Setelah abad pertengahan bergulir (Mediovalle) disertai dengan pengajaran sistematis di sekolah-sekolah (sehingga kerap disebut pula zaman Skolastik), pemikiran abad pertengahan mulai kehilangan fondasinya pada Tuhan yang terungkap dalam dogma-dogma agama. Kemacetan – kalau dikatakan demikian – pertama-tama disebabkan karena pemikiran abad pertengahan justru membungkam pemikiran manusia sebagai yang khas manusiawi. Khas manusiawi berarti bahwa manusia berusaha memahatkan dirinya pada alam semesta ini. Gerakan humanisme, yakni usaha manusia untuk melukiskan keindahan kodrat manusia dalam alam, yang dikenal dengan nama Renaisans lahir dalam masa ini (demikian terminology sekular). Terminologi Renaisans dapat diuraikan demikian, yakni Re = Kembali & Nascere = Lahir. Secara harafiah, renaisans berarti kelahiran kembali. Kembali ke mana? Kembali ke semangat humanisme sebagaimana yang ditunjukkan dalam filsafat Yunani (terutama seni dan budaya Yunani itu sendiri).
Renaisans pertama-tama harus dikatakan bukanlah sebuah sistem pemikiran filosofis tertentu, melainkan sebuah gerakan kebudayaan yang mengarahkan diri pada pemuliaan manusia. Dalam bidang seni, kita mengenal pelukis terkenal sepanjang masa, yakni Michael Angelo, Leonardo Da Vinci. Di bidang politik, terdapat tokoh Nicollo Machiaveli, Thomas Hobbes. Di bidang ilmu pengetahuan, terdapat tokoh seperti Giordano Bruno, Galileo Galilei, Copernicus.
Gerakan Renaisans menjadi pintu gerbang era modern di mana nantinya pusat realitas tidak diasalkan lagi pada Tuhan, melainkan pada kesadaran manusia itu sendiri.
Era Modern mempertajam apa yang menjadi gerakan renaisans. Di era ini, yang menjadi tokoh utama adalah Rene Descartes dan patut pula disebutkan di sini Francis Bacon. Gagasan utama pemikiran Rene Descartes adalah ‘Aku Berpikir, Maka Aku Ada’ (Cogito Ergo Sum). Gagasan ini kelihatan biasa-biasa saja. Tapi, pengaruhnya sangat luar biasa bagi perkembangan filsafat selanjutnya. Mengapa gagasan ini begitu sangat krusial? Gagasan Cogito menandaskan suatu pondasi bagi pengetahuan yang pasti, jelas, dan terpilah-pilah.
Dikatakan ‘pasti’ lantaran pikiran tidak mungkin menipu dirinya sendiri sekalipun jika setan mengatakan demikian. Pun bila jika seseorang menyangkal bahwa ia berpikir justru menunjukkan dengan telak bahwa ia sedang berpikir. Inilah kepastian yang tak terbantahkan lagi, yakni ‘Aku Berpikir’. Dari pondasi inilah, seluruh hal dijelaskan oleh Descartes. Lantaran era modernisme berkaitan dengan pusat kesadaran demikian (Cogito), kerap filsafat modern disebut juga filsafat Subjek. Bagaimana dengan Francis Bacon?
Bacon memperkenalkan apa yang disebut sebagai penarikan kesimpulan berdasarkan prosedur induktif. Prosedur induktif mengatakan bahwa kesimpulan dapat ditarik jika terdapat premis-premis yang benar. Misal: Budi dapat mati, Anton dapat mati, Rosa dapat mati…. Maka kesimpulannya adalah semua manusia dapat mati. Apa yang penting dari cara kerja demikian? Yang penting dari kerja demikian adalah fungsi dan makna rasionalitas sebagai sumber pengetahuan pertama dan utama (meskipun kerap Francis Bacon digolongkan dalam aliran empirisme). Karena peran utama rasionalitas inilah (akal budi, pikiran) baik Rene Descartes dan Francis Bacon kerap digolongkan ke dalam aliran rasionalisme. Rasionalisme (jika itu berkenaan dengan paham) berarti sistem yang mendasarkan diri pada rasio (akal budi) dalam memperoleh pengetahuan. Lawan dari paham ini adalah empirisme.
Tokoh utama empirisme adalah David Hume dan di bidang politik dikenal John Locke. Sementara rasionalisme berdasar pada rasio (akal budi), empirisme justru mendasarkan diri pada pengalaman (realitas sehari-hari). Dengan kata lain, tanpa pengalaman, rasio justru tidak berguna sama sekali. Karena itulah, pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang pertama dan utama. Saking konsekuen dengan pandangan ini, David Hume menarik kesimpulan secara radikal yakni apa yang disebut sebagai relasi kausalitas di dalam alam (peristiwa sehari-hari) pada dasarnya merupakan buatan akal budi belaka. Itu, kata Hume, hanya perasaan manusia
Bagi Hume, tidak ada kaitan kausalitas sama sekali seperti air mendidih pada suhu 100 C atau daun itu bergoyang karena ditiup angin sepoi-sepoi. Yang disebut kausalitas itu pada dasarnya merupakan setelah peristiwa A berlanjut peristiwa B. Daun bergoyang karena itu merupakan peristiwa B sesudah perisiwa A, yakni angin berhembus sepoi-sepoi. Lalu, yang disebut pengetahuan itu apa? Bagi Hume, pengetahuan yang dimaksud pada dasarnya adalah pengetahuan subjektif. Pengetahuan subjektif di sini jangan disalahartikan seperti pada Descartes. Hume mengatakan bahwa pengetahuan subjektif di sini adalah soal perasaan, yakni senang-tidak senang, suka-tidak suka, dan seterusnya. Dengan demikian, dalam pemikiran David Hume, yang disebut pengetahuan objektif itu tidak ada. Semuanya soal perasaan. Bahwa air mendidih pada suhu 100 C merupakan perasaan kita saja. Tidak lebih daripada itu.
Bagaimana Anda menyikapi pendirian kedua paham ini, yakni Rasionalisme dan Empirisme?
Abad Pencerahan, yang biasa disebut juga sebagai Aufklarung, merupakan lanjutan dari refleksi filosofis soal pengetahuan yang terjadi di dalam pergerakan modernisme. Sudah dipaparkan di atas bahwa pemikiran filosofis mengenai pengetahuan (sumber dan prosedur pengetahuan) telah menciptakan perdebatan di kalangan intelektual waktu itu. Seorang filsuf Jerman (Prusia kala itu) berusaha untuk memecahkan kesulitan ini. Nama filsuf itu adalah Immanuel Kant.
Immanuel Kant mengajukan tesis sintetis apriori. Apa itu sintetis apriori? Sebelum menjawab pertanyaan ini, harus diingat bahwa sebelum Kant terjadi perdebatan antara paham Rasionalisme dan Empirisme. Menurut Kant, pernyataan bahwa ‘lingkaran itu bulat’ sesungguhnya tidak menambah apa pun mengenai sesuatu yang baru. Pernyataan ini di dalam pikiran kita pada dasarnya sudah benar dan tidak terbantahkan. Dan hal ini tidak perlu kita buktikan melalui dan dalam pengalaman sehari-hari. Bagi Kant, argumen semacam ini pada dasarnya dipegang oleh kaum rasionalis. Ini disebut sebagai putusan analitis apriori.
Sementara itu, di lain pihak, Kant menyatakan sebuah putusan/pernyataan bahwa ‘semua logam dapat mengalirkan arus listrik’ pada dasarnya mengungkapkan putusan sintetis aposteriori. Artinya, putusan ini hanya dapat dibenarkan (diverifikasi) melalui pengalaman (observasi). Putusan demikian tampak dari pemikiran kaum empiris. Benar bahwa putusan demikian menambah sesuatu yang baru. Akan tetapi, harus dingat bahwa ‘penambahan sesuatu yang baru’ itu hanya dapat dilakukan jika terdapat relasi antara ‘semua logam’ dan ‘arus listrik’. Dan relasi ini justru dapat dinyatakan lantaran akal budi-lah yang berperan terhadap putusan tersebut. Padahal di lain pihak, kaum empiris seperti David Hume menolak dengan tegas fungsi akal budi sebagai demikian. Nah, karena itulah, Kant berupaya mencari solusinya dengan mengajukan tesis sintetis apriori yang berarti putusan tersebut sudah ada dalam akal budi dan sekaligus memverikasinya (menyatakan) benar dalam realitas sehari-hari (pengalaman). Contoh: 2+2= 4 merupakan putusan sintetis apriori lantaran akal budi menerimanya sebagai benar tanpa menyelidiki kebenaran tersebut dalam pengalaman sehari-hari.
Apakah Kant berhasil membuktikan tesisnya tersebut? Harus diakui bahwa Kant dengan sangat gemilang berhasil membuktikannya dan bahkan sekaligus menyatukan paham rasionalisme dan empirisme di dalam pemikiran filsafatnya. Akan tetapi, kejayaan pemikiran Kant harus dibayar mahal sebab pengalaman sehari-hari pada dasarnya merupakan penampakan-penampakan saja. Lho, memangnya kenapa?
Pada tataran epistemologis (cabang filsafat yang berbicara tentang bagaimana manusia dapat memperoleh pengetahuan), logika Kantian rupanya membalikkan pemikiran metafisika sebelumnya. Pertanyaan, mengenai keberadaan Tuhan, kebebasan, kejahatan, etika, dan sebagainya akhirnya bertumpu pada kemampuan akal budi itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa Kant menyebut bukunya sebagai kritik (bukunya yang terkenal adalah Critique of Pure Reason & Critique of Practical Reason). Mengapa dikatakan kritik? Karena, bagi Kant, akal budi perlu didisiplinkan (dikritik, red) sedemikian rupa sehingga kesahihan pengetahuan mengenai sesuatu menjadi jelas. Lantaran akal budi perlu didisplinkan, maka Kant menyebutkan adanya 12 kategori yang terdapat dalam pikiran. 12 kategori ini merupakan sifat bawaan akal budi. 12 kategori inilah yang memungkinkan putusan atau pernyataan ini menjadi sah dan benar.
Bagaimana terjadinya pengetahuan itu? Menurut Kant, terdapat 3 cara bagaimana pengetahuan itu terjadi. Pertama, objek-objek fenomena masuk ke dalam diri kita melalui panca indera kita. Misal, kita mengamati gejalan angin berhembus, daun bergoyang, dan seterusnya. Kedua, pada saat yang bersamaan, objek-objek tersebut dimengerti melalui kategori-kategori yang sudah ada secara a priori dalam akal budi kita (Kant menyebut adanya 12 kategori). Pada tahap ini, menurut Kant, akal budi atau pikiran manusia mengkaitkan gejala-gejala tersebut sehingga menjadi satu kesatuan pernyataan. Dan pada tahap ketiga, pernyataan atau proposisi dibentuk dari tahap kedua tersebut atas apa yang sudah dimengerti secara kategori. Pada tahap terakhir inilah, pengetahuan bahwa “Adanya angin yang berhembus menyebabkan dauh pepohonan itu bergoyang” dibentuk. Di pihak lain, proses ini sendiri mengandaikan dua bentuk intuisi internal manusia yang bersifat a priori, yakni ruang dan waktu.[1] Lalu, bagaimana misalnya pengetahuan tentang keberadaan Tuhan?
Bagi Kant, keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan keberadaanNya. Tapi, ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak ada. Tuhan tetap ada walaupun tidak dapat dibuktikan. Menurut Kant, apa yang ada dalam dirinya sendiri (das ding an sich) tidak dapat kita ketahui. Dan ini disebut Noumena. Sementara itu, yang dapat kita ketahui disebut Kant Fenomena. Fenomena berarti segala sesuatu yang tampak kepada kita. Lantas, bukankah ini berarti bahwa realitas sehari-hari justru hanya bersifat penampakan saja dan bukan realitas sebagai ada-dalam-dirinya-sendiri? Benar. Ini merupakan salah satu kesulitan utama Kant. Di atas, sudah disinggung kesulitan metafisis yang dimunculkan melalui logika Kantian ini. Apa maksudnya?
Sebelum Kant, pembuktian keberadaan Tuhan diasalkan dari realitas sehari-hari. Sebagai contoh, 5 jalan pembuktian keberadaan Tuhan oleh Thomas Aquinas yang didasarkan dari pemikiran Aristoteles. Nah, jika realitas sehari-hari itu hanya penampakan saja, maka bagaimana bisa membuktikan keberadaan Tuhan berangkat dari realitas demikian? Meskipun Kant sadar akan hal ini, tapi ia tetap konsekwen dengan pendiriannya. Maka bagi Kant keberadaan Tuhan bukan lagi dibuktikan tapi DIANDAIKAN ada oleh AKAL BUDI. Sekali lagi, harus diingat bahwa akal budi itu sendiri tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Akal budi, bagi Kant, hanya MENGANDAIKAN keberadaan Tuhan untuk memberi jaminan bagi makna/arti dari perbuatan manusia dalam hidup sehari-hari. Mengapa? Jelas bahwa perbuatan manusia supaya dikatakan baik harus ada ukuran atau patokannya. Nah, patokan atau ukuran ini memang dibuat oleh akal budi. Apa yang dibuat akal budi inilah yang Kant sebut perintah. Jadi, kalau kamu menolong seorang nenek menyeberangi jalan, kamu melakukannya karena perbuatan itu memang baik dan merupakan perintah akal budi. PENGANDAIAN keberadaan Tuhan, bagi Kant, hanya untuk memastikan bahwa akal budi kita tidak berbohong atau menipu. Karena itu pula, di dalam pemikiran Kant, agama berada di bahwa payung moral, yakni baik-buruk yang ditetapkan oleh akal budi dan sekaligus kewajibannya dalam tindakan sehari-hari. Bukan Tuhan atau pun agama yang menetapkan nilai moral, melainkan akal budi itu sendiri.
Berdasarkan hal inilah, semboyan filsafat Kant adalah Sapere Aude yang berarti Berani Untuk Menggunakan Akal Budi Secara Mandiri (Berani Berpikir Sendiri).
Pemikiran Kant mulai mendapat kritik terutama dari filsafat Hegel. Hegel adalah seorang filsuf idealisme. Mengapa dikatakan idealisme? Hal ini dalam perjalanan akan kita pelan-pelan dijelaskan. Saat ini, pertanyaan utamanya adalah, apa kritik Hegel terhadap Kant?
Rupanya Hegel tidak puas dengan penjelasan Kant mengenai Noumena, yakni ada-dalam-dirinya-sendiri. Sebagaimana diketahui, Kant menyatakan bahwa Noumena tidak dapat dipahami. Nah, bagi Hegel, Noumena ini justru dapat kita pahami. Dengan kata lain, Hegel menyatakan bahwa Noumena dapat dipahami secara rasional. Bagaimana pemikiran Hegel tentang hal ini?
Gaya berpikir Hegelian adalah gaya berpikir yang berakar dalam pemikiran Baruch Spinoza. Spinoza mengajarkan bahwa Allah atau Alam (beserta isinya) itu Sama. Wuiihhh…, bukankah pemikiran ini justru seperti menyamakan manusia dengan Allah? Benar dan karena hal inilah ia dituduh sebagai ateis. Tapi, kita harus mengerti apa yang dimaksud Spinoza dengan pernyataannya tersebut.
Untuk membangun sebuah sistem filsafat yang benar-benar a priori, Spinoza menggunakan metode deduktif. Metode ini menyatakan bahwa dari prinsip pertama dapat diturunkan segala sesuatu yang lain. Metode deduktif-apriori ini mensyaratkan keniscayaan mutlak. Artinya, apa pun yang diturunkan dari prinsip itu pasti benar, tidak mungkin salah. Itulah alasan mengapa Spinoza mengambil bentuk geometri dalam pemikirannya.
Pemilihan metode geometri dikarenakan kepastian yang diberikan dalam kesimpulan yang ditarik dari pernyataan atau proposisi sebelumnya. Contoh, A = B, B = C, maka C = A. Untuk tujuan itu, Spinoza pertama-tama mulai dengan sebuah argumen ontologis yang diperlukan sebagai pondasi kokoh bagi semua tahapan-tahapan kesimpulan selanjutnya, yakni pemahaman mengenai substansi. Apa yang dimaksud Spinoza dengan Substansi?
Dalam karyanya Ethics, Spinoza memberikan rumusan substansi sebagai berikut, “By substance, I mean that which is in itself, and is conceived through itself : in other words, that of which a conception can be formed independently of any other conception.”[2] Secara ringkas dapat dikatakan bahwa substansi adalah apa yang dapat dipahami tanpa perlu memahami sesuatu yang lain[3]. Dengan kata lain, pengertian Substansi dapat dicontohkan sebagai berikut: buah apel muncul karena pohon apel tumbuh dengan baik, pohon itu bisa tumbuh dengan baik karena tanahnya subur, tanah yang subur itu dapat terjadi karena cuaca dan musim mendukung demikian, cuaca dan musim itu dapat terjadi karena perputaran bumi pada porosnya, perputaran bumi ini terjadi karena ada gerak, nah gerak ini tidak mungkin bergerak tanpa sebab, karena itu pasti ada yang menggerakkanya.
Sampai pada poin ini, bagaimana menjelaskan ‘sesuatu yang menggerakkan’ ini’? Akal Budi manusia pasti mau tidak mau menerima bahwa Sang Penggerak ini adalah Tuhan Allah. Tuhan jelas tidak perlu menjelaskan keberadaanNya sendiri berdasar sesuatu yang lain lagi. Jika ia (tuhan) dapat dijelaskan dengan sesuatu yang lain lagi, ia (tuhan) itu pastilah bukan Tuhan yang Mutlak. Inilah yang dimaksudkan dengan Substansi, yakni halnya tidak perlu dijelaskan dengan sesuatu yang lain lagi, melainkan halnya itu (contoh: Tuhan) adalah Dasar bagi penjelasannya sendiri.[4]
Substansi dengan sifat-sifat yang tidak terbatas ini diidentikkan Spinoza dengan Allah. Jalan pikiran Spinoza adalah sebagai berikut. Spinoza pertama-tama merumuskan atribut atau sifat sebagai “that which the intellect perceives as constituting the essence of substance.”[5] Jika Allah diakui keberadaanNya, Ia pasti memiliki sifat-sifat yang dapat ditangkap oleh akal budi. Faktanya, akal budi dapat menangkap sifat-sifat ini. Dengan kata lain, atribut atau sifat ini merupakan pengungkapan dari ketakterbatasan Allah. Apakah manusia dapat memahami eksistensi Allah? Menurut Spinoza, manusia bisa memahami esensi Allah. Mengapa? Karena esensi dan eksistensi Allah adalah satu dan sama[6]. Dalam pemahaman Spinoza, keberadaan Allah ini tidak sama dengan pemikiran Kristiani atau pun Yahudi, yakni Allah yang personal serta yang imanen sekaligus transenden.
Personalitas, bagi Spinoza, menunjukkan adanya suatu substansi yang berbeda dengan substansi yang lain. Padahal, jika ada dua hal memiliki dua substansi yang berbeda, kedua hal tersebut tidak dapat dipahami melalui substansi yang lain itu. Dengan kata lain, kedua hal tersebut dapat dipahami dalam dirinya sendiri dan ini tidak mungkin[7]. Alam atau dunia, yang dalam pandangan Yahudi dan Kristiani dilihat berbeda dari Allah, ditolak oleh Spinoza. Bagi Spinoza, jika ada substansi lain selain Allah, Allah lantas tidaklah tak terbatas. Sebaliknya, jika Allah tak terbatas, tidak mungkin ada substansi lain (menurut pengertian Spinoza tentang rumusan substansi). Karena itu, Allah dan Alam atau Dunia adalah sama. Apapun yang ada, berada dalam Allah dan tidak satu pun dapat dipahami tanpa Allah. Demikianlah kita mengenal pernyataan Spinoza yang terkenal itu, Natura Naturata (dilihat dari segi alam) dan Natura Naturans (dilihat dari sudut Allah)[8]. Jadi, Allah tidak bersifat pribadi.
Pemahaman ini masih dapat diterima jika yang dimaksudkan adalah bahwa segala sesuatu yang terbatas pada dasarnya tergantung pada Allah. Tapi, dalam pikiran Spinoza, segala sesuatu yang terbatas ini sesungguhnya merupakan cara berada Allah (modification of God). Bagi Spinoza, ada dua sifat yang tak terbatas ini yang dapat dikenal oleh manusia yakni keluasan (extension) dan pikiran (thought). Dengan kata lain, pikiran manusia adalah cara berada Allah dalam sifat pikiran dan tubuh manusia adalah cara berada Allah dalam bentuk keluasan[9]. Secara ontologis, Alam tidak berbeda dari Allah. Dan karena itu juga, Allah tidak berbeda dari manusia. Manusia berada dalam Allah, tidak berhadapan denganNya. Mengapa? Karena Allah masuk dalam semua realitas. Seluruh alam semesta ini adalah Allah sendiri dalam modus atau cara beradaNya.
Tampak bahwa pandangan Spinoza menunjukkan sebuah pandangan yang panteistik. Namun, menurut beberapa ahli, pandangan Spinoza lebih tepat dikatakan sebagai panteisme yang monistik. Implikasi dari pemikiran Spinoza adalah bahwa transendensi Allah tidak ada. Demikian juga dalam pengalaman sehari-hari, pluralitas itu tidak ada. Pluralitas hanyalah modus, cara Allah atau Alam ini menyatakan diri. Melalui pemikiran ini, Spinoza sekaligus mengatasi dualisme Descartes yang menyatakan bahwa adanya dua substansi yang tidak bisa didamaikan yakni res extensa (realitas yang berkeluasan) dan res cogitans (realitas yang berpikir).[10]
Setelah melihat pemaparan pemikiran Spinoza, tidak akan sulit pula dipahami gagasan Hegel. Gagasan utama Hegel adalah apa yang disebut dengan Roh (Geist). Apa yang dimaksud Roh di dalam pemikiran Hegel? Roh dalam pemikiran Hegel berarti Rasio (Akal Budi) beserta seluruh kegiatannya. Inilah dasar pendirian Hegel. Dan inilah satu-satunya realitas bagi Hegel, i.e: Roh dan Aktivitasnya. Di atas, sudah diperlihatkan asumsi dasar Hegel bahwa Noumena dapat dimengerti secara rasional. Bagaimana Hegel membuktikannya? Hegel membuktikannya dengan apa yang disebut sebagai DIALEKTIKA.
Dialektika adalah proses relasional yang mengandaikan adanya dua hal yang saling bertentangan. Proses dialektis ini kemudian menghasilkan sesuatu yang baru dalam tingkat yang lebih tinggi. Kira-kira prosesnya berjalan seperti ini:[11] sebagai tesisnya adalah Yang Ada. Antitesisnya adalah Ketiadaan. Dan sintesisnya adalah Menjadi. Dalam gerak selanjutnya, sistesis tersebut menjadi tesis. Demikianlah seterusnya proses ini sehingga mencapai puncaknya dalam Roh Absolut. Alam dan sejarah termasuk dalam proses dialektis ini. Bagaimana dengan manusia?
Mahkluk organis merupakan bagian dari alam. Proses dialektika dalam diri mahluk organis mencapai puncaknya dalam diri manusia. Hegel memikirkan posisi manusia ini dalam teori roh subjektif, roh objektif dan roh mutlak. Dalam tahap roh subjektif, manusia masih terbungkus oleh alam. Roh menjelma dalam kodrat manusia yang berwujud kesadaran. Kesadaran ini berusaha untuk keluar dari belenggu alam melalui proses dalam dirinya sendiri. Menurut Hegel, terdapat dua bidang kesadaran yang ada dalam diri manusia yakni teoritis dan praktis. Perpaduan antara kedua hal itu menghasilkan roh yang bebas, yakni roh yang mengenal dirinya bebas dan dapat menghendaki dirinya untuk berada.
Ketika Roh ini keluar dari diri manusia, ia lantas mewujudkan dirinya dalam tata tertib masyarakat, yakni tata tertib yang mengatur relasi manusia yang satu dengan yang lain. Berhadapan dengan manusia yang lain, maka diperlukan adanya kesepakatan untuk hidup bersama. Negara karena itu merupakan perkembangan roh objektif dalam pengertian mengatasi individual namun tetap menjamin hak individu untuk menghayati kebebasannya dalam membangun kesejahteraan bersama.[12] Tapi, puncak tahap perkembangan roh objektif ini merupakan sejarah dunia di mana roh subjektif dan objektif bersatu dengan menggunakan waktu sebagai sarananya. Tahap puncak perkembangan Roh ini adalah Roh mutlak di mana Roh ini kembali kepada dirinya secara penuh. Inilah tahap dimana Noumena dapat dimengerti secara rasional. Bahasa teologis, menyebut Roh Mutlak ini adalah Tuhan. Menurut Hegel, tiga bentuk proses dari kegiatan ini dihasilkan dalam kesenian, agama dan filsafat.
Untuk menggambarkan sistem besar filsafatnya ini, Hegel menyatakannya dengan sebuah kalimat terkenal, yakni “Apa yang Nyata (Real) itu Rasional dan Apa yang Rasional itu Nyata (Real)”. Sering dikatakan bahwa sesudah Hegel, para filsuf selanjutnya hanya menjadi pengikut pemikiran Hegel. Seolah-olah di tangan Hegel, Filsafat telah berakhir. Tapi, apa benar demikian? Tidak. Contoh, sebuah peristiwa Perang Dunia Kedua. Bahwa pembunuhan berjuta-juta orang Yahudi oleh NAZI merupakan suatu fakta. Tapi, apakah pembunuhan massal demikian dapat diterima akal (rasionalitas)? Rasio manusia justru menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Salah satunya adalah Nietzsche yang mengkritik dengan tajam pemikiran raksasa Hegelian ini.
Bersambung ke Ilmu dan Kritik Terhadap Ilmu (bagian 3)
[1] Immanuel Kant. The Critique of Pure Reason. Bab.VI bagian 1-2
[2] Lih. Spinoza, Ethics, Bagian I, definisi 3.
[3] Substansi berasal dari kata Latin, sub dan stare yang artinya berdiri di bawah.
[4] Lih. Spinoza. Op Cit. Bagian I, definisi 1-2.
[5] Idem, Bagian I, definisi 4.
[6] Idem, Bagian I, pernyataan 20.
[7] Idem, Bagian I, pernyataan 2-6.
[8] Magnis Suseno. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius, 1997. Hal. 99.
[9] Spinoza. Op Cit. Bagian II, pernyataan 1-2
[10] Frederick Copleston, SJ. Modern Philosophy: Descartes to Leibniz. Hal.228-229.
[11] Sermada Donatus. Filsafat Ketuhanan.
[12] “Justice, however, is neither an alien principle….On the contrary, being justice in human law, it brings back to the whole, to the universal life of society, what has broken away separately from the harmony and equilibrium, of the whole : the independent classes and individuals. In this way justice is the government of the nation, and is its all-pervading essential life in a consciously present individual form, and is the personal self-conscious will of all”. Hegel. Phenomenology of Mind dalam bagian Objective Spirit: The Ethical Order.