Friedrich Max Muller: Seorang Ahli Bahasa yang Menjadi Pakar Ilmu Agama
Penelitiannya terhadap agama dilihat sebagai usaha pertama untuk mendekati agama dengan titik tolak yang bukan teologis.
Menurut Muller, klasifikasi bahasa merupakan basis utama untuk meneliti agama. Bahasa-bahasa yang dikelompokkan dalam satu rumpun bahasa menunjukkan satu tatanan nilai dan awal sejarah yang sama dari satu ras, agama dan kebudayaan yang bermacam-macam. Karena itu, ilmu perbandingan bahasa merupakan model yang tepat untuk penelitian terhadap agama (kata perbandingan dalam ilmu perbandingan agama mulai dari perbandingan bahasa ini). Penelitian bahasa ini memusatkan perhatian pada kesamaan dan kemiripan (khususnya bahasa yang termuat dalam teks-teks Kitab Suci).
Tujuannya adalah mendekatkan mereka sedapat mungkin kepada awal sejarah dan kebudayaan mereka yang mungkin satu dan sama. Salah satu jasa Muller adalah usahanya untuk membuat perbandingan cerita-cerita mitos seperti termuat dalam karyanya Comparative Mytology (1856).
Max Weber: Proses Rasionalisasi Dalam Sejarah Agama
Ia membuat penelitian yang menarik yakni pertanyaan mengenai agama bertolak dari masalah ekonomi. Tesis Weber adalah bahwa modernisasi pembangunan ekonomi berkat rasionalisme dan kapitalisme dalam sejarah masyarakat Barat didasarkan pada motif-motif religius . Tesis ini dibuktikannya melalui analisa terhadap etika Protestan.
Sesudah reformasi Luther, di Jerman terdapat Gereja Katolik dan Protestan. Oleh karena gerakan rakyat jelata dan bangkitnya organisasi kerja yang bebas, sistem ekonomi abad pertengahan tidak bertahan lama. Sistem ekonomi itu tidak merakyat sebab dikuasai oleh kaum bangsawan, kaum klerus dan kelas atas. Semangat reformasi terutama ditujukan untuk melawan sistem ekonomi seperti itu. Perlawanan ini berhasil (oleh gerakan Protestan) menumbangkannya dan menggantikannya dengan sistem ekonomi yang baru (meletakkan dasar bagi perkembangan ekonomi selanjutnya). Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kaum Protestan di Jerman menempati kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat Jerman dariapda lapisan sosial Katolik.
Pertanyaan utamanya adalah bahwa apa yang menjadi dasar dan latar belakang tendensi perubahan lapisan sosial? Menurut Weber, keanggotaan seseorang dalam kedua konfensi itu bukanlah sebab utama perubahan lapisan sosial. Sebab utamanya berasal dari faktor religius dari kedua kelompok sosial itu. Hubungan kausal antara faktor religius dan faktor ekonomi tidak dapat dicari dalam situasi historis-politis, tapi dalam ciri khas religius yang batiniah dari kedua agama itu. Ciri khas kedua agama itu terletak dalam etika religiusnya. Etika Katolik mengikuti model kehidupan membiara sebagai model kehidupan model yang ideal. Ideal berarti menarik diri dari dunia untuk menghindari usaha pengumpulan penumpukan kekayaan material, karena kekayaan manusia justru menjauhkan manusia dari Tuhan.
Sebaliknya, etika Protestan tertujua pada pengambilan bagian secara aktif dalam kehidupan dunia untuk membangun dunia dari dalam sesuai dengan panggilan duniawi dan tugas atau jabatan konkret. Penumpukan harta duniawi dan peningkatan kekayaan material merupakan realisasi yang layak dari etika ini, dan etika ini justru berkenan pada Allah.
Menurut Weber, semangat kapitalis mempunyai dasar pertalian batiniah dengan dasar religius dari Protestan. Etika kerja yang terjiwai oleh dasar religius itu dianggap sebagai pegangan hidup individual yang berisikan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan diri dan penambahan harta kekayaan dengan cara memanfaatkan modal yang ada untuk peningkatan keuntungan. Pegangan hidup individual lantas menjadi pegangan hidup bersama, ketika etika kerja itu diterima dalam kegiatan-kegiatan ekonomis. Kebajikan tertinggi dari etika kerja di bidang ekonomi ini adalah “Memperoleh uang dan memperoleh lagi uang” sambil membatasi terhadap kenikmatan yang berlebihan dari kekayaan material.
Lebih lanjut, semangat kapitalis ini didukung oleh pengertian panggilan (yang pada mulanya merujuk pada kehidupan membiara Katolik), namun kemudian diperluas. Jika dalam Katolik, panggilan dipahami sebagai panggilan Allah untuk mencapai kehidupan yang suci dan dekat dengan Allah, Protestan menambahkan bahwa setiap bentuk dan jabatan hidup yang konkret di dunia merupakan panggilan Allah. Setiap orang dipanggil untuk menghayati hidup dan tugasnya dalam situasi yang konkret dengan tidak perlu menjauhkan diri dari dunia. Dalam proses RASIONALISASI ini, kata panggilan lama-kelamaan kehilangan nilai religius dan hanya bernuansakan kualitas moral dari pekerjaan dan jabatan konkret. Dan justru ketika nilai religiusnya tidak perlu terkait dengan jabatan dan panggilan hidup konkret tiap orang, di saat itu pulalah berkembang etos kerja kapitalis yang mengutamakan mutu kerja dan tugas hidup.
Tesis ini dikaji kembali oleh Robert Bellah yang memperlihatkan perkembangan ekonomi di Jepang pada masa pemerintahan Tokugawa (1600-1868).
Mircea Eliade: Sejarah Agama
Menurutnya, sejarah agama bertolak dari fakta-fakta religius dan dari titik tolak itu sejarah agama bertugas untuk menangkap dan mengerti fenomen-fenomen religius , makna yang berdiri melampaui sejarah. Eliade menjelaskan hal ini karena inti dari fenomen religius itu selalu tinggal tak dapat dijelaskan dan disingkapkan. Melalui sejarah agama, inti fenomena religius hanya menyingkapkan satu situasi batas manusia yang barangkali berisikan situasi yang benar dari manusia dalam kosmos. Untuk tujuan itu, ia mempersatukan tiga pendekatan yakni pendekatan historis, fenomenologis, dan pendekatan filsafat agama.
Kata ‘Sejarah Agama’ menonjolkan pentingnya kata Sejarah dan Agama. Kata Seajrah menunjuk pada arti umum sejarah dan arti filosofisnya, sedangkan kata Agama menunjuk kepada fenomena religius .
Melalui penggubungan dua kata itu, Eliade hendak menegaskan unsur terpenting yakni Hierophani. Hierophani adalah manifestasi dari yang Kudus, dan manifestasi ini mempunyai aspek objektif dan subjektif. Proses objektif terletak dalam pengertian proses Hierophani yang tidak dapat terulang, tak dapat direduksi dan tidak dapat kembali lagi dan inti dari Hierophani ini tetap sama di segala tempat, segala waktu dalam beraneka wujud (batu, pohon, dll). Tapi, sekaligus pula merupakan proses subjektif yakni proses ini berjalan dan terikat dalam sejarah, bentuk-bentuk penampilannya sangat erat berhubungan dengan proses kesadaran subjektif manusia.
Dalam diri Hierophani terdapat dialektika dari Yang Kudus sendiri, yakni aspek ahistoris dan historis. Ahistoris berarti mempunyai isi yang melampaui sejarah dan menunjuk kepada manifestasi diri dari Yang Kudus secara spontan dan bebas dengan tidak dilumpuhkan oleh sejarah dan penerimaan subjektif manusia, tapi sekaligus terjadi dalam konteks sejarah tertentu. Ketika Yang Kudus mewujudkan diri dalam suatu konteks sejarah tertentu, ketika pula perwujudan itu menjadi dasar pengertian tentang aspek ahistoris dari Yang Kudus. Sejara Agama memungkinkan kita mencapai pengertian tentang dialektika itu, terutama pengertian ahistoris dari Yang Kudus. Titik tolak pendekatan Eliade adalah manusia religius (Homo Religiosus).
Carl Gustav Jung: Yang Numinous dan Archetype Gambaran Allah
Menurutnya, psike (Yunani: Jiwa atau Hidup) adalah satu prinsip vital dalam diri manusia. Kenyataan ini terdiri dari bagian yang mengikuti prinsip sebab-akibat dan bagian yang tidak mengikuti prinsip sebab-akibat. Bagian yang mengikuti prinsip sebab-akibat merupakan psike yang sadar atau kesadaran, ia terikat dengan ruang dan waktu serta tidak menciptakan dirinya sendiri melainkan keluar dari psike yang tidak sadar. Bagian yang tidak mengikuti hukum sebab-akibat dan mengatasi ruang dan waktu adalah psike tak sadar atau alam bawah sadar.
Psike tak sadar terdiri dari dua lapisan: psike tak sadar yang bersifat personal dan psike tak sadar kolektif. Psike tak sadar personal terdapat dalam setiap individu dan memuat isi psikis yang menjadi miliki khas dari individu yang bersangkutan. Isi psike ini dapat dianalisa melalui mimpi, khayalan, tindak-tanduk dan kata-kata seseorang, dll. Psike tak sadar kolektif merupakan lapisan paling dalam dan terpisah dari alam tak sadar personal. Jung menyebut kolektif karena tidak ada kekhasan di sana.
Psike ini menjadi milik semua orang, bersifat seragam, universal dan diturunkan dari masa ke masa sejak zaman bahari. Untuk mengenal psike tak sadar kolektif ini, orang dapat berkenalan dengan apa yang diesbut Jung ‘Archetipe’, yaiti tipe purba atau bayangan purba yang mempunyai daya luar biasa sehingga di satu pihak tidak tunduk pada ruang dan waktu dan di lain pihak memungkinkan tercetaknya bahan atau materi dalam bentuk tertentu. Jadi, isi dari psike tak sadar kolektif ini tidak dapat kita tentukan, tetapi bentuknya dapat kita temui di mana-mana, karena bentuk-bentuk itu tampak teratur dan seragam.
Agama menurutnya adalah pengalaman manusia akan sesuatu yang bersifat Numinous. Istilah ini dipinjam dari konsep Rudolf Otto tentang dua karakter utama dari Yang Kudus (Yang mengagumkan dan menggetarkan, Tremendum et Fascinosum) tapi dikonsepkan kembali sebagai satu agen dinamis atau satu kualitas yang mempunyai efek pada manusia. Hakekat macam apa ini, tidak dijelaskannya, tapi manusia Cuma mengalami sesuatu yang sifatnya tidak bergantung kepada kehendak manusia. Pengalaman manusia seperti itu memperlihatkan satu sikap yang khas manusia terhadap yang Numinous itu. Dan salah satu sikap khas itu ditunjuk melalui pengamatan terhadap faktor -faktor dinamis seperti roh-roh, dewa-dewa, cita-cta atau faktor apa saja yang membahayakan atau melindungi.
Psikologi agama berusaha mendekati dan mensistemasi pengalaman Numinous itu. Pengalaman Numinous itu dikenal melalui gambaran dan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam mimpi, penglihatan, mitos dan ritus-ritus. Gambaran-gambaran religius itu merupakan archetype religius yang keluar secara spontan dari kegiatan alam tak sadar kolektif. Figur dewa yang mengambil Figur bapa ideal (Animus) atau juga Figur dewi yang mengambil Figur perempuan ideal (Anima) merupakan archetype religius . Menurut Jung, archetype itu mencerminkan archetype diri (Self) yang menyatakan diri dalam banyak bentuk dan pola, misalnya dalam bentuk manusia, binatang, bintang, tumbuh-tumbuhan, batu, pola segi tiga atau empat, dll. Gambaran Allah sesungguhnya merupakan hasil kerja alam tak sadar kolektif.
Geradus van der Leeuw (1890-1950): Fenomenologi Agama
Ia mengelompokkan pembahasannya tentang fenomenologi agama ke dalam beberapa bagian penting, yakni objek agama-agama, subjek agama-agama, objek dan subjek dalam hubungan timbal balik, dunia atau lingkungan agama dan bentuk agama. Menurutnya, objek agama-agama adalah kekuasaan, baik kekuasaan yang diperlihatkan dalam benda-benda dan mahkluk hidup maupun dalam diri pada dewa. Subjek agama adalah manusia yang suci, kekhususan, peranan dan pengaruh dari kesucian manusia; persekutuan yang suci; Yang Kudus dalam diri manusia seperti jiwa, tipe-tipe jiwa. Objek dan subjek dalam hubungan timbal balik tampak pada kultus dan kesalehan. Dunia agama termasuk dalam gambaran-gambaran dunia yang bersifat religius dan arti religius dari gambaran-gambaran itu. Bentuk-bentuk agama adalah tipologi agama, tipologi otoritas religius , peristiwa-peristiwa religius, dll.
Menurutnya, pendasaran teoritis bermula dari fenomena religius yang diartikan sebagai sesuatu yang tampak sebagaimana adanya sebelum direfleksikan. Seorang fenomenolog berusaha memberi bentuk untuk mengerti fenomena religius itu. Ketika ia merekontruksi fenomena religius itu, ia justru menciptakan struktur terhadap fenomena itu. Strukturisasi fenomena selalu terikat pada pengalaman-pengalaman yang terjadi sebelumnya. Dengan demikian, seorang fenomenolog berusaha melukiskan tipe-tipe pengalaman itu.
Ia menunjukkan beberapa aspek dari metoe fenomenologi. Langkah pertama adalah pemberian nama menurut istilah-istilah yang dipakai dalam ilmu agama seperti korban, dewa-dewi, dll. Seorang fenomenolog berusaha mengelompokkannya pada gejala-gejala yang sama atau serupa itu. Langkah kedua adalah usaha untuk menjadikan fenomena religius yang telah diistilahkan itu sebagai milik dan pengalaman sendiri. Dasar pemahaman Leeuw adalah bahwa manusia itu pada hakekatnya sama di mana-mana, sehingga apa yang dialami oleh orang lain dapat saja dialami sendiri. Pengalaman religius orang lain dapat ditemukan dalam pengalaman sendiri. Langkah ketiga adalah usaha dalam membataskan diri dalam mengajukan pertanyaan tentang fenomen-fenomen religius .
Seorang fenomenolog tidak mempertanyakan apa di balik fenomen-fenomen itu dengan maksud untuk menghindari apa yang disebut Husserl sebagai reduksi yang bersifat fenomenologis. Dia hanya memusatkan perhatian pada pelukisan fenomena dan pencarian arti dari fenomena-fenomena itu. Langkah keempat adalah usaha untuk pembentukan tipe. Tipe-tipe perlu dijelaskan dan setiap tipe harus mendapat satu Nomenklatur yaitu nama tertentu yang diberikan kepada tipe yang bersangkutan. Terakhir adalah usaha untuk memandang semua usaha penyususnan fenomen-fenomen itu sebagai salah satu usaha untuk mengerti fenomen-fenomen itu dengan aspek-aspeknya yang berbeda-beda. Pada akhirnya, seorang fenomenolog harus sampai pada tahap mengerti arti fenomen-fenomen itu bersama aspeknya yang berbeda-beda.