Apa itu Neo-Kantianisme?

Neo-Kantianisme adalah paham filosofis yang mengalir dari pemikiran Immanuel Kant. Aliran ini lahir sebagai tanggapan atas ketidakmampuan paham Idealisme yang berusaha menanggapi tantangan ilmu empiris dan positivisme dalam bidang agama. Ketidakmampuan ini dikarenakan argumen-argumen idealisme tetap berada dalam tataran teoritis. Dengan kata lain, argumen atau pemikiran mereka sulit untuk diterapkan dalam tataran praktis. Padahal di lain pihak, baik ilmu empiris dan positivisme menyatakan apa yang benar adalah apa yang dapat dibuktikan melalui dan dalam pengalaman. Agama memang berurusan dengan apa yang super-sensibilis, tapi sekaligus agama juga harus dapat memperlihatkannya dalam kehidupan konkret, praktis, dan aktual. Inilah yang kemudian hendak diusahakan oleh para filsuf Neo-Kantianisme. Akan tetapi, aliran ini tidak hendak menekankan peranan akal budi teoritis dan sintesenya dalam pemikiran religius, melainkan mencari interpretasi baru terhadap agama dalam hubungan dengan akal budi praktis, hidup moral dan kebangkitan zaman empiris.

Ada beberapa aliran atau usaha yang mencari interpretasi baru atas agama berdasar pada pemikiran Kant, yakni

  1. Pertama, Aliran atau Sekolah Marburg yang menekankan tema logika, epistemologi dan metodologi.
  2. Kedua, Sekolah Baratdaya Jerman yang memfokuskan diri pada persoalan mengenai nilai.
  3. Ketiga, Hans Vaihinger yang mempersoalkan fiksi dan hipotesa dalam rumusan-rumusan agama.
  4. Dan terakhir, Sekolah Teologi Ritschlian yang mengetengahkan revelasi dan kesempurnaan moral Yesus sambil menolak intelektualisasi yang berlebihan terhadap agama serta menjelaskan pentingnya kekuatan moral dalam kehidupan umat beriman.

Dari Aliran atau Sekolah Marburg, ada 3 tokoh yang mewakili yakni Hermann Cohen, Paul Natorp dan Ernst Cassirer. Menurut Cohen, Allah itu unik, I am who I am. Keunikan ini berarti bahwa adanya Allah tidak dapat dibandingkan dengan adanya dunia. Karena itu, Allah tidak mewahyukan diriNya dalam sesuatu melainkan melalui hubungannya dengan sesuatu terutama hubunganNya dengan manusia. Apa yang diwahyukan? Yang diwahyukan Allah adalah akibat dari adaNya, kehendak, norma tindakan, cinta dan keadilan. Revelasi inilah yang menciptakan akal budi. Tapi, terciptanya akal budi hanya dapat terjadi dalam komunitas. Mengapa?

Menurut Cohen, setiap individu selalu terikat dalam komunitas atau bangsa. Dengan menyadari bahwa setiap pribadi hendak mewujudkan kebaikan dalam perjumpaan dengan sesamanya, gagasan Allah karena itu dapat ditemukan dalam poin ini. Tapi, gagasan Allah di sini tetaplah sebuah ide yang menjadi penjamin ideal kemanusiaan dan pemberi arah. Pemikiran ini kemudian ditegaskan oleh Paul Natorp dengan mengatakan agama haruslah menjadi agama yang tanpa Allah. Gagasan dasar Natorp adalah bahwa ia meradikalkan pemikiran mengenai revelasi Allah, yakni Allah tidak mewahyukan Diri dalam sesuatu, tapi melalui hubunganNya dengan sesuatu. Karena itu, ia lantas menyatakan perasaan moral-religius adalah pusat kesadaran manusia. Perasaan inilah yang menjiwai dan menyemangati pencarian pengetahuan.

Berbeda dengan kedua pemikir di atas, Cassirer menyatakan agama merupakan bagian dari simbol universalitas. Titik tolaknya adalah bahwa agama pada dasarnya tidak pernah terlepas dari kebudayaan. Karena itu, ia berbicara juga mengenai mitos. Mitos bukanlah sesuatu yang lain atau terlepas dari agama. Mitos, bagi Cassirer, adalah agama potensial. Menurutnya, dalam mitos sudah ditemukan gagasan kesatuan yang menyeluruh. Kesatuan ini tidak terletak atau terpusat dalam pikiran, melainkan perasaan. Dalam perkembangan agama selanjutnya, gagasan perasaan yang menjadi pusat kesatuan ini ditemukan dalam karakter personal yang ilahi dan aspek moralnya. Atas dasar inilah, ia menyatakan manusia bukan semata animale rationale, tapi juga animale simbolicum. Bagi Cassirer, segala yang ada di dunia ini tidak pernah mampu mencerminkan realitas sepenuh-penuhnya. Walaupun demikian, semuanya memberi sumbangan bagi usaha manusia dalam mengkonstruksi yang ideal atau dunia simbolik yang merupakan kebudayaan manusia.

Sekolah Baratdaya Jerman diwakili oleh satu tokoh yakni Wilhelm Windelband. Menurutnya, manusia bukan semata ada yang mengetahui, tapi juga sebagai ada yang menghendaki dan bertindak. Hal ini dikatakannya berdasar pada ketakterpisahan pengetahuan dan nilai dalam kehidupan. Dalam kehidupan, manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut dengan putusan nilai. Nilai yang dimaksud Wilhelm adalah nilai logika yang berkaitan dengan kebenaran, nilai etika yang berkaitan dengan kebaikan dan nilai estetika yang  berkaitan dengan keindahan. Poin penting dari penjelasan ini adalah bahwa sebuah nilai selalu berada dalam kaitan dengan kesadaran yang menilai. Pada poin inilah dapat dibicarakan soal agama.

Nilai agama, yakni Yang Kudus karena itu hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan nilai-nilai ini. Bagaimana Wilhelm memikirkan nilai Yang Kudus ini? Gagasan dasarnya adalah bahwa kesadaran manusia selalu tertarik pada penilaian yang lebih tinggi. Ini berarti kesadaran manusia akan Allah (yang kudus) senyata juga dengan pengalamannya akan nilai logika, etika dan estetika dalam dunia konkret-aktual. Tapi, ini tidak berarti pengakuan akan eksistensi Allah. Allah bagi Wilhelm tetap hanya ide yang menjamin keterarahan perbuatan manusia.

Pemikiran Vaihinger mengenai agama dapat disimak dari analisanya mengenai fiksi dan hipotesa. Bagi Vaihinger, fiksi adalah kekeliruan konsep yang dilakukan secara sadar dan tak pernah dapat diverifikasi. Sementara hipotesa adalah konsep dan keputusan yang mungkin dan harus diverifikasi melalui pengalaman. Hipotesa inilah yang digunakan untuk mencapai tujuan pikiran. Hipotesa menjadi ‘seolah-olah’ kepastian itu sendiri sebagaimana terdapat dalam realitas. Dalam agama, ide-ide dasar dilihat sebagai fiksi, sementara wujud perintah dan kehendak Allah dalam dogma dan ajaran agama dilihat sebagai hipotesa. Atas penjelasan Vaihinger ini, ide-ide mendasar agama, termasuk Tuhan, imortalitas dan tatanan dunia moral semuanya dipahami sebagai fiksi-fiksi praktis. Secara logis, gagasan dasar hidup sehari-hari juga adalah fiksi. Dalam dirinya, fiksi sesungguhnya bertentangan dengan realitas. Akan tetapi, secara prakteknya, mereka memiliki nilai yang luar biasa besar dalam kehidupan manusia khususnya dalam penghayatan keagamaan.

Dari Sekolah Teologi Ritschlian, ada 3 tokoh yang mewakili.

  1. Pertama, Albercht Ritschl yang menyatakan esensi agama Kristiani terletak dalam kesempurnaan moral Yesus. Sebagaimana Yesus bersatu dengan Allah begitu pulalah seharusnya individu dan komunitas kaum beriman. Persatuan ini menggambarkan kesatuan ideal tertinggi antara moralitas dan agama.
  2. Kedua, Wilhelm Herrmann yang mengetengahkan tema hidup moral Yesus. Menurutnya, perjuangan umat Kristen di dunia ini dituntun oleh pribadi Kristus Yesus. Dasar pikirannya adalah manusia dari kodratnya sudah memiliki hukum kewajiban. Tapi hukum kewajiban untuk melaksanakan kebaikan hanya dapat dilakukan dalam kebebasan moral dan kebebasan demikian terletak dalam kehidupan moral Yesus yang bersatu dengan Allah.
  3. Dan ketiga, Adolf von Harnack yang menyatakan pengalaman yang hidup akan Allah tidak ditemukan dalam rumusan dogmatis sebagai akibat pengaruh filsafat Yunani. Pengalaman ini hanya ditemukan dalam penghayan hidup Yesus serta pengaruhnya bagi manusia lainnya. Pemikiran dasar Harnack adalah sebagaimana Allah hidup dalam diri Yesus, begitu jugalah seharusnya umat beriman memahami kehadiran Allah dalam diri mereka. Allah menjadi pedoman dan prinsip kehidupan mereka dalam kehidupan aktual.

Bersambung ke berteologi dari perspektif Neo-kantianisme