Menu Close

Kekosongan IT Leadership 5 Tahun sekali

Sudah menjadi hal rutin, 5 tahun sekali setiap kota/kabupaten di Indonesia akan memilih walikota/bupatinya kembali. Umumnya Walikota/Bupati yang baru terpilih satu kali akan mengambil cuti 4-5 bulan selama masa kampanye hingga penetapan hasil pemilukada. Saat masa cuti pemimpin kota/kabupaten inilah, meski diganti oleh pemimpin sementara, manajemen kota serasa kehilangan “ruh”nya bahkan, kehilangan “darah”nya. Manajemen kota/kabupaten, termasuk manajemen OPD-OPD (Organisasi Perangkat Daerah) akan berjalan tanpa arahan, tanpa kendali, tanpa evaluasi. Lalu bagaimana dengan manajemen e-Government?

e-Government adalah implementasi teknologi informasi (IT) untuk organisasi publik. Tentu disini ada 2 hal khas, yakni IT dan organisasi publik atau pemerintah. IT adalah sebuah tools teknologi untuk membantu organisasi meningkatkan kinerja proses-proses organisasi lebih efektif dan efisien. Dan IT terbukti hanyalah alat (tool), ia tidak akan membantu atau tidak akan berhasil manakala penggunanya tidak cakap dan manakala pengelolaannya tidak benar. Pemerintah, apalagi di Indonesia, adalah organisasi yang sangat khas dan unik. Kamu tidak dapat mengharapkan teori-teori organisasi perusahaan profesional pasti berlaku di organisasi pemerintah, karena organisasi pemerintah tidak berorientasi profit, bahkan seringkali berorientasi serapan anggaran alias ngabisin duwit. Pemerintah juga organisasi yang top down, kaku, sangat rigid diatur oleh peraturan dan perintah atasan. Seringkali kamu tidak bisa hanya sekedar mengatakan aspek manfaat-kerugian suatu teknologi, namun harus memulai dari peraturan apa yang mewajibkan mereka menerapkannya. Organisasi pemerintah umumnya berorientasi pada pemenuhan peraturan dan perintah pimpinan (Compliance) daripada peningkatan unjuk kerja (Performance). Bagi mereka umumnya tidak masalah unjuk kerja mereka biasa aja atau tidak meningkat, selama atasan mereka juga tidak mempermasalahkan atau tidak ada peraturan yang memaksa berubah. Jika demikian, lalu bagaimana dengan kualitas layanan publik yang disediakan oleh organisasi pemerintah apabila pimpinan organisasi pemerintah atau walikota/bupati tidak memiliki kesadaran dan orientasi Performance?  Lalu bagaimana apabila sebuah kota/kabupaten “kosong pemimpin” dan diisi hanya oleh seorang “pemimpin sementara”?

Faktanya: Setiap 5 tahun sekali, kota/kabupaten tanpa pemimpin definitif laksana tubuh tanpa kepala. Kepala yang “dicangkokkan” sementara selama 4-5 bulan selama masa Pemilukada, serasa ditolak oleh seluruh anggota tubuh karena mereka tahu kepala itu tidak punya kuasa dan hanya bersifat sementara. Jangankan mengeluarkan perintah yang mengikat, mengundang acara rapat saja ‘pemimpin-pemimpin sementara’ itu seperti tak punya wibawa. “Kita punya masa istirahat bekerja 4 bulan setiap pemilukada“, begitu kata PNS kota/kabupaten yang memiliki walikota/bupati yang kuat kepemimpinannya namun maju lagi pemilukada. “Percayalah Pak Tony, siapa aja yang tanda tangan undangan hasilnya juga sama aja, tidak ada pejabat OPD yang dapat dipaksa di saat cuti pemilukada!” ungkapan frustasi PNS di masa cuti pimpinan kota. Jadi apa yang dapat kita harapkan dari sebuah pemerintahan tanpa pemimpin definitif? Paling maksimal adalah Business as Usual!

Parahnya adalah apabila masa cuti pemimpin daerah itu bertepatan dengan project-project strategis kota/kabupaten yang memiliki konsekuensi dan menuntut keterlibatan aktif lintas OPD (Organisasi Perangkat Daerah). Project atau kegiatan lintas OPD yang hanya akan berjalan apabila ada pemimpin di atas OPD yang dengan kesadaran dan kekuasaannya bersedia memaksa semua OPD untuk bekerja-sama dan membuat perubahan. Project dan kegiatan lintas OPD tersebut umumnya akan kehilangan “darah”nya. OPD penanggung-jawab kegiatan akan lemas lunglai karena tidak tahu lagi kemana harus meminta dukungan. Pemimpin-pemimpin dinas hingga level kota akan saling mendisposisi setiap undangan dan permintaan bantuan dukungan manajemen perubahan. Undangan-undangan kegiatan akan minim kehadiran pemimpin kota/kabupaten. Bahkan hingga level staf, banyak kehadiran rapat hanya sekedar tanda-tangan kehadiran lalu balik kanan. “Ngapain ngabisin energi memaksa banyak orang membuat perubahan, sementara sebentar lagi mungkin saya tidak akan menjabat disini lagi? atau pemimpin saya mungkin akan berganti?” Anda suka atau tidak suka, sesuai atau tidak sesuai dengan teori manajemen yang anda pelajari di meja kampus, tapi faktanya inilah yang banyak terjadi di 514 kota/kabupaten kita minimal 5 tahun sekali. Kalo yang tangible seperti kegiatan-kegiatan rutin organisasi saja kehilangan pengarah dan pemaksa, lalu bagaimana dengan kegiatan-kegiatan intangible seperti inovasi IT layanan publik dan operasional pemerintah saat pimpinan daerah cuti pemilukada? Anda pasti sudah dapat membayangkannya. Inovasi IT kota/kabupaten menjadi rentan terbengkelai, lemah dukungan apalagi paksaan. Inovasi IT hanya akan berhenti di tahapan selesai administrasi, bukan adopsi apalagi sustainability.

IT membutuhkan kepemimpinan untuk memaksa karena implementasi IT menyangkut perubahan proses bisnis dan pola perilaku. IT membutuhkan perintah dan koordinasi Top-Down karena penggunaan IT tidak mungkin menunggu kesadaran dan kesepakatan semua manajemen operasional. IT membutuhkan konsistensi dukungan anggaran dan kegiatan tindak lanjut dari perencanaan jangka-panjang, perancangan, implementasi, operasional, hingga evaluasi dan rencana perbaikan. IT membutuhkan arahan, monitoring, dan evaluasi.  Kesuksesan IT membutuhkan IT Leadership.

Di tulisan ini saya belum menemukan rekomendasi solusi, hanya sekedar kegalauan fakta yang saya temui. Inilah faktanya: ditengah kebutuhan layanan publik dan tuntutan perbaikan birokrasi yang tiada pernah berhenti, setiap 5 tahun sekali minimal 4 bulan hingga 1 tahun, laju manajemen kota/kabupaten harus berjalan pelan bahkan nyaris tanpa inovasi. Inilah faktanya: kepala Dinas (OPD) lebih merupakan “jabatan politis” daripada kompetensi, sehingga ia rawan diganti saat walikota/bupati berganti. Inilah faktanya: budaya “tour of duty” pergeseran PNS kota/kabupaten yang terlalu cepat seringkali tidak memperhatikan latar-belakang kompetensi atau ketergantungan sistem terhadap staf yang dirotasi. Inilah faktanya: setiap 5 tahun sekali, kegiatan manajemen dan inovasi IT kota/kabupaten kehilangan IT Leadership nya. Beruntunglah kota/kabupaten yang saat Pemilukada memiliki Pemimpin-Pemimpin dengan IT Leadership yang tinggi, yang lebih berorientasi pada meninggalkan legacy daripada sekedar terpilih kembali. Namun sayangnya, mayoritas PNS kota/kabupaten kita lebih memilih menunggu perintah atasan, daripada “nambah kerjaan” dan membuat perubahan meski itu berarti kebaikan. Karena mereka percaya PNS sulit dipecat, PNS kota/kabupaten mudah digeser saat pemimpin berganti, maka lebih aman diam menunggu kepastian. Menunggu kepastian berarti “larangan inovasi”. Mungkin anda punya solusi?

Post Disclaimer

The information contained in this post is for general information purposes only. The information is provided by Kekosongan IT Leadership 5 Tahun sekali and while we endeavour to keep the information up to date and correct, we make no representations or warranties of any kind, express or implied, about the completeness, accuracy, reliability, suitability or availability with respect to the website or the information, products, services, or related graphics contained on the post for any purpose.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *