Refleksi filosofis tentang tubuh harus diakui dimulai oleh Plato meskipun tubuh dalam pemikiran Plato dipandang lebih rendah daripada jiwa. Sebagaimana secara implisit telah kita lihat di atas, refleksi Platonis atas tubuh membawa dampak luar biasa atas bagaimana akhirnya tubuh itu dipikirkan. Tubuh itu buruk, jahat sementara jiwa itu luhur, suci, mulia. Karena itu, jiwa harus dibebaskan dari tubuh. Tubuh dalam pengertian Platonis adalah penjara bagi jiwa. Pemahaman Platonis demikian memisahkan secara radikal tubuh dan jiwa. Dualisme tubuh-jiwa dalam arti adanya dua hal yang sangat berbeda secara esensial ditancapkan Plato dalam pemikirannya.

Dari perpektif religius, pandangan Platonis ini sangat berdampak besar terhadap praktek keagamaan. Misal, praktek puasa. Puasa dalam agama mana pun berarti reaksi negatif terhadap tubuh. Pengekangan atas keinginan-keinginan tubuh sebisa mungkin membawa atau semakin membuat jiwa kita dapat bersatu dengan Yang Ilahi. Selain pengaruh pemikiran filosofis demikian, ajaran atau doktrin agama pun sering mengandung nada yang sama dan memperteguhnya.

Setelah Plato, refleksi atas tubuh memang tidak begitu tampak. Hanya jejak-jejaknya saja yang dapat kita lihat di mana sebagian besar terungkap dalam pemikiran mengenai hukum kodrat. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa usaha merumuskan hukum kodrat berarti mencari dan mengharmonisasikan kodrat manusia dan kodrat alam termasuk di dalamnya adalah tubuh manusia itu sendiri. Misal, kaum Stoa berpendapat bahwa kebahagiaan manusia hanya tercapai jika manusia hidup selaras dengan alam (dan pemahaman ini cukup mempengaruhi pandangan terhadap persoalan perkawinan hingga saat ini).

Lain lagi yang namanya Rene Descartes. Ia justru mengajukan pendapat yang lebih radikal. Pemikirannya justru menciptakan fondasi yang benar-benar mutlak bagi refleksi tentang tubuh-jiwa. Jika pada Plato, tubuh bersifat fana dan hanya jiwa yang bersifat abadi, maka pada Descartes (Cartesian) tubuh adalah entitas yang berdiri sendiri. Kok bisa Descartes sampai pada pemikiran demikian?

Descartes adalah seorang matematikus yang cukup terkenal waktu itu. Sebagai seorang matematikus, ia sangat gelisah dengan banyaknya ketidakpastian pendapat yang ada di antara para filsuf saat itu. Karena itu, ia berupaya mencari suatu sistem yang benar-benar pasti dan tanpa cacat. Untuk tujuan ini, menurut Descartes, kita pertama-tama harus menyangsikan atau meragukan segala sesuatu. Apa saja yang disangsikan? Semuanya, Allah, tubuh kita, orang lain. Pokoknya semuanya. Nah, tibalah saat di mana Descartes tidak dapat menyangsikan lagi. Kapan? Ketika ia berpikir. Saya berpikir adalah sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan. Bahkan ketika saya menolak bahwa saya berpikir justru menunjukkan bahwa saya berpikir. Bagi Descartes, inilah pondasi utama bagi seluruh filsafatnya. Karena itu, Descartes berkata “Saya berpikir, maka saya ada” (Cogito Ergo Sum). Apa dampak pemikiran Descartes ini?

Dampaknya adalah seluruh realitas karena itu dipondasikan pada pemikiran saya. Saya berpikir bahwa pohon itu ada, maka pohon itu memang ada. Logika Cartesian ini tidak dapat dibalik, yakni pohon itu ada terlebih dahulu, kemudian saya berpikir kalau pohon itu ada. Pusat realitas karena itu diletakkan Descartes pada kesadaran. Itulah sebabnya, filsafat Cartesian kerap disebut filsafat kesadaran (filsafat subjektivitas). Metode keraguan Descartes karena itu menemukan subjektivitas sebagai pikiran atau kesadaran. Dari titik berangkat ini, Descartes lantas dapat melanjutkan argumentasinya yang disebut ide bawaan. Apa itu ide bawaan?

Ide bawaan adalah gagasan yang dibawa sejak manusia lahir. Ide-ide bawaan itu adalah pertama, adanya pikiran (sebagaimana sudah dipaparkan di atas). Kedua, ide keluasaan (ekstensi) yang berarti bahwa Saya (I, Ich, Ego) bukan hanya pikiran tapi juga sesuatu yang bisa disentuh dan diraba. Oleh sebab itu, pemikiran mengenai materi (tubuh) merupakan gagasan yang Saya bawa sejak lahir meskipun tidak sempurna. Dan ketiga, adanya Allah. Lho, mengapa kok ada ide Allah? Ini dimaksudkan oleh Descartes untuk menunjukkan bahwa Saya (I, Ich, Ego) memiliki ide kesempurnaan. Karena tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa dicari sandingannya untuk membandingkan apa yang lebih sempurna, maka Allah adalah Kesempurnaan Tertinggi. Ide-ide bawaan ini sekaligus dibuktikan oleh Descartes sebagai substansi, yakni apa yang bisa berdiri sendiri tanpa bantuan sesuatu yang lain. Karena itu, pikiran, materi (tubuh) dan Allah adalah substansi. Ketiga hal ini sangat berkaitan untuk menunjukkan kepastian kebenaran yang tak terbantahkan.

Setelah melihat gagasan ringkas Descartes di atas, lalu bagaimana dengan poin yang hendak kita bahas, yakni tubuh? Pemikiran Descartes ternyata dengan tajam dan ekstrem memisahkan tubuh dan jiwa. akibat pemikirannya tentang dua substansi ini, Descartes kesulitan menjelaskan pengaruh timbal-balik antara tubuh dan jiwa. Misalnya, jika ditanya apa fungsi panca indera bagi pengetahuan? Descartes mungkin sulit menjawabnya. Pendirian Descartes kemudian diikuti oleh Spinoza walaupun tidak semuanya.

Spinoza sadar bahwa Descartes menemui jalan buntu ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan epistemologis semacam ini. Karena itu, Spinoza hendak mendasarkan seluruh realitas ini pada satu pondasi saja. Spinoza benar-benar konsekuen dengan apa yang dipikirkannya. Sehingga, saking konsekuennya, ia menyatakan bahwa Allah atau Substansi atau Alam adalah sama. Inilah pernyataan paling berani yang pernah dilontarkan selama seluruh filasafat barat. Jalan pikirannya yang demikian akhirnya membuatnya dituduh seorang ateis (baru sekitar satu abad kemudian pemikirannya mendapat tanggapan yang positif). Kok dituduh ateis?

Sistem pemikiran Spinoza apalagi yang berkaitan dengan manusia rupanya memandang tubuh sebagai cara berada Allah (modification of God). Apa dampaknya? Dampaknya adalah bahwa yang namanya kehendak bebas tidak ada karena seluruh perbuatan manusia merupakan cara berada Allah. Dan bukan hanya itu, karena kehendak bebas tidak ada, maka apa yang disebut kejahatan, keburukan, kriminalitas lantas juga tidak masuk kerangka pemikiran ini. Logika ini dapat ditarik lagi, yakni paham tentang Surga dan Neraka karena itu tidak diperlukan. Seluruh pemikiran Spinoza ini mau mengatakan sebuah paham determinisme monistik, yakni sebuah paham yang mendasarkan diri pada satu substansi (atau Allah atau Alam) di mana semuanya dapat dijelaskan melalui dan dalam substansi demikian.

Spinoza merupakan seorang filsuf peletak dasar bagi pemikiran idealisme di kemudian hari. Adalah Hegel yang kemudian mengembangkannya secara rigorus sehingga ia lantas berkata, “Apa yang real itu rasional dan apa yang rasional itu real”. Kalimat yang hanya terdiri dari beberapa kata ini ternyata berdampak amat besar. Seluruh filsafat atau pemikiran setelah Hegel mau tidak mau merupakan penjelasan terhadap pemikiran Hegel itu sendiri. Lantaran Hegel meletakkan pondasi pemikirannya pada apa yang disebut Roh (Geist) maka seluruh hal dapat dijelaskan dari dinamika (dialektika, red) perkembangan Roh ini sendiri. Dari sudut pandang Hegel ini, bagaimana memahami refleksinya mengenai tubuh?

Pemikiran Hegel tentang tubuh dekat dengan pemikiran Plato walaupun ada perbedaan tajam antara keduanya. Bagi Hegel, pemahaman dan perkembangan tubuh pertama-tama harus dilihat dari proses kegiatan Roh (Geist) itu sendiri. Proses ini adalah proses kesadaran atau Roh yang hendak keluar dari genggaman alam materi. Lantaran manusia adalah bagian dari alam materi, maka tubuh dalam pengertian Hegelian harus dilihat sebagai ‘pembantu’ (ancilla) yang membukakan jalan bagi kegiatan Roh.

Mereka yang tidak puas ini pada umumnya berpendapat bahwa materi (tubuh) telah kehilangan maknanya. Kritik paling tajam dilontarkan pada gagasan mengenai dunia itu sendiri. Mengapa? Karena manusia seolah-olah dengan berdiri menjauh dari dunia dapat menghasilkan pemahaman dan pengetahuan yang mumpuni atas realitas itu sendiri. Hegel, misalnya, dapat kita pahami sebagai demikian karena pengetahuan lahir melalui Roh yang bergulat dengan Dirinya sendiri. Memang, kita harus mengakui bahwa Hegel berhasil mensintesakan persatuan antara filsafat dan teologi. Tapi, keberhasilan ini rupanya harus dibayar mahal lantaran perbuatan manusiawi seperti praksis cinta kehilangan artinya. Dan bukan hanya itu, tubuh sebagai ungkapan cinta pun tidak tampak lagi maknanya.

Refleksi mengenai tubuh sampai sebelum Heidegger adalah sebuah refleksi yang meletakkan tubuh di bawah rasio.

Gabriel Marcel : I am My Body”

Gabriel Marcel dilahirkan pada tanggal 7 Desember 1889 dan meninggal pada 8 Oktober 1973. Selama hidupnya, karya-karyanya menampakkan suatu usaha untuk mematahkan dominasi teknologi atas hidup manusia. Marcel menyadari bahwa teknologi bukanlah satu-satunya jawaban atas pergulatan hidup manusia. Pertanyaan-pertanyaan seperti apa makna hidup manusia, ke mana arah hidup ini, apa itu kematian hanya bisa dijawab oleh manusia yang bergulat dengan pengalamannya. Bersamaan dengan keyakinannya ini, Marcel tampaknya lebih menyukai penggunaan bahasa sehari-hari daripada istilah-istilah teknis. Menurutnya, bahasa sehari-hari itu lebih hidup dan lebih memiliki kekuatan untuk menggambarkan pengalaman hidup manusia.

Refleksi Gabriel Marcel atas tubuh pada dasarnya merupakan reaksi atas dominasi teknologi yang menjadikan tubuh hanya sebagai masalah. Apa artinya? Artinya adalah bahwa bagi Marcel hal ini menjadikan persoalan tubuh seolah-olah dapat dipecahkan secara teknis seperti sebuah alat yang dapat diperbaiki jika rusak. Tubuh bukanlah semata sebuah masalah. Tubuh juga mengandung misteri di mana hanya refleksi yang mendalam dapat mengungkapkan apa artinya tubuh. Dan ini dilakukan dengan merefleksikan apa arti pengalaman dalam hidup manusia. Kata Marcel,

“Jika refleksi pertama berusaha memisahkan aspek-aspek pengalaman, maka refleksi yang kedua berusaha menyatukannya kembali”.

Menurut Marcel, sebuah pengalaman di mana seseorang terlibat di dalamnya tidaklah dapat diamati dari satu aspek saja melainkan melalui kesatuan aspek dari pengalaman tersebut seseorang dapat memiliki pandangan mengenai identitas dirinya. Dan untuk tujuan ini, Marcel mengarahkan perhatiannya pada refleksi mengenai tubuh. Mengapa tubuh? Karena tubuh mengandung ambiguitas di dalamnya, yakni masalah dan misteri.

Pemikiran filosofis bertumpu pada kegiatan refleksinya. Kegiatan refleksi memiliki akarnya dalam kehidupan sehari-hari. Misal, aku hendak mengambil jam di sakuku. Ternyata jam itu tidak ada. Aku kemudian sadar dan kemudian melakukan refleksi atas apa yang telah kulakukan. Apa yang paling penting dari peristiwa ini? Menurut Marcel, ini berarti aku melakukan refleksi pada sesuatu yang bernilai, yang nyata. Selain itu, yang melakukan refleksi ini adalah aku. Tidak seorang pun dapat menggantikan tempatku. Tapi, bagaimana kita memahami kodrat relasi antara refleksi dan diriku? Pada poin inilah menurut Marcel refleksi filosofis itu terjadi.

Refleksi filosofis mempertanyakan posisiku, mempertanyakan myself. Marcel mengakui bahwa hidup ini terkadang mempunyai pusat di luar dirinya. Apa artinya pusat di sini? Pusat di sini bisa orang yang dicintai, bisa berupa kegiatan, dan lain sebagainya. Tapi, ketika melakukan refleksi, manusia menyadari bahwa itulah saat di mana hidup mewujudkan dirinya sendiri, dalam cara adanya, dalam identitasnya sebagai demikian. Refleksi apa yang dimaksud Marcel di sini?

Menurut Marcel, terdapat dua bentuk refleksi, yakni refleksi pertama (Primary Reflection) dan refleksi kedua (Secondary Reflection). Refleksi pertama memaksudkan sebuah analisa atas pengalaman yang diuraikan ke dalam unsur-unsur konstitutifnya. Sementara, refleksi kedua bermaksud menyatukannya sebagaimana yang dikatakannya, “We can say that where primary reflection tends to dissolve the unity of experience which is first put before it, the function of secondary reflection is essentially recuperative: it reconquers that unity”. Apa yang hendak dikerjakan Marcel dalam dua bentuk berpikir ini? Yang hendak dikerjakan Marcel adalah memahami makna dari the self, realitas the self.

Menurut Marcel, terdapat karakter definitif untuk mengaitkan the self dengan somebody. Apa itu? Jawabannya adalah

That it is in relation to myself as subject that these definite characteristics of my particular individuality are felt to be, and acknowledged to be, contingent”.

Kita memang dapat bertanya, “Apakah aku ada?”. Tapi, pertanyaan ini mengidentikkan aku dengan benda, ‘that’. Aku (the self) bukanlah objek. Malahan, eksistensi itu sendiri bukanlah sebuah predikat sebagaimana dalam pemikiran Kant.

Relasi apa yang dapat menyatakan bahwa aku memiliki tubuhku? Menurut Marcel, relasi ini adalah pengalaman. Pengalamanlah yang membuat aku merasakan tubuhku dan mengalaminya. Dan hanya kematian yang memisahkan self dari tubuh. Dengan ini, Marcel menyatakan tubuhku sebagai ada yang berinkarnasi. Marcel kemudian dapat berkata,

My body is my body just in so far as I do not consider it in this detached fashion, do not put a gap between myself and it. To put this point in another way, my body is mine in so far as for me my body is not an object but, rather, I am my body”.

Merleau-Ponty : The body is the vehicle of  being in the world

Merleau-Ponty dilahirkan pada tanggal 14 Maret 1908 dan meninggal tanggal 3 Mei 1961. Pemikiran Merleau-Ponty sangat kuat dipengaruhi oleh Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan terutama teman dekatnya Jean Paul Sartre. Proyek filosofis Merleau-Ponty pada dasarnya adalah menyingkapkan relasi tubuh dan dunia. Karena itu, titik pijak Merleau-Ponty pada dasarnya tidaklah berbeda dari Gabriel Marcel. Tapi, secara fenomenologis, Merleau-Ponty rupanya langsung mengarahkan refleksinya atas persepsi. Mengapa persepsi? Kita harus ingat bahwa fenomenologi berarti sebuah metode pengamatan terhadap fenomena-fenomena yang ditampilkan kepada mata kita. Nah, dalam hal ini, apa yang digarap Merleau-Ponty adalah apa yang terjadi ketika manusia melihat (mempersepsi) sesuatu. Apakah kita hanya sekadar melihat atau bagaimana?

Dalam bukunya berjudul Phenomenology of Perception, Merleau-Ponty berusaha menerangkan hal ini dalam 3 bagian. Bagian pertama berbicara mengenai tubuh. Bagian ini pada dasarnya lebih banyak mengupas permasalahan dari sudut psikologis dan lantas dilihat secara fenomenologis. Bagian kedua berbicara tentang dunia yang kita rasakan. Bagian ini lebih mengarah kepada persoalan pengalaman inderawi, ruang dan dunia manusia (relasi manusia dengan yang lain). Bagian ketiga berbicara tentang being-for-itself dan being-in-the-world. Bagian ini memang cukup sulit untuk dipahami karena Merleau-Ponty hendak menjelaskan secara ontologis apa yang dimaksud dengan keber-ada-an manusia. Pada bagian ini, ia lebih banyak berbicara mengenai temporalitas dan kebebasan. Nah, kita sendiri tidak akan membahas semua bagian tersebut. Kita hanya akan membahas bagian pertama dan kedua tapi difokuskan pada beberapa aspek saja.

Persoalan utama Merleau-Ponty – kalau diringkas – adalah bagaimana memahami tubuh tidak secara objektif. Dengan kata lain, apa yang hendak diusahakannya adalah bagaimana memahami tubuh sebagai Body-Subject, yakni tubuh itu sendiri adalah subjek.

Persepsi bukan sekedar berarti bahwa kita melihat sebuah objek.

Sartre mengulasnya sebagai berikut. Ketika guru itu mengabsen satu per satu siswa-siswi di kelas tersebut, siswa yang hadir pasti akan menunjukkan dirinya. Kata Sartre, siswa ini muncul sebagai gambar. Ketika siswa lain diabsen, maka siswa ini (yang baru saja diabsen) mundur sebagai dasar. Ia, siswa yang mundur ini, bertindak sebagai dasar bagi kehadiran siswa yang diabsen dan hadir (ada) di kelas tersebut. Nah, begitu seterusnya. Yang diabsen menunjukkan dirinya namun bertindak sebagai dasar (kehadiran, red) bagi siswa kemudian yang diabsen. Ketidakhadiran Anton karena itu tidak didasarkan pada Anton itu sendiri, melainkan dari dan melalui kehadiran (ada) para siswa-siswi yang lainnya. Penjelasan Gambar dan Dasar dari Sartre inilah yang dimaksudkan dengan perkataan Merleau-Ponty bahwa “objek bukan hanya menghadirkan dirinya tapi sekaligus menyembunyikan yang lainnya”.

Sekarang mari kembali ke persoalan, yakni bahwa menurut Merleau-Ponty objek juga turut membentuk pemahaman kita. Sebagaimana contoh yang diberikan di atas (mengenai ketidakhadiran Anton), kita dapat menarik garis logis dari pernyataan ini, yakni bahwa terdapat struktur yang mendasari terjadinya pemahaman kita di dalam kehadiran objek-objek tersebut. Struktur inilah yang hendak dan sekaligus memungkinkan kita MEMAHAMI sesuatu. Hal ini terungkap paling jelas dalam tanda dan bahasa di mana dunia hidup sosial manusia dimunculkan dan lantas menciptakan sebuah sistem. Meskipun demikian, pemahaman mengenai struktur ini tidaklah sama dengan kaum strukturalis yang menekankan anonimitas bahasa dan tanda. Mengapa anonim (sesuatu yang tanpa nama)? Ini terjadi lantaran baik bahasa maupun tanda adalah semata alat/sarana bagi penafsiran lepas dari subjek yang membicarakan atau mengungkapkannya. Bagi kaum strukturalis, makna hanya dapat dipahami dalam bingkai-bingkai struktur. Di luar itu, tidak ada makna sama sekali.

Menurut Merleau-Ponty, pengalaman akan persepsi ini merupakan sebuah kelahiran logos yang memungkinkan pengetahuan, kebenaran, nilai itu muncul dan dapat dilihat. Persepsi mengajarkan kita akan kebenaran keadaan objektivitas itu sendiri. Pengalaman persepsi ini adalah pengalaman yang kita lakukan bersama tubuh dalam situasi sangat amat primordial. Lantaran hal ini, seluruh pemahaman kita mengenai dunia pada dasarnya adalah terbatas dan ambigu. Mengapa? Karena pemahaman tersebut berdasar pada tubuh kita dalam relasinya dengan dunia (being-in-the-world). Tubuh karena itu menjadi poin pivotal dalam pemikiran Merleau-Ponty. Kata Merleau-Ponty, “The body is the vehicle of being in the world”.

Tidak Ada Dikotomi antara Tubuh dan Jiwa

Dengan menyimak secara ringkas pendapat 2 filosof besar di atas, kita melihat pertama-tama – dan ini sejalan dengan keyakinan yang berkembang luas di antara para filsuf eksistensialis – bahwa antara Tubuh dan Jiwa tidak terdapat dikotomi ketat seperti yang dinyatakan oleh Descartes. Tubuh bukanlah entitas (elemen atau unsur) yang berdiri sendiri dan begitu juga jiwa. Keduanya saling melengkapi dan membutuhkan. Dikatakan demikian lantaran tubuh tanpa jiwa justru menjadi mayat, begitu juga jiwa tanpa tubuh justru tak dapat kita pahami. Kedua hal inilah yang menjadikan manusia itu manusia.

Pemahaman akan hal ini bahwa Tubuh dan Jiwa itu tidak terpisah harus diterapkan di segala bidang kehidupan. Mengapa? Karena manusia itu sendiri yang mengisi dan memberi arti pada hidup yang ia jalani. Terlebih lagi, tidak ada pembedaan tubuh perempuan dan laki-laki. Apa yang disebut Tubuh ya tetap Tubuh dan itu berarti pengakuan akan keberadaan (eksistensi) dan kehidupan seseorang sebagai seorang manusia. Untuk memudahkan, saya akan mengambil satu contoh. Kita masih ingat bagaimana suara pro dan kontra menghiasi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi beberapa waktu lalu. Benar bahwa kodrat tubuh memberikan kemungkinan adanya kejahatan.

Apa yang menunjukkan kemanusiaan kita adalah tubuh. Mengapa, misalnya, tubuh manusia yang sudah mati harus dikuburkan secara pantas bila dibandingkan dengan binatang. Di lain pihak, bagaimana, misalnya, kita memahami arti dari sebuah UU Anti-Pornografi yang menyudutkan perempuan di mana perempuan semata dilihat dari perspektif tubuh yang membangkitkan nafsu. Melalui Marcel, kita mengetahui bahwa tubuh bukanlah seonggok daging yang diberi roh lalu hidup. Tubuh menampakkan seluruh diriku. Dalam dan melalui tubuh, aku terus berproses. Sebagaimana yang dikatakan Marcel, “it is more important to be than to have”.

Tubuh merupakan Eksistensi (Cara Berada) Manusia dalam Dunia

Salah satu wujud dari relasi manusia dengan dunianya adalah tindakan. Tindakan yang diambil secara sadar dan bertanggungjawab bukanlah semata sebuah proses kognitif-aksiologis, melainkan wujud aktualisasi diri manusia itu sendiri dalam dunia ini. Tindakan yang kita ambil menggambarkan konteks hidup dan budaya kita. Bahkan lebih lanjut, tindakan yang kita ambil menungkapkan proses dari apa yang disebut Mengerti (Jerman: Verstehen). Sebagai contoh, Anda mengambil sebuah palu (martil) untuk membuat sebuah perahu. Tindakan Anda mengambil palu pertama-tama menandaskan bahwa Anda mengerti makna dan fungsi palu tersebut. Tanpa pemahaman (pengertian) seperti ini, Anda tidak mungkin melakukan suatu tindakan apa pun terhadap palu (martil) tersebut.

Dari contoh yang cukup sederhana tersebut, kita dapat mengambil satu dua pernyataan. Pertama, yang mengambil palu itu adalah bagian dari tubuh Anda. Ini berarti bahwa Tubuh merupakan ekstensi atau perpanjangan dari hidup Anda dalam dunia ini. Tapi, harus ditambahkan bahwa tubuh bukanlah semata sarana (instrumen) perpanjangan kita. Jika Tubuh hanya semata dilihat sebagai instrumen, tubuh justru adalah objek. Inilah kritik yang kerap dilontarkan para filsuf eksistensialis ketika Tubuh hanya dilihat sebagai OBJEK. Mengapa? Karena Tubuh yang demikian (yakni sebagai OBJEK) justru memisahkan apa yang disebut para filsuf fenomenologis sebagai self (diri) dan body. Artinya apa? Artinya, ini sama saja kita jatuh kembali ke dalam cara berpikir Descartes.

Kedua, harus diakui bahwa Tubuh sekaligus adalah Subjek dan Objek. Dikatakan Subjek karena Tubuh adalah pelaku utama dari tindakan kita terhadap sesuatu atau seseorang di dalam dunia ini. Jika Anda berjalan dan bertemu dengan teman-teman Anda, yang Anda jumpai pertama kali adalah penampakan dari Tubuh teman-teman Anda, bukan jiwanya dan bukan pula rasionalitasnya (kesadaran si Anton bahwa Si Anton adalah Anton dan bukan Budi).

Ketiga, dengan demikian, Tubuh merupakan cara berada manusia dalam dunia ini. Dikatakan CARA lantaran memperlihatkan dan mengungkapkan perkembangan diri kita sebagai demikian. Dikatakan CARA lantaran Tubuh memainkan peran signifikan atas apa yang kita rasakan, apa yang kita harapkan, dan apa yang hendak kita raih dalam dunia ini. Dan bukan hanya itu saja, Tubuh juga memberikan makna bagi apa yang disebut cinta, kasih, sakit, dan sebagainya. Orang yang mengungkapkan perasaan suka, cinta, sayang pertama-tama adalah melalui tubuhnya. Kita tidak mungkin mengenal cinta semata dari kita mengerti arti cinta yang kita temukan dalam tulisan-tulisan. Apa yang kita rasakan melalui Tubuh berkenaan dengan cinta, sayang, benci, rindu inilah yang kemudian kita sebut sebagai pengalaman sehari-hari. Pengalaman karena itu pertama-tama berarti mengungkapkan apa yang kita rasakan, kita alami, kita ketahui melalui Tubuh.

Sebagai Penutup, saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa relasi manusia dengan dunia karena itu bukan lagi relasi menguasai, memperbudak demi diri manusia sendiri. Dunia haruslah dihargai, dihormati. Tanpa dunia, manusia tidak mungkin bisa memahami dirinya sebagai manusia. Dalam arti ini, kita harus menjaga dunia ini sebab dalam dunia kita dapat menemukan jejak historisitas manusia yang mengelola dunia. Dunia merupakan manusia yang telah menjadi alam, kegiatan manusia terpatri pada alam sebagai demikian. Dunia yang kacau merupakan gambaran manusia yang belum bisa memahami makna keber-ada-annya secara khusus sebagai berada-dalam-dunia