proses hukum yang legitim menjadi ambigu. Ambiguitas tersebut semakin tampak tatkala produk hukum tertentu dipaksakan tanpa sebuah komunikasi publik yang melibatkan partisipan untuk membentuk hukum. Ukuran hukum yang legitim menjadi kerdil dan sempit karena diproduksi hanya oleh parsial kelompok tertentu. Legitimasi hukum hanya diukur dalam kapasitas suara mayoritas meskipun sebenarnya hukum tersebut memuat perdebatan dan kontradiksi di tengah-tengah partisipan. Kekuasaan pengambil kebijakan masih cenderung sebagai otoritas mutlak yang tidak bisa digugat oleh masyarakat sipil. Dalam tataran rasionalitas, maka rasionalitas publik menjadi kerdil dan terbelakang. Partisipan tidak lagi diakui sebagai kekuatan yang juga berpengaruh terhadap legitimnya sebuah produk hukum.
Dalam pemahaman proses legitimasi hukum yang demikian, maka Negara harus dimengerti bukan sebagai instansi kekuasaan yang bersubstansi memaksa, otoriter, penguasa masyarakat sipil, melainkan Negara hukum mesti dimengerti sebagai Negara yang memberikan keleluasaan kepada setiap komponen masyarakat untuk berpartisipasi dalam pencapaian hukum yang maksimal dan legitim. Dalam pengertian semacam ini kekuasaan mesti dimengerti sebagai instrumen sekaligus komponen sistem yang sejajar dengan komponen-komponen sistem lain dalam kehidupan masyarakat Negara.
Ruang Publik Politik
Jikalau dalam sebuah Negara telah ada wadah yang mempunyai kepentingan untuk menciptakan tata aturan hidup bersama mengapa mesti ada ruang publik? Apa yang dimaksudkan ruang publik dalam ranah Negara demokrasi? Jürgen Habermas memberikan sebuah opini yang secara tegas dan komprehensip tentang ruang publik. Ruang publik itu tidak bisa dijustifikasi pada sebuah institusi atau organisasi Negara.
“The public sphere can best be described as a network for communicating information and points of view (i.e., opinions expressing affirmative or negative attitudes); the streams of communication are, in the process, filtered and synthesized in such a way that they coalesce into bundles of topically specified public opinion”.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pendeskripsian atau penggambaran terbaik tentang ruang publik itu sebagai sebuah jaringan komunikasi informasi dan opini, baik opini negatif maupun positif tentang suatu persoalan. Dari aktivitas komunikasi informasi tersebut maka ruang publik menjadi mediator bagaimana beragam pendapat, pandangan atau opini itu dikembangkan, diproses, dan disarikan yang akhirnya disimpulkan dengan cara-cara tertentu membentuk sebuah opini publik yang lebih spesifik. Aspek yang ditelorkan dalam filsafat politik Jürgen Habermas dengan sendirinya merombak paradigma kalsik tentang opini publik.
Dalam konteks Negara plural demokratis dan modern peran serta masyarakat tidak boleh diragukan dan dikesampingkan. Opini yang lahir dari dinamika bersama publik jauh lebih memberi bobot terhadap legitimasi sebuah kekuasaan. Opini yang dihasilkan dari ruang publik politik turut memberikan sumbangan, pengaruh, dan berperan penting dalam proses pengambilan keputusan dalam sistem politik bangsa yang genial, yakni politik yang berpihak pada keadilan dan kesetaraan terhadap peran masyarakat.
Dalam konteks Jürgen Habermas ruang publik politik sebagai kondisi komunikasi yang memungkinkan warga Negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif. Ruang publik politik memberikan peluang kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam tata kehidupan bersama. Ruang publik menjadi mendesak untuk dipraktikkan karena dari sanalah lahir sebuah dinamika rasionalitas publik terkait persoalan-persoalan aktual masyarakat bangsa.
Dalam tataran teoritis ruang publik politik merupakan mediator yang menjembatani berbagai kepentingan, yakni antara kepentingan mansyarakat sipil dengan kepentingan pemegang kekuasaan yang selalu berbeda. Apakah ruang publik itu justru menelorkan sikap saling kompetitif yang mengarah pada anarkisme? Ruang publik tidak melibatkan kekerasan fisik. Janganlah kita berpikir bahwa ruang publik itu semacam satu kekuatan saling berhadapan dengan kekuatan lain yang lebih lemah, yang seimbang atau sebaliknya. Mesti dikatakan tidak demikian. Lantas bagaimana dalam tataran praktisnya ruang publik mesti dijalankan? Jurgen Jürgen Habermas memberikan sebuah pernyataan tegas bahwa ruang publik itu tercipta melalui opini-opini publik lewat diskusi, dialog, “cangkrukan” yang membahas tema-tema aktual politik, media massa (televisei, radio, internet, majalah, koran) yang memberikan pemahaman menyangkut dinamika kehidupan sosial politik masyarakat. Dalam konteks ini partisipan tidak lagi sebagai penikmat berita, tetapi partisipan menjadi pelaku yang berkancah dalam menata kehidupan bersama.
Di satu sisi ruang publik yang menjadi “idola” Jurgen Habermas hanya akan menuai fungsinya sebagai yang menstematisasikan persoalan sosial jika ruang publik tersebut dibentuk dalam kerangka dan proses komunikasi yang memadai.
Publik tidak boleh terjebak pada tataran dua ruang yang berbeda dalam konteks ruang publik ini. Dua ruang tersebut, yakni ruang publik dan ruang prifat agama dimanifestasikan dalam wadah kelompok dan organisasi sebagai ajang dialog yang terepresentasikan dalam karya ilmiah atau jurnal yang mewadai opini publik.
Seluruh wacana ruang publik Jürgen Habermas dikaji dalam krangka pembangunan sistem politik yang memisahkan antara kepentingan atau ruang prifat agama dengan ruang publik. Ruang publik politik mendasarkan diri pada rasionalitas dan komunikasi antar partisipan. Dengan demikian rasionalitas tindakan komunikatif sebagai sarana pencapaian kesalingpengertian antar subjektif mendapat wujud dan bentuknya dalam ruang publik politik. Ruang publik politik merujuk kepada kepentingan bersama dalam sebuah diskursus integrasi sosial bangsa.
Ruang publik dalam konteks teori demokrasi, secara merupakan ”papan suara” (sounding board)
Dalam ranah ruang publik ungkapan opini publik dengan sendirinya tidak memuat dan tidak dapat direpresentasikan dalam pengetahuan statistik. Artinya kualitas opini publik ditentukan oleh perlengkapan prosedural dalam proses pengejawantahannya. Opini publik dalam ruang publik politis dapat dimanfaatkan sebagai penyeimbang dan aspek yang mempengaruhi voting warga Negara atau formatio yang dikehendaki dalam tubuh parlemen sendiri.
Penutup dan Relevansi untuk Politik Indonesia
Bagaimana dalam konteks Indonesia? Indonesia yang berada dalam alam demokratis dan multikultural aspek filsafat politik Jürgen Habermas tentang ruang publik mendesak untuk kedepankan. Konteks masyarakat Indonesia yang plural dan beraneka ragam semakin dewasa dalam memberikan arah terbaik masa depan bangsa. Rasionalitas publik semakin didewasakan lantaran situasi dan penanganan persoalan dalam politik yang ambigu dan lamban. Masa reformasi menjadi arena yang memungkinkan untuk sebuah praktik dan keberadaan ruang publik yang menampung aspirasi dan kehendak masyarakat sipil demi sebuah sistem politik dan hukum yang legitim. Di sinilah Negara tidak lagi menjadi polisi atas warga masyarakat. Politik, dalam konteks ini sebagai hidup bersama dalam sebuah himpunan Negara menjadi mungkin dengan keterlibatan masyarakat sipil dalam pengambilan keputusan yang legitim.
Kasus-kasus Perpu (Peraturan Pemerintah) dan Perda (Peraturan Daerah) serta undang-undang yang memuat kontroversial semestinya tidak bakal terjadi jikalau pemerintah memanfaatkan dan memfungsikan ruang publik dan masyarakat sebagai penentu legitimnya sebuah kebijakan baru. Sayangnya hal itu tidak terjadi di Indonesia. Undang-Undang dan Perpu seakan mendesak untuk segera diberlakukan karena kriteria keabsahaannya. Disayangkan pula bahwa sahnya undang-undang dan kebijakan di Indonesia ditentukan karena suara mayoritas dan otoritas pemegang kekuasaan. Hal ini adalah fenomena yang mengejutkan dalam alam Negara demokratis seperti Indonesia. Asasnya demokrasi, namun patut disayangkan dalam praktik dan gerakannya jauh dari jiwa demokratis sendiri.
Pencapaian legitimasi politik dan hukum di Indonesia bukan didasarkan pada kehendak masyarakat sipil, melainkan pada kehendak parsial yang mempunyai kepentingan di dalamnya. Prosedural pencapaian hukum yang legitim belum tersentuh apalagi tergarap. Mungkinkah pemaksaan dalam memberlakukan kebijakan itu sebagai cermin adanya kepentingan kelompok mayoritas tertentu?
Indonesia mesti berada dalam jalur demokrasi yang semestinya. Paradigma jalan pikiran Jürgen Habermas mesti dimencuatkan bukan malah disingkirkan lantaran ia adalah sosok pemikir Barat yang identik dengan Kekristenan. Namun sebaliknya dimencuatkan jalan pikirnya karena demi menyelamatkan sistem hukum dan politik bangsa yang didasarkan pada kesetaraan, keterlibatan, dan demokratis dalam pencapaian politik dan hukum yang legitim secara penuh. Persoalan inti Jürgen Habermas menyangkut hukum ialah bagaimana hukum itu mesti legitim. Legitimnya hukum terletak pada prosedural pencapaiannya yang melibatkan partisipan sementara ruang publik adalah tempat dan instrumen di mana publik itu beropini demi sebuah legitimasi hukum dan politik Negara.
Habermas, Jürgen. Between Fact and Norm: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, (terj. William Rehg), New Baskerville: MIT Press. 1998.
Carter, April, Otoritas dan Demokrasi, Jakarta: Rajawali, 1979.
Hardiman, Fransisco, Budi. Kritik Idiologi. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Parera, Frans, M., T. Jakob Koekerits (eds.), Masyarakat Versus Negara, Bogor: Grafika Mardi Yuana, 1999.
Suseno, Franz Magnis, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Ujan, Andre Ata. Membangun Hukum, Membela Keadilan: Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius. 2009.
Wattimena, Reza A.A. Melampaui Negara Hukum Klasik: Locke-Rousseau-Jürgen Habermas , Yogyakarta: Kanisius. 2007.
Widjaja, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1982.
Dari Internet:
Kellner, Douglas. Jürgen Habermas, The Public Sphare, and democracy: A Chritical Intervention. http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/papers/Jürgen Habermas .htm, tanggal akses Kamis, 06 Februari 2009.
Rehg William and Bohman. Jürgen Habermas ’s Discourse Theory of Morality, Politics, and Law. http://en.wikipedia.org/wiki/J%C3%BCrgen_Jürgen Habermas , tanggal akses 26 Januari 2009.
Soules, Marshall, PhD. Jürgen Habermas and The Public Sphare. http://records.viu.ca/~soules/medi205/Jürgen Habermas .htm, tanggal akses 03 Februari 2009.
Thanks to Ignatius Suyato