Deus sive Substantia sive Natura”
(Baruch Spinoza)
“Pembangunan Negara bersifat barang yang bernyawa”
(Soepomo)
Pemikiran tentang berdirinya negara memberikan konsekuensi bagaimana hukum itu sendiri dipikirkan. Pada umumnya, untuk melihat bangunan atau struktur dasar sebuah negara dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya hal tersebut dapat dilihat dari sebuah konstitusi negara itu sendiri. Dengan kata lain, konstitusi sebuah negara memperlihatkan apa dasar dan tujuan negara itu, bagaimana aplikasi hukum dan dari sendirinya pemahaman tentang siapa manusia itu. Tulisan ini hendak mengkaji pemikiran Soepomo berdasar pada pemikiran Spinoza. Jika Soepomo konsisten dengan pemikiran Spinoza apa dampak bagi bangunan negara, terutama hukum, yang dipikirkan Soepomo.
Dalam sejarah politik, pemikiran Soepomo tentang negara integralistik merupakan sesuatu yang baru. Konsepnya tentang negara integralistik mengalir dari pemikir-pemikir seperti Spinoza dan Hegel. Padahal baik Spinoza maupun Hegel tidak secara eksplisit memakai terminologi ini. Lebih hebatnya lagi, Soepomo mengidentikkan konsep integralistik ini dengan konsep totaliter. Berangkat dari pemikiran bagaimana seharusnya negara itu berdiri, Soepomo menggarap negara integralistiknya. Untuk sampai ke pemikiran Soepomo, saya akan membahas terlebih dahulu beberapa pemikiran Spinoza yang diambil dari karya utamanya yakni The Ethics.
Sekilas Tentang Pemikiran Spinoza
Mengenai Substansi (atau Allah atau Alam)
Spinoza adalah seorang rasionalis ekstrim yang berusaha memikirkan realitas ini secara a priori. Untuk membangun sebuah sistem filsafat yang benar-benar a priori, Spinoza menggunakan metode deduktif-sintesis. Metode ini menyatakan bahwa dari prinsip pertama dapat diturunkan segala sesuatu yang lain. Metode deduktif-apriori-sintesis ini mensyaratkan keniscayaan mutlak. Artinya, apa pun yang diturunkan dari prinsip itu pasti benar, tidak mungkin salah. Itulah mengapa Spinoza mengambil bentuk geometri dalam pemikirannya. Mengapa geometri? Karena kepastian yang diberikan dalam kesimpulan yang ditarik dari pernyataan atau proposisi sebelumnya. Untuk tujuan itu, Spinoza pertama-tama mulai dengan sebuah argumen ontologis yang diperlukan sebagai pondasi kokoh bagi semua tahapan-tahapan kesimpulan selanjutnya, yakni pemahaman mengenai substansi.
Dalam karyanya Ethics, Spinoza memberikan rumusan substansi sebagai berikut, “By substance, I mean that which is in itself, and is conceived through itself : in other words, that of which a conception can be formed independently of any other conception.” Secara ringkas dapat dikatakan bahwa substansi adalah apa yang dapat dipahami tanpa perlu memahami sesuatu yang lain.
Pengertian ini perlu dipahami terlebih dahulu karena untuk mengetahui sesuatu hal, seseorang harus mengetahui sebabnya. Pengetahuan mengenai sebab tidak bisa tidak pasti berhenti pada sebab yang tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Inilah sebab yang menyebabkan dirinya sendiri. Sebab yang tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain lagi ini(disebut substansi) memiliki sifat-sifat yang tak terbatas.
Substansi dengan sifat-sifat yang tidak terbatas ini diidentikkan oleh Spinoza dengan Allah. Jalan pikiran Spinoza adalah sebagai berikut. Spinoza pertama-tama merumuskan atribut atau sifat sebagai “that which the intellect perceives as constituting the essence of substance.” Jika Allah diakui keberadaanNya, Ia pasti memiliki sifat-sifat yang dapat ditangkap oleh akal budi. Faktanya, akal budi dapat menangkap sifat-sifat ini. Dengan kata lain, atribut atau sifat ini merupakan pengungkapan dari ketakterbatasan Allah. Apakah manusia dapat memahami eksistensi Allah? Menurut Spinoza, manusia bisa memahami esensi Allah. Mengapa? Karena esensi dan eksistensi Allah adalah satu dan sama. Dalam pemahaman Spinoza, keberadaan Allah ini tidak sama dengan pemikiran Kristiani atau pun Yahudi, yakni Allah yang personal serta yang imanen sekaligus transenden. Personalitas, bagi Spinoza, menunjukkan adanya suatu substansi yang berbeda dengan substansi yang lain. Padahal, jika ada dua hal memiliki dua substansi yang berbeda, kedua hal tersebut tidak dapat dipahami melalui substansi yang lain itu. Dengan kata lain, kedua hal tersebut dapat dipahami dalam dirinya sendiri dan ini tidak mungkin. Alam atau dunia, yang dalam pandangan Yahudi dan Kristiani dilihat berbeda dari Allah, ditolak oleh Spinoza. Bagi Spinoza, jika ada substansi lain selain Allah, Allah lantas tidaklah tak terbatas. Sebaliknya, jika Allah tak terbatas, tidak mungkin ada substansi lain (menurut pengertian Spinoza tentang rumusan substansi). Karena itu, Allah dan Alam atau Dunia adalah sama. Apapun yang ada, berada dalam Allah dan tidak satu pun dapat dipahami tanpa Allah. Demikianlah kita mengenal pernyataan Spinoza yang terkenal itu, Natura Naturata (dilihat dari segi alam) dan Natura Naturans (dilihat dari sudut Allah). Jadi, Allah tidak bersifat pribadi.
Pemahaman ini masih dapat diterima jika yang dimaksudkan adalah bahwa segala sesuatu yang terbatas pada dasarnya tergantung pada Allah. Tapi, dalam pikiran Spinoza, segala sesuatu yang terbatas ini sesungguhnya merupakan cara berada Allah (modification of God). Bagi Spinoza, ada dua sifat yang tak terbatas ini yang dapat dikenal oleh manusia yakni keluasan (extension) dan pikiran (thought). Dengan kata lain, pikiran manusia adalah cara berada Allah dalam sifat pikiran dan tubuh manusia adalah cara berada Allah dalam bentuk keluasan. Secara ontologis, Alam tidak berbeda dari Allah. Dan karena itu juga, Allah tidak berbeda dari manusia. Manusia berada dalam Allah, tidak berhadapan denganNya. Mengapa? Karena Allah masuk dalam semua realitas. Seluruh alam semesta ini adalah Allah sendiri dalam modus atau cara beradaNya.
Di sini, ditemukan sebuah pandangan yang panteistik. Namun, menurut beberapa ahli, pandangan Spinoza lebih tepat dikatakan sebagai panteisme yang monistik. Implikasi dari pemikiran Spinoza adalah bahwa transendensi Allah tidak ada. Demikian juga dalam pengalaman sehari-hari, pluralitas itu tidak ada. Pluralitas hanyalah modus, cara Allah atau Alam ini menyatakan diri. Melalui pemikiran ini, Spinoza sekaligus mengatasi dualisme Descartes yang menyatakan bahwa adanya dua substansi yang tidak bisa didamaikan yakni res extensa (realitas yang berkeluasan) dan res cogitans (realitas yang berpikir)
Mengenai Manusia
Di atas, sudah dilihat sedikit pemahaman Spinoza mengenai manusia. Pertanyaan mendasar yang patut diajukan di sini adalah bagaimana kedudukan manusia dalam sistem filsafat Spinoza? Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu melihat beberapa gagasannya yang berkaitan dengan aspek-aspek manusia, yakni kehendak bebas, tubuh dan akal budi. Dari penjelasan di atas, konsekuensi logis yang dapat ditarik langsung dari pernyataan bahwa baik tubuh maupun pikiran merupakan cara berada Allah adalah tidak diakuinya kehendak bebas manusia. Jika kehendak bebas tidak diakui, perbuatan baik-buruk lantas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Memang, Spinoza memberi definisi baik sebagai “that which we certainly know to be useful to us”. Dan buruk sebagai “that which we certainly know to be a hindrance to us in the attainment of any good.” Tapi, apa maksudnya atau untuk apa ia memberi definisi ini jika manusia tidak memiliki kehendak bebas? Spinoza memberikan jawabannya sebagai berikut:
“If I assume as a starting point, what ought to be universally admitted, namely, that all men are born ignorant of the causes of things, that all have the desire to seek for what is useful to them, and that they are conscious of such desire. Herefrom it follows, first, that men think themselves free inasmuch as they are conscious of their volitions and desires, and never even dream, in their ignorance, of the causes which have disposed them so to wish and desire. Secondly, that men do all things for an end, namely, for that which is useful to them, and which they seek.“
Jadi, baik-buruk sesungguhnya merupakan sebuah usaha penegasan pencarian manusia akan sebab terakhir. Ini terjadi karena pikiran manusia memahami bahwa sekian cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu pasti sudah ditentukan oleh sesuatu yang lain. Kebebasan yang dimiliki manusia pada dasarnya adalah bagaimana menggunakan cara-cara yang telah ditentukan itu untuk mencapai apa yang berguna bagi mereka. Karena itu, dapat dikatakan pemikiran Spinoza mengenai manusia dan dunia bersifat determinisme. Bagi Spinoza, tidak ada peristiwa yang terjadi karena kebetulan. Kebebasan manusia adalah fiktif. Konsep baik-buruk lantas dapat dipandang relatif karena apa yang baik dan yang buruk tergantung dari tiap-tiap manusia.
Pemikirannya mengenai hidup bersama (sosial-politik) juga merupakan konsekuensi logis dari pandangan sebelumnya. Jika dunia ini sungguh bersifat deterministik, baik dan buruk tidak memiliki makna objektif. Bencana alam, ketidakadilan sosial, kemiskinan, perbuatan mencintai, memaafkan dan lain-lain sesungguhnya hanya merupakan penampakan saja, bukan sesuatu yang nyata. Semua itu adalah gagasan-gagasan manusia yang tidak memadai karena tidak merujuk pada esensi Allah. Dengan kata lain, karena semua berasal dari dan berada dalam Allah, tidak mungkinlah berbicara tentang kejahatan atau ketidaksempurnaan dalam dunia ini. Apa yang dikatakan kejahatan, keburukan atau pun perbuatan manusia yang lainnya berasal dari cara pandang manusia itu sendiri. Kejahatan, keburukan serta perbuatan-perbuatan manusiawi lainnya tidak memiliki realitas atau substansi dalam dirinya sendiri.
Pandangan Soepomo tentang Negara
Dalam pidatonya tentang negara tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mengajukan konsep negara integralistik sebagai paham negara yang paling sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Untuk sampai pada pengertian integralistik, Soepomo mulai dengan arti negara itu sendiri. Menurut Soepomo, “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan….merupakan persatuan masyarakat yang organis. Negara tidak berpihak kepada golongan terkuat atau pun terbesar. Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan”. Pengertian negara demikian mau tidak mau menggiringnya untuk memilih konsep negara integralistik yang pernah digagas oleh para pemikir seperti Spinoza dan Hegel. Dengan kata lain, konsep Soepomo tentang integralistik sesungguhnya tidak menambah apa pun pada pengertian negara. Negara itu pada dasarnya sudah satu, integral, tidak terbagi, dan utuh. Singkatnya, negara adalah ‘barang yang berjiwa’.
Lebih lanjut, untuk menyesuaikan pemahaman negara ini, Soepomo rupanya mengambil model persatuan rakyat-pemimpin di pedesaan. Mengapa? Supaya garis pikirannya sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia itu sendiri. Dalam perspektif demikian, negara itu seharusnya bersatu dengan seluruh rakyatnya dan mengatasi seluruh golongan dalam lapangan apa pun. Berkaitan dengan hukum, menurut Soepomo negara harus bersifat badan penyelenggara, badan pencipta hukum yang timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya. Dengan kata lain, hal ini sama saja mengatakan negara sama dengan hukum dan hukum sama saja dengan kehendak batin masyarakat. Inilah negara totaliter menurut pengertian Soepomo. Tapi, ini tidak berarti individu terlebur ke dalam negara. Bagi Soepomo, negara seperti ini tidak berarti bahwa negara tidak akan memperhatikan manusia sebagai seseorang atau golongan sebagai golongan. Tetap ada penghargaan dan penghormatan terhadap individu manusia dan golongan. Hanya saja individu sebagai individu dan golongan sebagai golongan mempunyai kedudukan sebagai bagian organik. Dalam arti tertentu, pengertian Sopemo lebih dekat dengan konsep tubuh mistik.
Pemahaman Soepomo tentang negara rupanya didasarkan pada pengertian manusia. Walaupun tidak dikatakan secara eksplisit, Soepomo kiranya berpandangan bahwa negara sudah ada lebih dulu daripada individu. Pengertian ini dekat dengan Aristoteles, yakni kesempuraan manusia tercapai dalam polis. Dan ini berarti dalam diri manusia sudah tersusun secara teratur bagaimana relasi tiap individu bagi negara. Maka indivudu yang terlepas dari negara tidak dapat dikatakan hidup secara manusiawi. Individu mencapai kepenuhan hidupnya ketika melaksanakan tugas dan kewajibannya demi menjaga dan membangun kehidupan negara itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, dari sendirinya ketika negara itu berjalan tertib dan stabil, kehidupan tiap-tiap manusia dan golongan pun terjamin dan terpenuhi. Jika demikian, apa pengertian dan fungsi hukum itu sendiri serta apa yang dimakud dengan hak asasi manusia?
Pandangan Soepomo tentang Hukum dan HAM
Soepomo memang tidak secara eksplisit menyatakan apa itu hukum. Ia rupanya mengandaikan bahwa negara itu sendiri adalah hukum. Beberapa alasan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, jika hukum dimengerti sebagai ketentuan tentang perintah dan larangan, maka pengertian ini malahan memperlihatkan inkonsistensi pemikiran Soepomo tentang satu jiwa. Jika semuanya mengalir dari jiwa ini, yang memungkinkan tiap individu dan golongan bekerja demi negara, maka tidak mungkinlah memikirkan adanya perintah untuk dilakukan dan larangan untuk dihindari. Setiap individu dan golongan pasti sudah mengetahui kedudukannya dan apa yang mesti dikerjakannya. Yang mungkin dibicarakan di sini justru adalah kewajiban sebagai keutamaan. Kebahagiaan negara karena itu adalah kebahagiaan tiap individu dan golongan juga. Dengan demikian, dari sendirinya, konsep hukum seperti ini tidak dapat dipertahankan di hadapan pemikiran Soepomo.
Kedua, konsep jiwa yang merupakan konsep utama dalam pemikiran Soepomo kiranya perlu diperjelas. Apa yang dimaksud dengan jiwa? Apakah jiwa ini sama dengan hukum ilahi sebagaimana diajarkan dalam agama-agama? Soepomo sendiri menolak adanya negara agama sebagai implikasi pemikirannya mengenai negara yang mengatasi segala golongan. Namun, sebagaimana dikatakan Soepomo, negara ini bukanlah negara yang a-religius. Apa maksud Soepomo? Maksud Soepomo supaya karakter yang ada dalam masyarakat Indonesia seperti berbakti, ikhlas, cinta kepada tanah air, harus dipakai sebagai dasar moral dari negara nasional yang bersatu itu. Tampaknya di sini, Soepomo mengadopsi pemikiran Hegel mengenai Roh (Geist). Menurut Hegel, Ratio (akal budi) adalah Roh yang sadar akan dirinya. Jadi, kegiatan Rasio di sini sama dengan kegiatan Roh. Rasio ini bukanlah rasio manusia individual, melainkan Rasio murni. Dasar pernyataan Hegel dapat dibaca dari pemikiran Spinoza yang telah dijelaskan di atas.
Dua pertimbangan di atas mau mengatakan bahwa konsep hukum sebagai ketentuan dan larangan memang tidak dapat masuk dalam kerangka pemikiran Soepomo. Kalau ada hukum menurut pengertian larangan dan perintah, itu berarti diakui adanya kehendak bebas manusia dan tanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya sendiri. Dari poin ini, pemikirannya tentang hak asasi manusia dapat dimengerti pula. Berbicara mengenai hak yang berasal dari manusia sebagai yang berotonomi sendiri jelas tidak mungkin. Otonomitas manusia hanya bisa dipikirkan dalam kerangka negara. Dengan kata lain, tidak ada pertentangan antara individu dan negara. Kepentingan individu adalah kepentingan negara dan kepentingan negara adalah kepentingan individu.
Penutup (Kritik ?)
Gagasan negara integralistik yang diambil Soepomo dari para pemikir Barat tampaknya dimaksudkan untuk disesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia itu sendiri. Soepomo sedang berusaha mewujudkan sebuah model tata hidup bersama berasal dari keadaan masyarakat Indonesia dengan memakai kerangka berpikir negara integralistik tersebut. Ia melihat pemikiran ini mirip atau bahkan hampir mempunyai kedekatan dengan persatuan jiwa-raga pemimpin dan rakyat dalam masyarakat Indonesia. Untuk hal ini, saya melihat pemikiran Soepomo dapat diterima.
Sayangnya, untuk tujuan tersebut, Soepomo melupakan fakta bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai kebudayaan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, sebuah masyarakat multikultural. Dalam kemajemukan ini, hukum memang perlu dipikirkan dan dirumuskan. Mengapa? Walaupun memiliki model kekeluargaan dan persaudaraan, pertemuan antar budaya jelas menghasilkan nuansa baru. Pada tataran inilah perlu adanya sebuah tata aturan bagi hidup bersama, semacam kesepakatan yang mengikat. Tapi, ini tidak berarti bahwa dari kesepatakan tersebut dirumuskanlah dasar aturan atau dasar hukum baru bagi kehidupan bersama. Dasar hukum itu sendiri sesungguhnya sudah terkandung dalam tiap kebudayaan. Inti sari dasar hukum tiap kebudayaan itulah yang tercantum dalam Pancasila. Inilah alasannya mengapa Pancasila dikatakan sebagai kristalisasi tiap kebudayaan.
Saya sendiri menyadari bahwa masyarakat Indonesia perlu mencari model tata hidup bersama yang mampu merekatkan kebudayaan-kebudayaan yang ada. Hal ini masih terbuka untuk dibicarakan. Saya mengatakan ini karena meskipun bangsa Indonesia berada dalam kerangka NKRI, tapi adanya konflik SARA justru memperlihatkan adanya jurang dalam kehidupan bersama. Bagaimana jurang itu dijembatani? Inilah yang masih terbuka untuk dibicarakan.
Copleston, Frederick. Modern Philosophy: Descartes to Leibniz. New York: A Division of Doubleday & Company, Inc., 1963.
Pidato Soepomo dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.
Riyanto, Armada. Krisis Paham Kenegaraan: Tantangan Etika Hak dan Kewajiban dalam Konstitusi Indonesia dalam Studia Philosophica et Theologica Vol.3 No.2 Maret. Malang: STFT, 2004.
Sawarno Djaksonagoro. Desa Sebagai Model dalam Herbert Feith dan Lance Castles (eds.). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1964. Jakarta: LP3ES, 1988.
Spinoza, Baruch. The Ethics Demonstrated According to The Geometrical Order. Diakses dari http://www.spinozacsack.net78.net/The%20Ethics,%20Benedict%20de%20Spinoza.pdf