Menu Close

Gaya Penelitian AKADEMISI vs. PRAKTISI?

APA itu “RESEARCH”?

Kata “Research” dari kata “Re-Search” yang artinya Mencari Lagi, Lagi, dan Lagi. Lalu apa yang dicari? Pada dasarnya yang dicari oleh setiap Peneliti melalui kegiatan Penelitian atau Research-nya adalah pemahaman terhadap Kenyataan (Reality). Pemahaman kita, sebagai manusia, tentang APA (WHAT) itu sebuah kenyataan dipelajari dalam ilmu ONTOLOGY (realism vs. relativism); sementara BAGAIMANA (HOW) kita dapat memperoleh pengetahuan (knowledge) tentang kenyataan tersebut? (cara dan syarat pengetahuan) dipelajari dalam ilmu EPISTEMOLOGY (Positivism vs. Interpretivism)? Ontology + Epistemology itulah yang membentuk = Research PHILOSOPHY atau Paradigma (PARADIGM) yang diyakini peneliti dan menjadi basis (sekaligus menentukan) Pendekatan (Approach), Strategi Penelitian, maupun Metode Pengumpulan Data yang akan dilakukannya.

Filling the Knowledge Gap vs. Problem Solving?

Pada umumnya tujuan kegiatan-kegiatan penelitian di dunia mencakup 2 macam tujuan, yakni: seorang Peneliti melakukan penelitian
1. karena ingin Mengisi Kekosongan Ilmu Pengetahuan (Filling the Knowledge Gap) ataukah
2. karena ingin memecahkan masalah (Problem Solving)

Penelitian-penelitian yang bertujuan untuk Filling the Knowledge Gap ini umumnya diawali dari kegiatan Studi Pustaka (Literature Review) yang masif yang mencari tahu pengetahuan-pengetahuan apa saja yang sudah diketahui orang lain selama ini sehingga peneliti mampu menemukan aspek-aspek yang belum diketahui (Knowledge Gap). Gap inilah yang selanjutnya ingin diisi/dijawab/dijelaskan oleh penelitian si Peneliti. KELEMAHAN dari Penelitian dengan tujuan ini umumnya merasa bahwa Penelitian yang dilakukannya “Sangat Penting” hanya karena belum ada manusia yang meneliti sebelumnya atau belum tahu jawabannya. Padahal bisa jadi Knowledge Gap yang ingin diisi tersebut tidaklah penting bagi implementasi praktis kehidupan. Peneliti-peneliti dengan tujuan Filling the Knowledge Gap ini umumnya adalah peneliti-peneliti dari kalangan AKADEMISI.

Sementara kelompok penelitian kedua bertujuan untuk tujuan praktis yakni memecahkan masalah (Problem Solving). Peneliti dengan tujuan problem solving ini umumnya dari kalangan PRAKTISI, khususnya KONSULTAN. Peneliti-peneliti dalam kelompok ini umumnya lebih focus pada mencari Solusi dari sebuah Masalah Nyata dengan melakukan Kajian seperlunya (tidak masif) terhadap metode, teori, standar, dan/atau good practice yang sudah ada sebelumnya selanjutnya menggunakan intusi atau pengalaman merumuskan Solusi permasalahan. KELEMAHAN dari penelitian-penelitian bertujuan Problem Solving ini umumnya tidak melakukan Studi Pustaka secara masif terhadap penelitian atau penyelesaian kasus-kasus serupa sehingga seringkali Solusi yang dihasilkan dari kelompok penelitian ini berupa hal yang sudah pernah ditemukan/dilakukan oleh organisasi atau peneliti lain bahkan seringkali mengulangi kesalahan sama yang pernah dilakukan peneliti lain atau istilahnya Reinventing the Wheel.

Meski banyak penelitian-penelitian Filling the Knowledge Gap tidak memiliki manfaat nyata/signifikan bagi dunia praktis nyatanya lebih mudah diterima di journal-journal internasional bereputasi. (contohnya penemuan Teori TAM atau Technology Acceptance Model yang banyak dikritik bahwa tanpa penelitianpun secara logika semua orang tahu bahwa agar sebuah teknologi menarik target penggunanya untuk memakai pasti karena bermanfaat/Useful dan mudah dipakai/Easy of Use dan sesudah teori itu ditemukan dan dibuktikan berkali-kali oleh banyak peneliti tetap saja tidak jelas implikasi praktisnya 🙂 Hal ini dikarena penelitian jenis ini terlihat “valid” dan sulit karena melalui aktivitas studi pustaka penelitian sebelumnya yang masif, pengumpulan data dari berbagai sumber dan responden yang sangat banyak, dan/atau melalui tahapan-tahapan yang sangat sistematis. Sementara itu penelitian-penelitian Problem Solving meskipun secara nyata luaran yang dihasilkan benar-benar bermanfaat untuk penyelesaian suatu masalah real di sebuah organisasi tetap saja sulit untuk diterima jurnal-jurnal internasional. Hal ini diantaranya disebabkan karena penelitian-penelitian jenis Problem Solving ini umumnya dilakukan untuk sebuah kasus/konteks spesifik tertentu yang tidak dapat digeneralisasi untuk obyek-obyek lain secara umum, responden atau data yang dikumpulkan relatif sedikit, dan kadang terdapat unsur intuisi atau hanya berdasar best/good practice yang dianggap “tidak ilmiah”.

TUJUAN PENELITIAN SEPERTI APA YANG BAIK?

Tujuan penelitian yang baik adalah yang berada di antara (dalam rentang)
Filling the Knowledge Gap <——————————–> Problem Solving
Yakni penelitian yang Bukan hanya memiliki manfaat Mengisi Kekosongan Ilmu Pengetahuan tetapi juga memiliki manfaat Memecahkan Permasalahan Nyata (posisi kemanfaatannya dapat lebih ke kiri, di tengah, atau lebih ke kanan). Penelitian yang baik adalah penelitian yang melakukan Kajian Pustaka penelitian atau praktik-praktik baik sebelumnya yang pernah dilakukan sehingga memastikan bahwa apa yang akan dilakukan dan ditemukan Bukan Reinventing the Wheel, namun juga Filling the Knowledge Gap. Luaran penelitiannyapun juga diuji dan dipastikan benar dan dapat diimplementasikan secara praktis.

Nah kini, sebagai Peneliti kita jadi tahu ya apakah kita cenderung seperti “Akademisi Peneliti” atau “Praktisi Peneliti“? Apakah penelitian saya sudah memiliki manfaat Filling the Knowledge Gap sekaligus Problem Solving ataukah hanya satu aspek saja? Cek yuk! 🙂

Post Disclaimer

The information contained in this post is for general information purposes only. The information is provided by Gaya Penelitian AKADEMISI vs. PRAKTISI? and while we endeavour to keep the information up to date and correct, we make no representations or warranties of any kind, express or implied, about the completeness, accuracy, reliability, suitability or availability with respect to the website or the information, products, services, or related graphics contained on the post for any purpose.

4 Comments

  1. Dihin Muriyatmoko

    Dari penjelasan ini saya jadi tahu adanya ketidakadilan, mengapa jurnal2 internasional bereputasi banyak berminat untuk hanya filling the knowledge gap (hanya yg dapat digeneralisasi), apakah jumlah reviewer di problem solving kurang atau tidak berkualitas.. wallahu a’lam bisshawab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *