Pendahuluan (Panorama Rasionalitas dan Pengetahuan)

Apa itu pengetahuan (Science)? Ruang lingkup pengetahuan tidaklah terbatas pada bidang-bidang tertentu. Pengetahuan lahir dan muncul karena pengembaraan akal budi manusia yang berusaha memahami hidupnya sendiri maupun bersama orang lain. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa pengetahuan lahir karena keinginantahuan manusia akan dunianya. Dalam konteks filsafat, hal ini dapat dilihat dari kemunculan filsafat awali yang dipelopori oleh Thales.

Thales mendobrak cara berpikir mitologis yang begitu melekat pada masyarakat Yunani Kuno saat itu. Cara berpikir mitologis dapat dicontohkan sebagai berikut. Bagi masyarakat Yunani saat itu, hujan dianggap sebagai tangisan dewa-dewi. Apakah pemikiran ini salah? Atau bagaimana? Pemikiran mitologis bukanlah berkaitan dengan salah-benar melainkan keterbatasan (akal budi) dalam menjelaskan mengenai hal-nya (hujan). Sekarang, dari penyelidikan empiris, dapat diketahui bahwa hujan terjadi karena uap air yang berada di udara pada titik kenisbian tertentu akan jatuh sebagai tetes-tetes air. Apa yang dapat dikatakan dari sini? Keinginantahuan manusia dan kebebasan yang melekat padanya merupakan syarat mutlak bagi kelahiran dan kemunculan pengehuan baru.

Semenjak Thales, filsafat (kalau itu berurusan dengan keilmiahan rasionalitas) menjadi sumber bagi segala pengetahuan. Jika Thales dan kawan-kawan masih member focus pada penjelasan alam semesta ini, lain lagi dengan Sokrates. Ia berusaha mendaratkan sebuah penjelasan pada realitas manusia dan dimensi-dimensinya (keadilan, kebahagiaan, kebenaran, kesetiaan, dan lain-lain). Pertanyaan utama Sokrates adalah ‘Apakah’. Misal, Apakah keadilan itu? Apakah yang disebut dengan kesetiakawanan? Pertanyaan ‘Apakah’ bukan sekedar meminta definisi atas apa yang ditanyakan. Contoh: Apakah keadilan? Keadilan berarti memberikan apa yang menjadi hak seseorang. Tidak hanya itu. Pertanyaan ‘apakah’ mengajak manusia untuk merefleksikan lebih jauh, lebih mendalam, lebih mendasar hakikat atau esensi dari yang kita sebut keadilan itu sendiri. Itulah sebabnya, Sokrates terkenal karena ia menyatakan bahwa hidup yang tidak direfleksikan berarti hidup yang tidak pantas untuk dijalani. Dan sebagaimana yang dicatat sejarah, Sokrates pun mati – dengan minum racun – demi mempertahankan keyakinannya tersebut.

Pada diri Sokrates-lah dapat dimengerti dengan lebih seksama dengan apa yang dimaksud filsafat itu sendiri. Filsafat dalam diri Sokrates berarti mencintai kebijaksanaan. Orang yang mencintai kebijaksanaan berarti orang yang mau rendah hati sebagai dikatakan Sokrates bahwa ‘Pada akhirnya, aku sendiri pun tidak tahu apa-apa’. Bukan karena memang tidak tahu apa-apa sama sekali. Melainkan saking luasnya dan dalamnya kebijaksanaan itu (pengetahuan), manusia tidak sanggup untuk memahaminya secara tuntas, sempurna. Manusia hanya bisa terus berusaha mengejar dan mengejar.

Setelah kematian Sokrates, filsafat tidaklah menghilang. Justru kerja filsafat semakin menghebat di tangan salah seorang murid Sokrates, yakni Plato. Sebagian besar karya Plato berbentuk dialog. Mengapa dialog? Bukan hanya karena Plato menggunakan metode gurunya Sokrates melainkan dialog menyingkapkan kebenaran melalui orang lain atau sesuatu yang lain (seperti perawat yang membantu persalinan seorang ibu). Di tangan Plato, apa yang disebut pengetahuan berarti aktivitas jiwa. Jiwa menjadi kunci pemahaman untuk masuk ke alam pikiran Plato. Atau dapat dikatakan bahwa jiwa merupakan fondasi utama filsafat Platonis.

Menurut Plato, seluruh keberadaan diri manusia (pengetahuan, pengejaran kebahagiaan, dll) ditentukan oleh gerak jiwa. Gerak jiwa, bagi Plato, adalah berusaha melepaskan diri dari tubuh dan kembali ke Dunia Idea. Pada poin ini, harus diakui bahwa Plato memahami tubuh sebagai yang lebih rendah daripada jiwa. Kata Plato, “Tubuh adalah Penjara Jiwa”. Lalu, bagaimana dengan Dunia Idea itu sendiri? Dunia Idea merupakan dasar bagi apa yang sekarang kita sebut Surga atau Neraka atau Nirwana atau yang lainnya. Bagi Plato, sebelum jiwa masuk ke dalam tubuh, jiwa sudah berada terlebih dahulu di dalam Dunia Idea. Pada tahap ini, jiwa itu suci, murni, bersih dan tak bernoda. Nah, ketika jiwa itu masuk ke dalam tubuh, jiwa itu terkontaminasi dengan nafsu-nafsu dan keinginan-keinginan bawaan kodrat tubuh. Di sini, jiwa berusaha untuk melepaskan diri dari tubuh supaya jiwa dapat kembali lagi ke keadaan asalnya. Salah satu cara yang diajarkan Plato adalah dengan askese, mati raga. Intinya, karena tubuh dipandang negatif, maka puasa merupakan reaksi (negatif) terhadap tubuh.

Berkaitan dengan pengetahuan, Plato mengajarkan bahwa apa yang disebut pengetahuan pada dasarnya adalah aktivitas jiwa yang mengingat kembali hal-hal seperti waktu di dalam Dunia Idea. Misal, pengertian manusia tentang meja, kursi, kuda, kucing pada dasarnya merupakan aktivitas mengingat kembali Ide-ide tentang meja, kursi, kuda, kucing yang dijumpai jiwa ketika ia masih berada dalam Dunia Idea. Jika demikian, apa yang dilihat manusia dalam kehidupan sehari-hari ini pada dasarnya hanya merupakan penampakan saja dari apa yang dipancarkan oleh Ide-ide meja kursi, kuda dan kucing dari Dunia Idea. Plato sendiri menggambarkan pemikirannya ini dalam sebuah alegori tentang gua (The Cave).

Aristoteles merupakan salah satu dari murid Plato. Tapi, tidak seperti Plato yang mengajarkan pengetahuan sejati berasal dari Dunia Idea, Aristoteles justru berangkat dari realitas sehari-hari. Ini berarti bahwa Aristoteles bukan semata menolak ajaran Plato tentang universalitas melainkan pula mendasarkan ajarannya pada realitas sehari-hari itu sendiri. Pertanyaannya, mengapa Aristoteles mendasarkan pemikirannya pada realitas?

Untuk masuk ke dalam pemikiran Aristoteles ini, perlulah pertama-tama memahami apa yang dimaksud Aristoteles dengan filsafat itu sendiri? Bagi Aristoteles, filsafat berarti mencintai kebijaksanaan (dalam bukunya Metaphysics). Definisi ini sama seperti yang dinyatakan Plato. Jika Plato memaksudkan pencarian kebijaksanaan itu pada aktivitas jiwa yang berusaha menghadirkan kembali apa yang dipahaminya selama jiwa itu berada di Dunia Idea, Aristoteles justru berpendapat bahwa pencarian kebahagiaan berarti manusia mencari ‘Sebab dan Prinsip Pertama’ dari realitas yang ada ini. Untuk kita sekarang, apa yang diungkapkan oleh Aristoteles tentang ‘Sebab dan Prinsip’ itu pada dasarnya mengungkapkan apa yang sering kita katakan sebagai pertanyaan mendasar “Mengapa?.”

Aristoteles melihat ada 4 Sebab yang mendasari realitas.

Pertama, SEBAB MATERIAL yakni sebab (atau mengapa-nya) yang memberi atau menyusun sesuatu. Kayu, misalnya, merupakan sebab dari adanya patung kayu.

Kedua, SEBAB FORMAL yakni sebab yang memberi bentuk pada kayu itu. Misal, kayu itu menjadi PATUNG, MEJA, KURSI, dan sebagainya. Patung, meja, kursi ini merupakan BENTUK dari kayu.

Ketiga, SEBAB EFESIEN yakni sebab yang membuat sesuatu itu berada sebagai demikian. Misal, pahatan patung manusia dari kayu dibuat oleh seorang pemahat kayu. Yang kita katakana sebagai Sebab Efesien ini adalah si Pemahat Kayu itu.

Keempat, SEBAB FINAL yakni sebab yang bertujuan. Pahatan patung laki-laki dengan otot-ototnya yang kekar ditambah lagi wajah rupawan merupakan tujuan pembuatan patung tersebut. Inilah tujuan akhir bagi kegiatan pemahatan patung kayu tersebut.

Dari dasar berpikir demikian, lantas dapat dipahami pemikiran Aristoteles tentang pengetahuan. Pengetahuan berarti relasi kesesuaian antara apa yang dipikirkan dengan realitas sehari-hari. Apa yang disebut sebagai pengetahuan objektif berdasar cara kerja induktif demikian yang diasalkan dari Aristoteles. Dan dari cara kerja demikian, Aristoteles juga membuka pintu bagi pemikiran tentang Tuhan. Memang, Aristoteles sendiri tidak menyebut Tuhan untuk menggambarkan Sebab dan Prinsip fundamental. Ia justru menyebutnya sebagai Sebab Yang Tidak Disebabkan atau Penggerak Yang Tidak Digerakkan atau Aktus Purus (Aktus Murni). Cara berpikir Aristoteles ini menjadi dasar pembuktian Tuhan pada abad pertengahan dengan tokohnya Thomas Aquinas.

Bersambung ke Ilmu dan Kritik Terhadap Ilmu (bagian 2)