The Other is no longer ‘you’, but the third party designated in a noteworthy way
by the pronoun ‘everyone’, an impersonal but not anonymous pronoun.
We have come to the point where politics appears as
the setting par excellence for the achievement of human potentialities.”
(Paul Ricoeur, The Just).

Secara garis besar, perkembangan pemikiran Ricoeur dapat dibagi menjadi 2, yakni tahap antropologi pra-hermeneutik dan antropologi hermeneutik. Karyanya yang muncul dalam tahap pertama adalah Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary. Dalam karya ini, Ricoeur menyatakan bahwa kebebasan dan keterikatan merupakan dua dimensi yang saling melengkapi dalam eksistensi manusia. Kebebasan itu dinyatakan oleh akal budi manusia sedangkan keterikatan itu dinyatakan oleh tubuh manusia yang terikat oleh hukum-hukum alam. Karena dua dimensi itulah Ricoeur melihat manusia itu rapuh dan dapat berbuat kesalahan (kejahatan). Ulasannya lebih lanjut tentang kerapuhan dan kejahatan manusia dapat dilihat dalam karyanya berjudul Fallible Man dan TheSymbolism of Evil. Pada tahap antropologi hermeneutik, Ricoeur membahas keterkaitan eksistensi manusia pada peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam dunia. Pembahasan ini merupakan tanggapan Ricoeur sendiri atas penjelasan mengenai kehendak manusia yang dirasanya tidak cukup. Mengapa? Karena dua tema besar yang dikerjakan Ricoeur sebelumnya, yakni bahasa dan perbuatan, tidak dapat terlepas dari pemahaman mengenai waktu. Poin-poin inilah yang kemudian digarap oleh Ricoeur dengan implikasi-implikasi pemikirannya pada tataran narasi manusia, identitas, etika dan politik. Bukunya yang terkenal adalah Time and Narrative yang terdiri dari 3 volume.

Maksud Aspek Politik Paul Ricoeur
Pembahasan aspek politik di sini lebih memaksudkan bagaimana seharusnya manusia itu hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Salah satu terminologi pokok dari pemikiran Ricoeur adalah Self-Esteem (penghargaan diri, rasa harga diri). Bagi Ricoeur, self-esteem merupakan tujuan etis dari hidup manusia. Namun, tujuan ini tidak dapat dilepaskan dari relasi dengan orang lain. Mengapa? Karena pemahaman Ricoeur akan struktur teleologis perbuatan manusia yang dilihat dari perpekstif atau kerangka naratif. Berkaitan dengan aspek politis yang demikian, maka pembahasan dalam makalah ini lebih berpusat pada buku Ricoeur berjudul The Just, namun tidak mengabaikan tulisan-tulisan lain mengenai pemikiran Ricoeur sendiri.

Persoalan Yang Terabaikan
Selama ini pembahasan etika-politik kerap berurusan dengan persoalan seperti hukum, hak, keutamaan, kewajiban, keadilan yang ditujukan demi kehidupan bersama (masyarakat atau negara). Di mata Ricoeur, ada satu wilayah yang selama ini kerap diabaikan ketika berbicara mengenai hukum, kewajiban dan sebagainya itu, yakni persoalan yuridis. Persoalan yuridis di sini pertama-tama berkaitan dengan apa yang sesungguhnya terjadi dalam ruang pengadilan. Peristiwa dalam ruang pengadilan mengajak kita untuk berpikir kembali tentang siapakah manusia, apakah hukum itu sendiri, bagaimana aplikasinya, bagaimana legitamasi hukum itu mengikat setiap orang dan pada akhirnya berpuncak pada persoalan apakah yang disebut dengan keadilan. Bagaimana Ricoeur bisa sampai pada pemikiran demikian?

Peristiwa dalam ruang pengadilan adalah peristiwa di mana keputusan yang akhirnya akan diambil dapat mengurangi atau mengakhiri ketidakpastian atau konflik (yang disebut Ricoeur sebagai tujuan jangka pendek) dan memberikan perdamaian sosial (yang disebut Ricoeur sebagai tujuan jangka panjang). Dengan mengakhiri ketidakpastian atau konflik antara dua pihak yang bertikai memang diharapkan tidak memunculkan keinginan untuk balas dendam karena merasa keputusan yang diambil tidak adil bagi satu pihak. Muncul pertanyaan di sini, mengapa ada keinginan untuk balas dendam? Ternyata bagi Ricoeur keputusan itu masih merupakan kriteria positif keadilan. Kriteria positif keadilan berarti keadilan yang diletakkan pada hukum tertulis. Karena itu, menurut Ricoeur, dalam hal ini perlu adanya sebuah jarak keadilan (just distance). Jarak keadilan ini dipegang oleh peran hakim itu sendiri. Hakim di sini lantas dilihat oleh Ricoeur sebagai pihak ketiga. Mengapa Ricoeur mengatakan ‘pihak ketiga’? Pada poin inilah kita bisa merambah masuk dalam pemikiran Ricoeur mengenai manusia dan relasinya satu sama lain.

Gagasan Levinas tentang relasi ‘Aku-Engkau’ ternyata belum memadai untuk mejelaskan poin keadilan. Mengapa? Pertama-tama, Ricoeur membedakan dua pengertian antara the other person dan the other. Pengertian pertama jusru hanya memuat gagasan tentang persahabatan: sebuah relasi kedekatan yang diberikan melalui wajah dan suara. Pengertian ini menegaskan bahwa the other (orang lain) untuk persahabatan adalah ‘Engkau’. Sedangkan, pengertian kedua memuat gagasan keadilan. Dengan kata lain, Ricoeur melihat the other sebagai semua orang.

The other sebagai semua orang dimaksudkan Ricoeur untuk menegaskan perlu adanya jarak keadilan yang dapat memunculkan keutamaan keadilan. Karena itu, semua orang yang dimaksud Ricoeur di sini adalah institusi. Jadi, the other untuk keadilan adalah semua orang atau yang dilihat Ricoeur sebagai institusi. Hal ini bagi Ricoeur sesuai dengan adagium keadilan itu sendiri, yakni memberikan apa yang menjadi hak orang lain (Latin: Suum Cuique Tribuere). Darimana kita mengetahui bahwa kita berlaku adil (memberikan apa yang menjadi haknya)? Dari pembagian yang adil, antara lain peranan, tugas, keuntungan, kewajiban, serta semua hal materiil dan lainnya dalam masyarakat. Tapi, untuk apa tiap manusia melakukan demikian? Atau dengan kata lain apa makna perbuatan mereka?

Pada poin ini, Ricoeur rupanya mulai memasuki sebuah tatanan deontologis dari karakter teleologis perbuatan manusia, yakni pertanyaan tentang relasi kebaikan, keadilan serta legitimasi universal. Menurut Ricoeur, perbuatan manusia pada dasarnya berkarakter teleologis, yakni memiliki tujuan. Apa tujuannya? Kehidupan yang baik. Di sini, kehidupan itu sendiri menjadi kerangka untuk memahami tindakan manusia. Tindakan manusia muncul karena kehendak (the effort/desire to exist to exist is to act). Kata ‘kehendak’ bagi Ricoeur sekaligus menjelaskan kebutuhan (Ricoeur menyebutnya kekurangan, ‘lack’) untuk mencapai kepenuhan hidup. Pada poin-poin inilah Ricoeur kemudian meletakkan pengertian etikanya. Arti kepenuhan hidup di sini berarti manusia dapat hidup satu sama lain dalam institusi yang adil. Dan keadilan karena itu merupakan bagian integral dari kehendak untuk hidup dengan baik. Tapi, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa cara yang dipakai manusia untuk mengarahkan hidupnya. Bagi Ricoeur, pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang lebih tepat daripada pertanyaan, apa yang harus saya lakukan dalam konteks etika. Mengapa? Dalam analisisnya terhadap karya Aristoteles, Nicomachean Ethics, Ricoeur melihat bahwa persoalan keadilan justru tercapai dalam polis (Ricoeur, ‘in the setting of the city’). Dengan demikian, tampak bahwa tata politik di sini mempersiapkan sebuah rancang bangun bagi etika. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Hannah Arendt bahwa hanya sebagai warga negara, seseorang dapat hidup sebagai manusia. Itulah sebabnya Ricoeur pertama-tama mendasarkan penyelidikan mengenai manusia terlebih dahulu.

Di atas telah dijelaskan bahwa kehendak ini (bersama poin kebutuhan dan kehidupan) belum dapat dijadikan legitimasi untuk hidup bersama dengan baik. Kehendak untuk hidup dengan baik karena itu diangkat ke tataran kewajiban yang merupakan tataran imperatif. Menurut Ricoeur di sinilah kita sampai pada tataran deontologis, yakni apa yang mewajibkan adalah klaim legitimasi universal yang melekat pada gagasan hukum. Maka, keputusan yang diambil dalam persidangan sesungguhnya lebih dari sekedar penyelesaian perkara. Lebih dari sekedar penyelesaian perkara, Ricoeur melihat hukum sebagai pengejawantahan keyakinan manusia akan keadilan dan ini diikuti oleh kehadiran pihak ketiga yang terwujud dalam diri hakim (tindakan memutuskannya, the act of judging) sehingga harapan perdamaian masyarakat sebagai tujuan jangka panjang dapat tercapai. Hukuman atau sanksi yang diterima tidak dilihat sebagai hukuman atau ganjaran atas perbuatan yang dilakukan. Hukuman dalam pengertian ini lebih bernuansa negatif. Oleh sebab itu, Ricoeur memahami hukuman sebagai sebuah tindakan pengakuan, penghargaan. Dengan demikian, mengapa Ricoeur menganggap persoalan yuridis sebagai persoalan yang terlupakan menemui jawabannya ketika ia berkata:

The search for justice ends with a heartfelt conviction, set in motion by the wish to live in just institutions, and ratified by the rule of justice for which procedural formalism serves to guarantee impartiality.”

Namun, untuk masuk ke dalam pembahasan apa makna self-esteem itu, saya membatasi diri pada dua problematika besar, yakni persoalan self yang berusaha menelusuri akar identitas moral manusia individu dan persoalan predicates yang mendahului persyaratan moral bagi tindakan manusia.

Manusia Sebagai Agen.
Persoalan yuridis mengenai tindakan dan diskursus manusia menghantar Ricoeur untuk menganalisi lebih dalam lagi persoalan sifat atau ciri apa yang menjadikan diri manusia patut dihargai dan dihormati. Menurut Ricoeur, manusia pada dasarnya adalah manusia yang mampu. Mampu untuk apa? Untuk bertindak dan berbicara. Intinya, manusia adalah tuan atas perbuatannya dan atas apa yang dikatakannya. Manusia mempunyai kapasitas atau kemampuan (capacity). Terhadap kemampuan ini, Ricoeur kemudian melihat manusia sebagai agen. Dan dari sinilah, pembicaraan mengenai hak dan kewajiban dimungkinkan.

Bersama dengan pembahasan mengenai manusia sebagai pelaku (tuan, agen), Ricoeur berbicara juga mengenai persoalan dimensi temporal tindakan dan bahasa. Rupanya, pembahasan dimensi temporal tindakan dan bahasa ini tidak terlepas dari ketidakmampuan kehendak manusia untuk sampai pada tataran imperatif. Sebelumnya, Ricoeur memahami kehendak manusia sebagai proyek atau maksud internal yang sudah lengkap dari sendirinya. Padahal di pihak lain, kehendak sebagai kehendak tidak dapat begitu saja dijadikan maksim universal bagi pencapaian keadilan. Realitas kehendak manusia agar mencapai tataran imperatif (maksim perbuatannya) pada dasarnya selalu berkaitan dengan konteks. Inilah yang memungkinkan adanya sebuah identitas naratif. Maka, hak, kewajiban dan identitas naratif menjadi bahan pertama dari usaha filosofis Ricoeur.

Kapan manusia menyadari hak-haknya? Menurut Ricoeur, manusia mulai menyadari hak-haknya ketika terdapat sebuah kondisi atau syarat bagi aktualisasi kemampuannya. Kemampuan yang mana? Kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Hak di sini dimengerti Ricoeur dalam konteks kehidupan yang baik. Dengan lain kata, hak manusia menegaskan keinginan dasar manusia untuk hidup dengan baik. Dan untuk hidup dengan baik itu memerlukan sebuah keadaan, kondisi syarat. Lalu kondisi macam apa yang dimaksud Ricoeur di sini. Ada dua pembahasan yang diangkat Ricoeur, yakni bahasa dan tindakan.

Dari sudut bahasa, analisa Ricoeur atas gagasan Levinas mengenai relasi Aku-Engkau menunjukkan bahwa relasi ini masih kekurangan poin yang dibutuhkan sebagai transisi dari subjek yang mampu kepada subjek yang memiliki hak-hak konkret (sebagai warga negara). Poin yang dimaksud Ricoeur di atas adalah perlu adanya pihak ketiga (third party). Apa tepatnya pihak ketiga itu? Menurut Ricoeur, pihak ketiga ini berperan sebagai latar belakang dari relasi Aku-Engkau. Relasi Aku-Engkau diberi kerangka oleh pihak ketiga ini. Dengan kata lain, relasi bingkai tiga ini (triadic constitution) menjelaskan transisi kemampuan manusia kepada aktualisasinya. Pemahaman yang jelas diberikan oleh Ricoeur sendiri dalam pengertian diskursus. Diskursus dirumuskan Ricoeur sebagai peristiwa ketika si A berkata sesuatu kepada si B mengenai sesuatu. Hal ini mau mengatakan perlu adanya rujukan, latar belakang yang memungkinkan adanya hak dan kewajiban satu terhadap yang lain. Rujukan ini disebut Ricoeur sebagai institution of language.

Dalam pembahasan mengenai tindakan, Ricoeur tetap mengakui perlunya juga relasi bingkai tiga ini. Karakter teleologis tindakan manusia mau mengatakan dengan jelas ke arah mana perbuatan itu dikehendaki. Dalam kerangka ini, tindakan manusia berada dalam tataran kehendak untuk hidup dengan baik. Contoh mengenai janji dapat menjelaskan hal ini. Sekelompok orang yang berjanji tidak dapat bersandar pada kata-kata semata, mereka juga harus melaksanakan janji tersebut untuk kebaikan bersama. Namun, adanya fakta bahwa tindakan manusia itu bisa salah dan dapat memunculkan kekerasan atau konflik, Ricoeur lantas memprioritaskan keadilan dari kebaikan itu sendiri (tujuan individu untuk hidup dengan baik). Bagaimana Ricoeur memikirkannya? Ia menganalisanya dari bentuk negara yang berdasar pada perjanjian, negara kontrak sosial.
Dalam bidang politik, hal ini dapat dilihat dari kesepakatan atau perjanjian yang dibuat oleh tiap-tiap individu. Teori kontrak sosial memikat perhatian Ricoeur. Perjanjian yang diadakan oleh sekelompok orang memberi struktur yuridis pada apa yang dikatakan seseorang dan sekaligus juga mengatakan relasi saling percaya.

Di sini, Ricoeur berbicara tentang sebuah tatanan pengakuan. Sebuah tatanan yang meliputi setiap orang yang hidup di bawah hukum yang sama. Karena itu, orang lain (the other) bukan lagi ‘Engkau’, melainkan pihak ketiga yang ditunjuk dengan terminologi ‘semua orang’, sebuah kata ganti impersonal, namu bukan anonim (sesuatu yang tanpa nama, tidak dikenal). Dengan demikian, Ricoeur sampai pada politik yang tampak sebagai latar belakang bagi pencapaian/perwujudan potensialitas manusia. Bangunan politik ini memberikan akses bagi kehendak tiap manusia untuk hidup bersama dengan baik. Dan bangunan ini ‘projects the horizon of public peace understood as the tranquility of order. Dan nilai etis yang muncul dari bangunan ini adalah keadilan. Keadilan dengan demikian merupakan keutamaan pertama dari institusi sosial. Keadilan tidak dimengerti berhadapan dengan Engkau (The You) melainkan berhadapan dengan semua orang sebagai pihak ketiga. Dari sini, Ricoeur berpendapat bahwa negara yang ideal berasal dari kontrak sosial. Individu sudah mempunyai hak-hak komplit sebelum masuk dalam relasi perjanjian ini. Tapi, Ricoeur tidak merujuk kontrak sosial ini pada pemikiran Hobbes ataupun Rousseau dan Kant. Menurutnya, kontrak sosial mereka masih terbuka pada konflik dan ketidakamanan karena masih memberi prioritas pada aspek teleologis semata. Itulah sebabnya mengapa Ricoeur mengangkat dimensi temporal ini (dikursus dan tindakan) ke tataran deontologis. Imperatif keadilan menjadi dasar moral hidup bersama. Harus diakui di sini, keadilan adalah kebaikan itu sendiri yang tertuang dalam hukum.
Tapi, bagaimana penerapan Imperatif keadilan ini dalam kehidupan konkret sehari-hari. Pertanyaan ini muncul karena situasi khusus kerap menimbulkan dilema antara suara hati dan hukum.

Suara Hati dan Hukum
Dilema antara suara hati dan hukum membuat Ricoeur sulit menelusurinya dari sudut moral. Baik-buruknya hukum dalam pengertian kewajiban moral sulit dikaitkan dengan suara hati. Menurut Ricoeur, untuk memudahkan kaitannya, kita hanya perlu berpikir baik-buruk dalam terhormat-memalukan, pantas-tidak pantas, dan seterusnya. Secara moral, hidup manusia tidaklah netral. Mengapa? Karena manusia selalu terus mengevaluasi perbuatan dan tindakan dalam hidupnya. Di sini, evaluasi menjadi kata kunci yang memberi arah pada makna normatif yang terdapat pada hukum. Apa makna normatif itu? Ricoeur melihatnya sebagai keutamaan sebagaimana yang dimaksudkan pemikir-pemikir Yunani klasik, Abad Pertengahan dan beberapa pemikir modern. Lalu, bagaimana dengan suara hati? Ricoeur mengajukan sebuah terminologi orienting oneself. Ricoeur rupanya berusaha menggabungkan identitas diri (the self) dan kebaikan (the good). Arti terminologi tersebut adalah bagaimana seseorang menetapkan pendiriannya. Menurut Ricoeur, penetapan pendirian ini tidak lain daripada suara hati itu sendiri.

Pada tahap kedua analisanya, Ricoeur membahas keterkaitan antara etika dan yuridiksi yang perlu bagi peranan hati nurani. Ia memulainya dari poin legalitas yang dirunut kembali kepada moralitas dan dari situ mendapat rujukannya pada hati nurani. Ada tiga ciri menonjol dalam legalitas. Pertama, larangan yang tampak sebagai sisi negatif hukum. Ricoeur di sini menyebut 10 Perintah Allah yang jelas bernada negatif, seperti jangan membunuh, jangan mencuri. Ricoeur sendiri melihat nada negatif ini sebagai berdimensi represif. Tapi, mengapa ciri ini dibahas Ricoeur jika mempunyai dimensi represif?

Tampaknya ini dikarenakan larangan justru mengartikulasikan seseorang sebagai individu dalam kaitannya dengan relasi bingkai tiga. Kedua, klaim universalitas yang dilihat sebagai prinsip validitas. Misal, larangan membunuh akan kehilangan sifat normatifnya jika perintah tersebut tidak diterapkan ke semua orang, di semua kondisi, tanpa kecuali. Tapi, bagaimana dengan kekecualian dalam keadaan-keadaan khusus? Jika ada pengecualian, itu justru berarti adanya penghormatan terhadap universalitas aturan. Dengan kata lain, harus terdapat aturan yang membenarkan pengecualian itu, yang memiliki bobot legitimasi yang sama dengan aturan dasar (universalitas hukum). Ketiga, pluralitas manusia dalam kaitannya dengan norma atau aturan. Apa yang secara universal menjadi perintah dan larangan, dalam keadaan tertentu justru memperlihatkan kerapuhannya. Relasi diri (the self) dan orang lain (the other) merupakan relasi protagonis kewajiban. Karena itu, bersama dengan Kant, Ricoeur memisahkan apa yang menjadi milikmu dan apa yang menjadi milikku dengan tujuan membatasi kebebasan manusia individual. Gagasan jarak keadilan (just distance) ditemukan lagi di sini.

Berkaitan dengan ciri pertama di atas, relasi antara moralitas dan legalitas terletak pada proses internalisasi aturan/hukum. Dengan ciri yang kedua, moralitas dalam kaitannya dengan universalitas tampak dalam otonomi personal sebagai kebebasan kehendak. Dari sini, tidak sulit untuk memahami proses dari legalitas ke suara hati, yaitu dalam saling menghargai (mutual respect). Pada tataran ini, suara hati tidak lain daripada ketaatan hukum sebagai hukum dan bukan karena kesesuaian dengan pernyataan yang tertuang dalam aturan (positivisme hokum). Kata kunci di sini, menurut Ricoeur, adalah menghormati (respect). Tapi, suara hati sebagai demikian ternyata dalam dirinya mengandung larangan juga. Dengan kata lain, suara hati pertama-tama adalah suara yang melarang dan memerintah. Ini sama saja dengan mengatakan suara hati sebagai moralitas murni. Lalu, bagaimana Ricoeur memecahkan persoalan ini?

Dalam analisanya yang ketiga, Ricoeur mengajukan sebuah pendekatan kebijaksaan praktis (prudentia). Dengan kebijaksaan praktis ini, Ricoeur memaksudkan keyakinan pendirian yang melibatkan lebih dari satu orang. Keyakinan ini melihat kebaikan sebagai keadilan. Pada poin inilah, suara hati itu bergandengan erat dengan hukum. Dengan kata lain, perpaduan teleologis-deontologis mendapatkan ketentuan akhirnya dalam putusan-putusan praktis berkaitan dengan situasi-situasi khusus.

Penutup
Ricoeur berpendapat bahwa hidup manusia mempunyai tujuan etis dan tujuan itu adalah penghargaan diri (self-esteem). Apa yang dimaksud dengan penghargaan diri (self-respect) ini? Penghargaan diri memaksudkan bahwa perenungan manusia akan dirinya berkaitan langsung dengan evaluasi etis atas tindakan-tindakan manusia sebagai agen. Namun, sekaligus evaluasi ini meminta juga kaitan dengan pribadi lain. Mengapa? Karena tindakan manusia memiliki sturktur teleologis. Struktur teleologis ini hendak mengatakan keterarahan tindakan manusia pada kebaikan. Tapi, yang dimaksud Ricoeur dengan kebaikan di sini adalah koherensinya dengan keadilan.

Relasi seseorang dengan pribadi lain dalam tujuan untuk hidup dengan baik dalam kebersamaan (kebaikan, dimensi teleologis) mendapat arahnya dari keadilan (sebagai Imperatif, deontologis). Relasi struktur ini mendapatkan ketentuan akhirnya dalam kebijaksaan praktis sebagai wujud suara hati manusia. Suara hati demikian terjadi dalam keadaan-keadaan khusus dan inilah yang justru memungkinkan sebuah narasi (cerita) hidup seseorang. Situasi hidup bersama pribadi lain memunculkan dimensi normatif yakni menghargai orang lain dalam keadilan sehingga penghargaan diri tiap pribadi tetap terjaga. Ada hubungan timbal balik di sini dan sekaligus dari sini pulalah kewajiban etis itu timbul. Ricoeur menyebut fenomena ini sebagai solicitude (Perhatian, kekhawatiran, kecemasan).

Ricoeur, Paul. The Just. Chicago: University of Chicago Press, 2000.
Atkins, Kim. Paul Ricoeur (1913-2005) dalam http://www.iep.utm.edu/r/ricoeur.html diakses tanggal 26 Januari 2009.

Use Your Imagination and Reason