Tata Negara yang berdasar pada Demokrasi Pancasila merupakan ciri khas Negara Indonesia. Perbedaan penting dari Negara-negara yang menganut paham demokrasi lainnya adalah bahwa Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar Negaranya. Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Karena berasal dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri, maka kedaulatan rakyat menjadi ciri utama Demokrasi Pancasila. Bagaimana kita memahami perbedaan ini (kedaulatan rakyat) dengan Negara-negara lainnya yang menganut sistem Demokrasi?

Dalam pidatonya tentang dasar Negara tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mengajukan konsep Negara Integralistik sebagai paham Negara yang paling sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Untuk sampai pada pengertian integralistik, Soepomo rupanya mulai dengan arti Negara itu sendiri. Menurut Soepomo, “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan….merupakan persatuan masyarakat yang organis. Negara tidak berpihak kepada golongan terkuat atau pun terbesar. Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.”[1] Pengertian Negara demikian mau tidak mau menggiringnya untuk memilih konsep negara integralistik yang pernah digagas oleh para pemikir seperti Spinoza dan Hegel.[2] Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa konsep Soepomo tentang integralistik sesungguhnya tidak menambah apa pun pada pengertian Negara. Negara itu pada dasarnya sudah satu, integral, tidak terbagi, dan utuh. Singkatnya, negara adalah ‘barang yang berjiwa’.

Untuk menegaskan pemahamannya ini, Soepomo mengambil model persatuan rakyat-pemimpin di pedesaan.[3] Dalam perspektif demikian, Negara itu bersatu dengan seluruh rakyatnya dan mengatasi seluruh golongan dalam lapangan apa pun. Inilah dasar kekeluargaan yang menjadi argumen utama Soepomo. Pada poin ini, dapat dilihat aplikasi gagasan Hegel oleh Soepomo, yakni bahwa kehendak batin atau pemahaman moral masyarakat desa diangkat untuk menunjukkan bangunan Negara yang dipikirkannya. Jadi, dapat dipahami pula bahwa rakyat (tiap-tiap orang) sudah memiliki hak yang komplit, namun aktualitasnya hanya dimungkinkan oleh keberadaan Negara atau keberadaan struktur bagi hidup bersama tersebut (desa).

Apa yang dapat dikatakan dari uraian sementara di atas? Pertama, jika melihat struktur masyarakat desa sebagai situasi awal atau dasar bagi berdirinya Negara, rakyat atau menggunakan istilah khas masyarakat Indonesia yakni ‘adat’ sudah memiliki kesepakatan moral tentang apa itu kebaikan yang hendak dicapai. Pada poin ini, dapat dikatakan bahwa kebaikan itu adalah hidup yang baik. Bukan hanya aspek teleologis ini, aspek legal-normatif pun sudah terkandung di dalam masyarakat ‘adat’ ini di mana institusi yang adil secara eksplisit tampil dalam karakter permusyawaratan perwakilan. Kedua, harus dinyatakan pula bahwa struktur asli masyarakat desa (‘adat’) yang dipikirkan Soepomo sebagai yang berstruktur ‘rasa perasaan yang menyatu’ tidak meninggalkan ruang bagi temporalitas jika temporalitas di sini dipahami dalam pengertian adanya ‘kehendak untuk hidup bersama’. Jika demikian, apa fungsi dari aspek legal-normatif yang penulis tunjukkan di atas sebagai salah satu acuan bagi terciptanya Negara dan yang terkandung paling jelas dalam permusyawaratan perwakilan?[4] Sementara ini, kita akan meninggalkan pertanyaan ini untuk melihat argumen Soekarno terlebih dahulu.

Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengajukan falsafah dasar Negara yang (sekali lagi) sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Dengan 5 prinsip dasar yang dinyatakannya, Soekarno menyebut Negara yang dibangun ini adalah Negara Gotong-royong. Mengapa Soekarno memilih terminologi ‘Gotong-royong’? Karena “Gotong Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis daripada kekeluargaan (yang diajukan Soepomo). Kekeluargaan adalah faham yang statis, tapi Gotong-Royong menggambarkan satu usaha, satu amal dan satu pekerjaan. Gotong-Royong adalah pembanting tulang bersama, pemeras keringat bersama, keringat semua buat kebahagiaan semua.”[5] Pada poin ini, kita melihat bahwa terminologi ‘kebahagiaan semua’ merupakan aspek teleologis dari pemikiran Soekarno. Bersama Soepomo, kita dapat merangkumnya dalam rumusan hidup yang baik.

Untuk menegaskan kembali, aspek teleologis ini tidak dipahami oleh Soekarno maupun Soepomo sebagai yang berasal dari kehendak. Soekarno dengan jelas menyatakannya, yakni bahwa Negara yang berasal dari kehendak untuk bersatu tidak mencukupi untuk menjelaskan kesatuan sebagaimana yang dipahaminya.[6] Jika kita memahami situasi masyarakat ‘adat’ ini sebagai dasar bagi berdirinya Negara, maka bukan kehendaklah yang menjadi dasarnya melainkan rasa persatuan dan rasa kekeluargaan inilah yang menjadi dasarnya. Dengan ini, dapat dirumuskan dasar teleologis pemikiran Soepomo dan Soekarno sebagai ‘mencapai hidup yang baik dalam persatuan kekeluargaan’.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kehendak untuk hidup bersama (bersatu) sudah terletak dalam pusat kekeluargaan itu sendiri.[7] Kita melihat bahwa pemahaman ini dekat pula dengan pemikiran Aristoteles, yakni bahwa Negara adalah kepenuhan kebaikan.[8] Dengan kata lain, Negara pada dasarnya sudah ada lebih dahulu daripada masyarakat. Memang, kita dapat memikirkan tahap selanjutnya, yakni setiap masyarakat karena rasa persatuan-kekeluargaan dapat bersatu membentuk sebuah Negara. Tapi, jalan pikiran ini terlalu beresiko karena dasar ikatan untuk bersatu itu sangatlah abtrak.[9] Kritik para ahli Etika-Politik (di sini penulis mengacu pada Paul Ricoeur) atas Teori Kontrak dapat pula kita arahkan pada jalan pikiran demikian. Karena itu, apa yang selanjutnya dibutuhkan oleh Soepomo dan Soekarno adalah penetapan Undang-Undang Dasar. Dengan lain kata, yang dibutuhkan adalah prinsip yang menjamin persatuan tersebut.[10] Poin inilah yang selanjutnya hendak dibahas.

Pemahaman mengenai konstitusi membawa uraian ini masuk lebih jauh kepada persoalan tentang apa yang sesungguhnya disepakati dalam Konstitusi.[11] Tantangan utama yang muncul dalam diskusi tersebut berasal dari Hatta yang meminta jaminan objektivitas hukum atas hak tiap warga Negara. Atas hal ini, Soepomo berpendapat bahwa dasar kekeluargaan dan permusyawaratan dari sendirinya menghendaki kemerdekaan rakyat berserikat dan berkumpul. Dengan demikian, Soepomo mengandaikan bahwa tiap orang sudah mengetahui apa yang menjadi haknya.[12] Yang dibutuhkan adalah kewajiban berbuat sesuatu bagi Negara Indonesia ini.[13] Lebih lanjut dalam tanggapannya kepada Hatta, Soepomo mengatakan “Hukum yang mengatur kemerdekaan berserikat dan berkumpul diatur oleh Undang-Undang.”[14] Poin kunci yang kita butuhkan untuk memahami apa yang sebenarnya dirumuskan (disepakati) dalam Konstitusi berada dalam argumen ini. Pertama, apa yang dimaksud Undang-undang (Konstitusi) dan Hukum? Kedua, jawaban atas pertanyaan di atas menghantar kita pada pertanyaan, yakni bagaimana keadilan itu dilaksanakan?

Menurut Soepomo, terdapat perbedaan antara hukum dengan Undang-undang. Makna etimologis hukum yang ia ambil dari bahasa Belanda, yakni reccht, memaksudkan aturan yang tertulis dan tidak tertulis. Sementara Undang-undang (Konstitusi) merupakan aturan tertulis. Ini berarti bahwa Konstitusi adalah hukum dasar yang tertulis. Begitu pentingnya penetapan Konstitusi sebagai hukum dasar tertulis karena “segala pembicaraan di sini menjadi material, menjadi bahan yang historis, bahan interpretasi untuk menerangkan apa maksudnya Undang-Undang Dasar ini.”[15] Apa maksud Soepomo dengan argumennya ini?

Pertama, maksud Soepomo adalah bahwa penetapan sebuah Konstitusi didiskusikan melalui permusyawaratan perwakilan sehingga tujuan etis tiap kelompok termuat di dalamnya. Inilah yang kita lihat – melalui kacamata Ricoeur – tentang diskusi politis dan pemerintahan yang ‘baik’ di mana hukum yang mengatur relasi tiap orang dan relasi tiap orang terhadap Negara dapat didiskusikan kembali. Undang-undang Dasar (Konstitusi) merupakan wujud atau objektivasi dari kehendak moral masyarakat. Karena itu, tetap ada penghargaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan golongan.

Penetapan Konstitusi demikian memang memberikan suatu legitimasi atasnya karena memenuhi tujuan etis tiap warga Negara dan itulah yang dikehendaki tiap warga Negara. Peran institusi yang dibahas di atas tampil di sini, yakni sebagai kepenuhan dan penyelenggara tujuan etis dan sekaligus bersifat normatif. Tapi, peran ini atau yang kita sebut peran dari pemerintahan yang baik, tidak pernah sepenuhnya dapat memuaskan atau memenuhi tujuan etis tiap tindakan atau tiap pilihan manusia dalam tataran praksis. Inilah yang disebut sebagai krisis legitimasi.[16] Sebagaimana yang Ricoeur katakan, penetapan kebaikan dari pemerintah yang ‘baik’ tidak pernah dapat dirumuskan secara tuntas. Masyarakat selalu mengevaluasi pemerintahnya. Tapi, usaha masyarakat ini terkadang justru menciptakan kekuasaan baru lainnya.[17] Misalnya, masuknya bahasa agama ke dalam tataran politik.[18]

Kedua, ketika Konstitusi sudah mendapat legitimasi, segala kemungkinan konflik yang akan terjadi selanjutnya lantas dapat diputuskan berdasar pada Undang-Undang Dasar ini. Peraturan apa pun yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar ini dari sendirinya tidak memiliki daya ikat dan legitimasi. Inilah yang kita lihat dari perkataan Soepomo di atas ketika menanggapi argumen Hatta.[19] Dengan ini, kita dapat menanggapi pertanyaan kedua.

Dari penjelasan di atas, jalan pikiran Soepomo memperlihatkan bahwa Undang-undang (Konstitusi) itu sendiri sudah mengandung jaminan hak bagi warga Negara ini, hanya aktualisasi konkretnya perlu diterjemahkan dalam tataran praksis. Pada tataran praktis inilah, objektivitas hukum itu menjadi penting. Mengapa penting? Prinsip distribusi yang kita lihat dilengkapi dengan prinsip perbedaan dan prinsip kesamaan kesempatan dari uraian di atas mendapat perlindungan yang pasti. Inilah yang diyakini Soepomo. Pelaksanaan keadilan karena itu mendapat pengayoman dari Undang-undang Dasar ini di mana prinsip kesamaan kesempatan dan prinsip perbedaan diatur menurut hukum yang mengalir dari situ.[20] Dengan kata lain, rasa persatuan-kekeluargan untuk mencapai hidup yang baik sebagai dasar teleologis dapat dimasukkan dalam imperatif Konstitusi sehingga pelaksanaan keadilan oleh institusi memenuhi tujuan etis tersebut dan sekaligus membingkai secara normatif pelaksanaan keadilan yang merata.

Jadi, dapat dimengerti bahwa pelaksanaan keadilan dapat dijalankan berdasar pada rasa persatuan-kekeluargaan di mana Konstitusi sebagai kristalisasi nilai-nilai dalam rasa kekeluargaan tersebut diangkat ke tataran legal-normatif dengan maksud menjamin tujuan pencapaian hidup yang baik dari warga Negara. Dengan demikian, tesis utama yang hendak penulis pertahankan di atas dapat dibuktikan benar, yakni bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Konstitusi) di mana institusi yang adil (pemerintahan yang baik) merupakan hasil dari kedaulatan rakyat yang dalam perjalanan selanjutnya menciptakan sebuah keputusan bagi keadilan distributif yang merata.


[1] Pidato Soepomo. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Hal.33

[2] Spinoza mendasarkan sistem filsafatnya pada argumen a priori. Artinya, ia hendak menyatakan bahwa dari prinsip pertama dapat diturunkan segala sesuatu yang lain. Untuk tujuan itu, Spinoza pertama-tama mulai dengan sebuah argumen ontologis yang diperlukan sebagai pondasi kokoh bagi semua tahapan-tahapan kesimpulan selanjutnya, yakni pemahaman mengenai substansi. Dalam karyanya Ethics, Spinoza memberikan rumusan substansi sebagai berikut, “By substance, I mean that which is in itself, and is conceived through itself : in other words, that of which a conception can be formed independently of any other conception.” Inilah yang dikerjakan Soepomo terhadap pengertian Negara yang kita lihat di atas. Dari Hegel sendiri, Soepomo mengadopsi pemikiran tentang Roh (Jiwa Bangsa) untuk menunjukkan bahwa Negara tidak lain daripada ungkapan kehendak batin masyarakat yang berkumpul untuk membentuk Negara. Karena itu, Negara memiliki jiwa (Geist) yang mengatasi segala golongan tapi juga menjamin kebebasan tiap orang di dalamnya. Dengan memadukan Spinoza dan Hegel, Soepomo tampaknya memasukkan Roh (Kebebasan) Hegel ke dalam pemikiran Spinoza untuk menegaskan bahwa Negara adalah ‘barang yang berjiwa’.

[3] Penulis kira gambaran kehidupan desa dilukiskan dengan baik oleh Sawarno Djaksonagoro. Ia berkata, “Kalau kita perhatikan dengan seksama akan jelas terlihat bahwa para penduduk desa mempunyai perasaan menyatu dengan desa mereka. Di mata mereka, lurah (kepala desa) tidak hanya seorang kepala eksekutif, melainkan juga ayah dan penolong mereka.” Lih. Herbert Feith dan Lance Castles. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Hal.192. Struktur masyarakat desa inilah yang dilihat Soepomo sebagai struktur asli dari masyarakat Indonesia.

[4]Persis inilah yang dimaksudkan Hatta ketika ia berbicara perlunya hukum yang mengatur hak berserikat dan berkumpul. Argumen Hatta ini didasarkan pada apa yang dipahaminya dari pemikiran Soepomo dan Soekarno sebagai yang bersifaf Kolektivisme. Karena itu, menurut Hatta, sebagaimana yang dipahami Soepomo, pengakuan hak-hak individu harus dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar. Lih. Rapat Besar 15 Juli 1945. Risalah Sidang BPUPKI. Hal. 262-322.

[5] Pidato Soekarno. Risalah Sidang BPUPKI. Hal. 82.

[6] Menurut Soekarno, kehendak untuk bersatu seperti pada masyarakat Minangkabau, Yogyakarta sebenarnya hanya satu bagian dari satu kesatuan. (yang dicetak tebal dari penulis). Lih. Pidato Soekarno. Risalah Sidang BPUPKI. Hal. 74. Pada poin ini, dapat ditemukan nada yang sama dengan argumen Soepomo, yakni adanya ‘rasa persatuan’ sebagai dasar bagi persatuan Negara.

[7] Perlu dipertegas bahwa masyarakat ‘adat’ pada dasarnya merupakan masyakat politis. Jadi, prinsip legal-normatif yang diajukan penulis di sini tidak hendak menunjukkan prinsip yang sama seperti pada pengandaian situasi awal yang memiliki perbedaan sebelum dan sesudah berdirinya Negara. Di satu sisi, kita memiliki kesan bahwa baik Soepomo maupun Soekarno dekat dengan nada Hegelian tentang Roh Objektif yang terungkap dalam bentuk Negara. Tapi, di sisi lain, kita memiliki perbedaannya dari konstitusi yang dibuat. Uraian atas hal ini akan kita lihat.

[8] Aristoteles. Politics. Buku 1, bag, 1. Ini berarti bahwa dalam diri manusia sudah tersusun secara teratur bagaimana relasi tiap individu bagi dan dalam Negara yang hendak didirikan. Tapi, Pada poin ini, kita tidak hendak mengadopsi pemikiran Aristoteles tentang kedudukan sosial yang telah ditetapkan sejak seseorang dilahirkan. Yang lebih ditonjolkan adalah dimensi teleologis, yakni tindakan yang terarah pada kebaikan. Dalam konteks kita, pemikiran ini tampil paling jelas dari argumen Soepomo ketika ia menanggapi kritik Soekarno atas Rancangan Undang-undang Dasar yang diajukan Soepomo. Menurut Soepomo, “Kita tidak bertanya, ‘Apakah hak-hak saya?’ melainkan ‘Apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar indonesia’”. Rapat Besar 15 Juli 1945. Loc Cit. Hal. 276. Benar bahwa pada poin ini kita memang tidak dapat berbicara tentang maksim perbuatan. Yang justru mungkin kita bicarakan adalah soal kewajiban sebagai keutamaan. Jika demikian, kekeluargaan merupakan keutamaan pertama dari institusi sosial.

[9] Jalan pikiran ini selaras dengan Ricoeur di mana gagasan Hegel tentang Sittlichkeit perlu dilengkapi dengan gagasan Aristoteles tentang phronêsis dalam bentuk pencarian Konstitusi yang baik. Tapi, jika Ricoeur memikirkan penetapan Konstitusi itu oleh pemerintah yang sudah ada, maka baik Soepomo maupun Soekarno justru ketika belum ada pemerintahan. Bagaimana ini dimungkinkan? Jika kita membaca kronologi sidang, kita melihat bahwa penetapan Undang-Undang yang dilakukan setelah penetapan bentuk Negara dan wilayah yang termasuk dalam Negara Indonesia dilakukan oleh Panitia Kecil yang dipimpin oleh Soepomo. Jika demikian, apakah konstitusi yang dibuat memiliki kekuatan legitimasi? Kita akan melihatnya.

[10] Ini memaksudkan pula bahwa prinsip itu harus sudah ada dalam masyarakat ‘adat’ sebagai pondasi Negara. Dan sebagaimana telah dianalisa, prinsip ini sudah ada di sana, yakni dalam rasa persatuan-kekeluargaan.

[11] Pemikiran tentang berdirinya negara memberikan konsekuensi bagaimana hukum itu sendiri dipikirkan. Pada umumnya, untuk melihat bangunan atau struktur dasar sebuah negara dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya hal tersebut dapat dilihat dari sebuah konstitusi negara itu sendiri. Dengan kata lain, konstitusi sebuah negara memperlihatkan apa dasar dan tujuan negara itu, bagaimana aplikasi hukum dan dari sendirinya pemahaman tentang siapa manusia itu.

[12] Dengan hak, dapat diandaikan bahwa Soepomo diam-diam mengakui adanya kehendak. Tapi, sebagaimana yang diuraikan di atas, Soepomo dan juga Soekarno rupanya langsung meletakkan ‘kehendak’ ini pada ‘rasa persatuan’.

[13] Salah satu dari argumen Soepomo ini justru menegaskan kekuatan (power), yakni kekuatan untuk bersatu yang dilihatnya sama dengan keutamaan tiap warga Negara itu sendiri. Lih. catatan kaki no.14.

[14] Pernyataan Soepomo ini tampaknya bertentangan dengan keyakinannya, yakni bahwa hukum pada dasarnya mencakup hukum tertulis dan lisan. Sementara Undang-Undang mencakup hanya yang tertulis saja. Pernyataan di atas justru sebaliknya, yakni Undang-undang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada hukum. Tapi, tampaknya maksud Soepomo dengan hukum ini adalah keterangan lanjutan dari Undang-undang yang mengatur hal tersebut. Soepomo melakukan hal demikian untuk menghindari kesan pada Undang-Undang Dasar yang dibuat sebagai yang berdasar pada prinsip individu. Karena itulah, apa yang dinyatakan bukan lagi hak, melainkan kemerdekaan semua warga. Lih. Rapat Besar 15 Juli 1945. Loc Cit. Hal. 322.

[15] Idem. Hal. 264.

[16] Penetapan Konstitusi ini terjadi melalui sebuah diskusi rasional. Pengertian rasional di sini perlu kita pahami dalam kerangka pemikiran Ricoeur. Di atas sudah dijelaskan bahwa rasionalitas menurut Ricoeur berarti pencarian kesatuan terus-menerus. Rasionalitas demikian memaksudkan sebuah konteks bagi pemikiran walaupun konteks tersebut “not transparent to the political actors of the moment, that they can claim to offer to their people a ‘good’ constitution…..in the moment of historical choice.” Lih. Ricoeur. Oneself As Another. Hal. 259-260. Hal ini sesuai dengan apa yang diyakini Soepomo bahwa Undang-undang Dasar ini (Konstitusi) yang dibuat ini bersifat ‘supel’. Bukan ‘supel’ karena inti yang mau dikatakan dalam Konstitusi bernada relatif, melainkan ‘supel’ karena inti tujuan etis sudah dirangkum dalam Konstitusi dan bahan material interpretasi yang berasal dari tataran praksis masih dapat didiskusikan sehingga mengarah pada apa yang disebut Ricoeur ‘a conflictual-consesnsus phenomenal’. Lih. Rapat Besar 15 Juli 1945. Loc Cit. Hal. 267-269.

[17] Yakni, ketika kekuatan bersama hendak menempatkan kekuasaan di bawah kendalinya, usaha ini kerap melahirkan sebuah bentuk kekuasaan baru lainnya. Hal ini sudah kita lihat pada pembahasan bab-bab sebelumnya.

[18] Agama dengan nilai-nilainya yang bersifat mutlak seolah dapat menjawab kebutuhan etis masyarakat. Tapi, usaha ini melupakan fakta bahwa politik itu sendiri rapuh. Karena itu, masuknya nilai agama yang terwujud dalam bahasa religiositas ke tataran politik jelas dari sendirinya memasung rasionalitas tiap warga Negara dalam diskusi publik. Akibatnya, konflik itu sendiri tidak dapat dihindari bahkan konflik fisik. Padahal menurut Ricoeur, karakter diskursif dari masyarakat demokratis jelas hendak mengangkat kekerasan yang terjadi ke dalam bentuk diskursus politik. Dan bukan hanya itu saja, pluralitas dan prinsip perbedaan yang ada dalam tataran ruang publik itu sendiri malah diciutkan ke dalam kesamaan umum ajaran agama. Inilah yang disebut ketidakmampun berpikir rasional (kegugupan) ketika nilai yang dipilih dan hendak diperjuangkan oleh pemerintah dirasakan oleh masyarakat sebagai nilai yang tidak memuat self-identity mereka. Lih. Robertus Wijanarko. Mengkritisi Penggunaan Bahasa Agama Dalam Wacana dan Kehidupan Politik. Hal. 102-110 dalam DR. Amada Riyanto. Agama Anti Kekerasan. Malang, Dioma, 2000.

[19] Penolakan atas masuknya Declaration of rights hanya untuk menghindari kesan bahwa Negara didirikan atas dasar perseorangan (individual) di mana Soepomo dan Soekarno sepakat bahwa bukan kedaulatan individu, melainkan kedaulatan rakyat yang menjadi dasar pemerintahan Negara. Itulah sebabnya, yang dimasukkan justru pernyataan kemerdekaan yang jika kita lihat lebih jauh masih terkait dengan hak untuk merdeka dan menciptakan Negara sendiri. Poin penting yang mau ditekankan adalah kedaulatan (baca: hak warga Negara) rakyat di mana permusyawaratan perwakilan menjadi ungkapannya. Lih. Rapat Panitia Hukum Dasar 11 Juli 1945. Loc Cit. Hal. 206-222.

[20] Contoh yang kita lihat adalah penetapan upah minimum yang berbeda di tiap provinsi. Perbedaan ini bukan menunjukkan ketidakadilan, tapi keselarasannya dengan pertumbuhan tingkat ekonomi dan kesejahteraan sosial.