Filsafat sebelum Heidegger kerap dipahami sebagai filsafat yang berporos pada kesadaran, rasionalitas, atau akal budi. Cara berpikir demikian dicetuskan oleh Descartes dengan Cogito Ergo Sum-nya dan berpuncak pada Hegel yang menyatakan apa yang rasional itu nyata dan apa yang nyata itu rasional. Adalah Edmund Husserl yang mempertanyakan kembali hakekat kesadaran sebagai demikian. Bagi Husserl, tidak semua hal di dunia ini bisa dipahami secara rasional. Misalnya, jatuh cinta. Karena itu, Husserl berpendapat bahwa tidak perlulah memaksakan kategori-kategori pemikiran manusia atas realitas. Pemaksaan ini menurutnya sama saja dengan memperkosa realitas itu sendiri. Biarlah realitas itu muncul dengan sendirinya dan menampakkan diri apa adanya.

Menurut Husserl, kita hanya perlu menaruh dalam tanda kurung, yang disebutnya dengan Epoche, pemahaman yang kita miliki sebelumnya. Misalnya, jika ditanya apa itu matahari, orang biasanya menjawab dengan mengatakan matahari adalah pusat tata surya, dan lain sebagainya. Bagi Husserl, jawaban ini tidaklah keliru. Namun, untuk menunjukkan apa itu matahari, kita hanya perlu membiarkan matahari mengungkapkan dirinya sendiri. Maka, bagi Husserl, matahari itu pertama-tama adalah panas.

Dalam pemikiran Husserl ini kesadaran karena itu adalah kesadaran yang bertujuan. Ke mana tujuannya? Bisa ke mana-mana asal keluar dari dirinya (kesadaran). Ke meja, kursi, pendapat, pikiran, dan lain-lain. Poin yang mau dikatakan Husserl adalah bahwa pertama, adanya realitas dalam dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bukanlah kesadaran tertutup tapi terbuka, menuju realitas di luar dirinya. Ketiga, dengan demikian kesadaran berarti sadar akan sesuatu. Martin Heidegger, seorang murid Husserl, tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Husserl. Mengapa? Bagi Heidegger, pemikiran Husserl masih berorientasi pada kesadaran itu sendiri. Heidegger melihat bahwa ada yang lebih mendasar dari persoalan relasi kesadaran dengan realitas, yakni keber-ada-an. Dengan bantuan fenomenologi’. Heidegger berupaya menggarap permasalahan ini dalam Being and Time (Sein und Zeit), penggunanan fenomenologi justru menjadikan karyanya tersebut bersifat hermeneutis. Dengan kata lain, Heidegger berupaya melihat seluruh perkembangan sejarah pemikiran filosofis dalam kerangka hermeneutis. Hal ini terutama menyangkut tema Ada yang merupakan persoalan utama Heidegger. Karena itu, ontologi harus menjadi fenomenologi tentang Ada. Selanjutnya, fenomenologi harus menjadi hermeneutika mengenai eksistensi. Eksistensi di sini merujuk pada eksistensi manusia lantaran hanya manusia yang dapat mempertanyakan adanya sehingga dapat membuka ruang (kemungkinan) untuk memahami Ada. Pada poin ini, eksistensi manusia diistilahkan Heidegger dengan Dasein yang artinya ada (Sein) di sana (Da).

Tidak digunakannya konsep manusia, menurut Heidegger, lantaran konsep tersebut kerap dipahami sebagai yang sudah jadi, selesai, statis dan dalam arti tertentu cenderung dilihat sebagai objek (dalam relasinya dengan subjek). Karena itu, terminologi ‘di sana’ hendak menunjukkan suatu proses menjadi, dinamis yang hanya selesai ketika Dasein mati. Tapi, bagaimana Dasein dapat mengenal dirinya sebagai demikian? Untuk menjawab ini perlulah memahami apa yang dimaksud Heidegger dengan dunia. Bagi Heidegger, Dasein haruslah dipahami sebagai berada-dalam-dunia. Dunia dalam pemahaman Heidegger bukanlah berada dalam pengertian objek. Artinya, dengan meneliti dunia, kita dapat menghasilkan pemahaman mengenai diri kita sendiri. Dunia adalah tempat Dasein mengada, tempat penyingkapan Dasein (pengungkapan Ada itu sendiri). Dasein tanpa dunia adalah tidak mungkin sebab Dasein tidak akan pernah dapat melihat dan memahami entias-entitas juga dirinya lepas dari dunia ini. Lebih lanjut, penggunaan tanda hubung (-), menegaskan ketakterpisahan Dasein dengan dunia

Dari poin tersebut dapat dimengerti bahwa bagi Heidegger kesadaran bukanlah semata kesadaran akan sesuatu, melainkan kesadaran pada dasarnya adalah kesadaran dalam atau sebagai sesuatu. Maksudnya, kita tidak sekedar menyadari sesuatu melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Untuk menunjukkan bagaimana Dasein mengungkapkan dirinya, Heidegger membahas apa yang disebut dengan mengerti (Verstehen, Understanding). Dalam kerangka pemikiran Heidegger, Mengerti merupakan salah satu struktur mendasar pengungkapan Dasein selain apa yang disebut dengan.Befindlichket (umumnya diterjemahkan dengan suasana batin yang mencakup ketakutan dan kegelisahan) dan Rede (umumnya diterjemahkan dengan diskursus). Intinya, Heidegger berupaya menggarap struktur Dasein sebagai berada-dalam dari struktur primordial Dasein sebagai berada-dalam-dunia.

Mengerti dan Kemungkinan
Mengerti pertama-tama bukanlah suatu proses kognitif tertentu. Mengerti pada dasarnya merupakan suatu cara berada, suatu momen mendasar yang dimiliki oleh Dasein. Sebagai berada-dalam, Dasein juga memperlihatkan struktur sebagai berada-di-sana. Sebagaimana telah ditunjukkan di atas, berada-di-sana berarti bahwa Dasein adalah entitas yang mempersoalkan dirinya sendiri. Dengan kata lain, Dasein adalah kemungkinannya sendiri untuk menjadi (Being of the-to-be-able-to-be). Dari poin ini dapat dilihat bahwa antara mengerti dan kemungkinan terdapat relasi yang tak terpisahkan. Heidegger menunjukkannya dengan jelas melalui ciri mendasar dari Mengerti itu sendiri., yakni apa yang disebut dengan proyeksi. Proyeksi berarti mengeluarkan, mengungkapkan, berdiri di luar (stand-out). Namun, itu tidak berarti kegiatan ini terlepas dari Dasein, justru kegiatan ini hanya mungkin dalam Dasein itu sendiri. Karena itu, Heidegger mengatakan Dasein sebagai berada-dalam juga memaksudkan Dasein sebagai berada-mungkin (Being-possible). Artinya, Dasein bisa ada dan bisa juga tidak ada tergantung dari perwujudan kemungkinannya. Dikatakan kemungkinan lantaran Dasein memiliki karakter kemampuan-menuju-Ada (potentiality-for-Being). Karakter ini dapat dipahami dengan melihat apa yang dimaksud Heidegger dengan ketakutan (fear) dan kegelisahan (anxiety). Kedua hal ini (gelisah dan takut) bukanlah pertama-tama menunjuk pada perasaan. Dua hal ini lebih menunjuk pada ‘sebagai’. Artinya, Dasein sebagai entitas yang terlempar menyadari dirinya terbatas. Terbatas pertama-tama karena Dasein mengetahui bahwa ada-nya dibatasi oleh kematian. Situasi ini adalah nasibnya. Dan Dasein tidak bisa tidak untuk menerimanya. Di sini, takut dan gelisah diangkat Heidegger pada taraf ontologis untuk menunjukkan Dasein adalah persoalan bagi dirinya. Dengan kata lain, Dasein harus mengolah dirinya lantaran ia adalah kemungkinan itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan proyeksi, untuk membantu memahami apa yang dimaksud dengan hal ini, pernyataan Kant dapat digunakan sebagai petunjuk di sini. Menurut Kant, proyeksi adalah menempatkan dirinya di hadapan dirinya sendiri untuk memahami hakekatnya. Tujuan penempatan ini adalah agar struktur-struktur tertentu dapat dilihat. Memang, kegiatan ini dapat dilakukan dalam dua ‘arah’. Pertama, terhadap dunia. Dan kedua, terhadap dirinya sendiri. Heidegger sendiri berkata bahwa sejauh Dasein adalah Dasein sebagai berada-di-sana, Dasein selalu memahami dirinya dalam kaitan dengan kemungkinan. Proyeksi selalu menandaskan keterlemparan (throwness), yakni terlempar ke hadapan kemungkinan sebagai kemungkinan. Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa Dasein adalah Dasein sebagai ‘yang-belum’ (the not-yet). Hanya karena Dasein sebagai berada-di-sana menerima bentukannya atau bangunannya melalui mengerti dan proyeksi, Dasein dapat pula diungkapkan dengan ‘Jadilah dirimu seperti apa adanya’ (Be yourself, Become what you are).

Lebih lanjut, Heidegger menyatakan karakter proyeksi ini hanya dapat dimungkinkan oleh apa yang disebut Heidegger dengan Sight (melihat, penglihatan). Untuk melihat dengan benar, sesuatu itu haruslah jelas. Ini sangat berarti bagi pemahaman ‘di-sana’-nya Dasein. Melihat pertama-tama tidak berkaitan dengan indera sensibilis atau pun kesadaran a priori dalam melihat sesuatu sebagai objek siap pakai (present-at-hand). Melihat justru berurusan dengan cara berada Dasein. Artinya, membiarkan realitas tampil apa adanya, mengungkapkan diri sebagaimana adanya. Membiarkan karena itu memaksudkan dilihat sebagai demikian. Pada poin ini, ketika Dasein melihat dirinya, itu berarti apa yang ada dalam dirinya menjadi tampak. Heidegger menyebutnya dengan istilah transparansi. Dalam transparansi, pengungkapan Dasein berarti cara untuk sampai atau menuju Ada. Pada ‘titik’ di mana Dasein sebagai demikian, Dasein adalah pribadi yang otentik meskipun dalam arti belum menjadi otentik sepenuhnya. Ini dikarenakan Ada-lah yang membuat Dasein itu mengerti. Ada itu seperti cahaya yang menyinari kegelapan Dasein. Namun, Ada itu sendiri sekaligus adalah tujuan Dasein. Karena itu, dalam proyeksi, Ada dapat dimengerti. Melalui Dasein, Ada diungkapkan. Pengungkapan Ada itu sendiri tidak pernah selesai karena Dasein adalah sebuah kemungkinan. Sebagai kemungkinan, Dasein selalu berarti berada-di-sana yang berarti pula berada-dalam. ‘Dalam’ tidak berarti tempat, misal dalam gelas, dalam kotak. ‘Dalam’ dari Dasein sebagai berada-dalam menunjukkan bermukim, hidup. Dengan kata lain, Dasein itu menduduki ruang, memukiminya, menghidupinya. Dasein tidak tergeletak begitu saja melainkan terlibat dan kerasan dengan dunianya.

Mengerti dan Interpretasi
Ketika berbicara mengenai transparansi, kita telah melihat bahwa transparansi inilah yang memungkinkan pengetahuan mengenai diri Dasein itu sendiri (self-understanding). Artinya, Mengerti mempunyai kemampuan untuk merujuk kembali kepada dirinya sendiri. Heidegger menyebut kemampuan ini sebagai interpretasi. Dalam interpretasi, pemahaman menjadi dirinya sendiri (become itself). Artinya, kemungkinan yang dipilih oleh Dasein menjadi aktual. Interpretasi membuka wawasan baru. Dan wawasan baru itu sekarang dimiliki oleh Dasein. Dalam arti religius, Dasein dilahirkan secara baru. Namun, ini tidak berarti bahwa Mengerti muncul dari interpretasi itu sendiri. Interpretasi bukanlah kegiatan memperoleh informasi dari apa yang telah dipahami. Interpretasi adalah penggarapan kemungkinan-kemungkinan yang diproyeksikan melalui dan dalam pemahaman (Verstehen). Interpretasi memiliki makna dinamis, yakni cara Dasein bersikap terhadap dunianya.

Maksud Heidegger adalah ketika menginterpretasikan sesuatu, kita melihat sesuatu ‘sebagai’ sesuatu. Misalnya, sebuah palu dilihat ‘sebagai’ sebuah palu dalam totalitasnya. Totalitas di sini memaksudkan ada sebagai demikian. Akan tetapi, ketika palu digunakan untuk membuat perahu, misalnya, palu itu dilihat ‘sebagai’ fungsi dalam konteks situasi pembuatan perahu tersebut. Palu karena itu memiliki karakter siap pakai (ready-to-hand). Ini terjadi karena palu tersebut keluar dari totalitasnya dan menunjukkan diri ‘sebagai’ kemungkinan. Tapi, pada saat yang bersamaan, palu itu tetap merujuk pada totalitasnya sebagai demikian. Artinya, palu bisa juga dipakai untuk memukul orang.

Menurut Heidegger, struktur ‘sebagai’ menunjukkan karakter kejelasan dari sesuatu itu (palu) dan karena itu sesuatu itu dapat dipahami. Struktur ini menjadikan interpretasi sebagai yang selalu hadir dalam perjumpaan Dasein dengan entitas-entitas yang siap pakai sebagai palu, pintu, kursi, meja, dan lain-lain. Dengan kata lain, Heidegger hendak mengatakan kita tidak akan pernah bisa merasakan peralatan yang siap pakai tanpa memahami dan menginterpretasikannya. Pada poin ini, struktur ‘sebagai’ tidaklah diberikan oleh kita (Dasein), melainkan sudah melekat dalam diri benda tersebut. Ketika melihat sesuatu ‘sebagai’ sesuatu, struktur ‘sebagai’ diungkapkan. Menurut Heidegger, interpretasi demikian dimungkinkan oleh apa yang kita miliki sebelumnya (fore-having). Artinya, sebagai kegiatan mengerti, interpretasi dilakukan dalam Ada yang telah dipahami melalui keterlibatan Dasein dalam dunia. Dasein selalu sudah memiliki sudut pandang tertentu terhadap apa yang dipahaminya untuk diinterpretasikan sebagai demikian. Selain itu, interpretasi ini menjadi mungkin berdasar pada sesuatu yang kita lihat sebelumnya (fore-sight).

Pada poin ini, sesungguhnya apa yang kita lihat sebelumnya mendahului poin pertama tadi (fore-having) sebab poin kedua (fore-sight) menentukan cara tertentu untuk menginterpretasi. Artinya, sesuatu itu (misal, palu) dapat dikonseptualisasikan sehingga dapat menentukan cara dan tujuan penggunaannya. Akan tetapi, cara dan tujuan penggunaan ini selalu sudah mengandaikan pula pemahaman yang dimiliki sebelumnya atas sesuatu itu. Ini disebut Heidegger dengan fore-grasp (fore-conception). Ketiga hal ini, fore-having, fore-sight, dan fore-conception merupakan dasar bagi interpretasi sesuatu ‘sebagai’ sesuatu. Dengan kata lain, suatu interpretasi tidak pernah tanpa pengandaian atas sesuatu yang hadir di hadapan kita (Dasein dan entitas lainnya). Interpretasi membawa kita seolah ‘berdiri di sana’.

Pemahaman ‘berdiri di sana’ hanya dapat dimengerti secara lebih baik dengan melihat kembali uraian mengenai keterkaitan Dasein dengan dunia. Sebagai berada-dalam-dunia, Dasein memiliki keterlibatan, perhatian (concern) terhadap dunia. Dasein terikat dengan dunianya. Masuk ke dalam dunia berarti masuk ke segala hal yang ada-dalam-dunia. Ketika entitas-entitas ini dipahami, maka mereka memiliki makna. Pengertian ‘makna’ di sini bukanlah dalam arti yang diberikan, melainkan Ada itu sendiri. Artinya, apa yang disebut dengan ‘makna’ sesungguhnya menegaskan inteligibilitas dari sesuatu yang menyatakan dirinya. Dengan kata lain, makna adalah proyeksi yang memungkinkan sesuatu itu dapat dimengerti sebagai sesuatu. Maka, makna juga merupakan cara pengungkapan Dasein yang memiliki pengertian. Makna adalah cara berada Dasein. Namun, Dasein hanya ‘memiliki’ makna sejauh pengungkapan Dasein sebagai berada-dalam-dunia ‘diisi’ dengan entitas-entitas yang dapat ditemukan dalam pengungkapan itu. Karena itu, Dasein bisa bermakna dan bisa juga tidak. Artinya, adanya Dasein dan entitas-entitas lainnya dapat disesuaikan dengan pengertian atau tidak. Pada poin ini, haruslah dikatakan bahwa Ada itu sendiri berada dalam inteligibilitas-nya Dasein.

Setiap interpretasi karena itu haruslah telah mengerti apa yang diinterpretasikannya. Berkaitan dengan interpretasi filologi (interpretasi teks) sebagai pengetahuan ilmiah, interpretasi demikian tidak akan mendapatkan hasil ilmiahnya sejauh orang yang yang menginterpretasi tidak melepaskan pemahamannya untuk membiarkan teks itu berbicara atau mengungkapkan dirinya. Jika orang yang menginterpretasi tetap menggunakan pemahaman yang diandaikannya untuk interpretasi, ia sesungguhnya masuk ke dalam lingkaran setan. Artinya, ketika pengetahuan ilmiah menuntut rigoritas pembuktian untuk dasar pengetahuan tersebut, pembuktian itu sendiri justru hanya berputar di pemahaman orang tersebut. Di sini ada pemaksaan kategori atas teks sehingga teks kehilangan maknanya. Teks, dengan kata lain, malahan tidak disentuh (dilihat) sama sekali. Menurut Heidegger, ini bisa dihindari dengan memahami bahwa lingkaran pengertian sesungguhnya adalah struktur utama Dasein itu sendiri. Dalam lingkaran tersembunyi kemungkinan paling primordial dari mengetahui. Interpretasi karena itu haruslah menggarap struktur-struktur ini dalam hubungannya dengan diri mereka sendiri (things in themselves). Dasein sebagai entitas berada-dalam-dunia, mengingat adanya sendiri adalah persoalan baginya, secara ontologis memiliki struktur sirkular ini. Dengan kata lain, Dasein sebagai kemungkinan harus terus-menerus menginterpretasi dirinya untuk menjadi semakin bermakna dalam kapasitas-menuju-Ada.

Mengerti dan Bahasa
Pengertian bahasa dewasa ini kerap dipahami sebagai alat komunikasi. Pemahaman bahwa bahasa itu ‘alat’ bahkan kerap direduksi pada tingkatan objek. Artinya, ada keterputusan makna dengan keberadaannya sebagai demikian. Ketika berbicara, kita selalu mengandaikan adanya sesuatu yang disampaikan, sesuatu itu dikatakan atau disampaikan supaya orang lain mengetahui, mengerti dan memahaminya. Namun, bagi Heidegger, ada yang lebih mendalam dari sekedar penyampaian demikian, yakni inteligibilitas (yang-dapat-dipahami) dari sesuatu yang dikatakan itu. Poin yang hendak ditegaskan Heidegger adalah dalam berbicara ada sesuatu yang dikatakan dalam pembicaraan secara demikian (something said-in-the-talk as such). Dalam berbicara, Dasein mengungkapkan dirinya bukan karena sesuatu yang ada dalam dirinya diperhadapkan pada sesuatu yang ada di luar, tetapi karena sebagai ada-dalam-dunia, Dasein telah berdiri ‘di luar’ ketika ia memahami. Apa yang diungkapkan adalah ada-di-luar yang bersangkut paut dengan penyingkapan ada-di-dalam. Tapi, bagaimana cara pengungkapan ini? Menurut Heidegger, salah satunya dengan mendengarkan (listening to).

Mendengarkan merupakan cara eksistensi Dasein untuk membuka diri. Mendengarkan merupakan cara otentik dan utama Dasein yang di dalamnya Dasein terbuka bagi berada-bersama-orang-lain. Dengan kata lain, Dasein terbuka untuk menuju-kepada-Ada. Dasein mendengarkan karena ia memahami. Memang dalam hidup sehari-hari, Dasein mendengarkan suara burung, motor, dll. Tapi, ini justru menunjukkan Dasein sebagai berada-dalam-dunia tinggal bersama dengan Orang Lain (Dasein lainnya) dan entitas-entitas yang siap pakai. Hanya Dasein yang mengerti dapat mendengarkan. Mendengarkan apa? Mendengarkan suara Ada, makna dirinya yang menuju-Ada. Karena itu, Heidegger mengatakan bahasa sesungguhnya adalah rumah Ada.

Penutup
Setelah melihat uraian Heidegger mengenai salah satu cara pengungkapan Dasein yang sekaligus menunjukkan struktur dasar Dasein yakni mengerti (Verstehen), kita dapat memahami mengapa Heidegger menyatakan esensi manusia (Dasein) terletak pada eksistensinya. Ketika manusia tidak lagi memperhatikan makna setiap hal yang dijumpainya dalam dunia ini, manusia seolah menjadi pusat alam semesta. Contoh, seorang pengusaha yang melihat hutan pertama-tama ia akan melihatnya dari sudut ekonomis, apakah hutan menghasilkan sesuatu yang menguntungkan atau tidak. Hutan dilihat dari fungsinya untuk diriku. Hutan menjadi ada karena akumengadakannya, memfungsikannya. Dalam arti ini, Heidegger hendak membalik cara berpikir Descartes, yakni bukan esensi menentukan eksistensi melainkan eksistensi mendahului dan menentukan esensi.

Relasi manusia dengan dunia karena itu bukan lagi relasi menguasai, memperbudak demi diri manusia sendiri. Dunia haruslah dihargai, dihormati. Tanpa dunia, manusia tidak mungkin bisa memahami dirinya sebagai manusia bahkan seperti cara berpikir pengusaha di atas tadi. Dalam arti ini, kita harus menjaga dunia ini sebab dalam dunia kita dapat menemukan jejak historisitas manusia yang mengelola dunia. Dunia merupakan manusia yang telah menjadi alam, kegiatan manusia terpatri pada alam sebagai demikian. Dunia yang kacau merupakan gambaran manusia yang belum bisa memahami makna keber-ada-annya secara khusus sebagai berada-dalam-dunia.

Di samping itu, Heidegger juga memperlihatkan makna mendalam atas martabat manusia. Manusia sebagai manusia tidak boleh diperlakukan semena-mena sebagai objek. Manusia (Dasein) merupakan kemungkinan di mana hidupnya itu sendiri adalah usaha pengejawantahan kemungkinan-kemungkinannya. Apa yang disebut dengan perkembangan diri, pembaharuan diri, atau pun kelahiran baru pada dasarnya menandaskan Dasein sebagai yang berada-menuju-Ada. Tapi, sebagai yang menuju-Ada, Dasein sekaligus dibentuk oleh pencapaiannya itu (aktusnya sebagai demikian). Karena itu, benarlah apa yang diyakini Heidegger bahwa kesadaran bukan semata kesadaran akan (menuju) sesuatu, melainkan kesadaran dalam dan sebagai sesuatu. 

Cavalier, Robert. The Nature of Verstehen dalam http://www.wikipedia.com diakses tanggal 3 April 2008.
Heidegger, Martin. Being and Time, diterjemahkan dari Sein Und Zeit oleh John Macquarrie dan Edward Robinson. New York: Harper & Row Publisher, Inc., 1962.
Palmer, Richard E. Hermeneutics. Evanston: Northwestern university Press, 1969.
Saidiman. Hermeneutika Ontologi Eksistensial Heidegger dalam http:// saidiman.wordpress.com diakses tanggal 3 April 2008.

Use Your Imagination and Reason