Menu Close

Mengenang Ayah anak desa

Mengenang Ayah anak desa

Langit kelam, tak ada mentari yang menyapa pagi ini. Seolah belum cukup, langit kelam itu menumpahkan sejadi jadinya air dari perutnya.  Suasana desa yang sepi, angin gunung yang menggigit, tak menghalangiku untuk mandi pagi, sarapan dan bersiap untuk berangkat menemuai teman teman di Sekolah sana. Sekolah Dasar yang berjarak 500 meter ke arah utara, berhadapan persis dengan lapangan terluas di desa ini.

Inilah SD terbaik di desa ini, walau ada 3 SD lainnya yang tak kalah lengkap dan juga tak kalah dekat dari rumah. Aku sangat yakin, inilah sekolah terbaik, karena dekat dengan fasilitas desa yang aku perlukan. Ada pasar di sebelah utara, selain sangat mudah mencari makanan desa, dari kelepon, lupis, cendol, atau beberoq topat bagi yang belum sarapan, pasar ini juga tempat ayah dan inaq (=ibu) bekerja setiap hari, mencari makan untuk melanjutkan hidup.

Tidak jauh dari pasar, ada kuburan yang sangat luas yang entah sudah berapa jenazah ia terima.. Kuburan ini sangat unik, entah ada berapa ratus tanaman ada disini, rindang dan terasa nyaman berada disana. tak ada rasa angker atau ngeri. Kalau musim hujan datang, Kuburan ini menjanjikan jamur. Berburu jamur, entah mengapa menjadi hobi anak anak desa setiap musim penghujan tiba. Jamur, selain bisa dimakan sendiri,
setelah di pepes, dimasak ala kadarnya dengan bumbu garam, juga sangat mahal kalau mau dijual. Cukup datang ke pasar, akan banyak orang berebutan menawar jamur itu.

Ada juga sawah yang demikian luas, ada sungai yang tak jauh di belakang Sekolah. Pokoknya, semua kebutuhan anak desa, untuk hidup dan bermain  sudah ada di sini. sangat menyenangkan. tidak usah jauh jauh ke tempat wisata, tidak usah merogoh kocek dalam dalam untuk bisa bermain. Semua  ada di desa kami.

Pagi itu, walau hujan masih mengguyur desa ini, kupastikan untuk tetap berangkat sekolah, tak ada pilihan lain. Hujan dan jalanan yang becek bukan alasan bagi anak anak desa sepertiku. Karena sudah tertanam dalam diri ini, dari Bapak Ibu guru dan kepala sekolah, setiap senin, dalam amanat upacaranya. “Pendidikan adalah modal kalian untuk hidup, kalian sekolah bukan untuk masa depan orang tua kalian. cukup orang tua kalian yang menjadi buruh di pasar, menjadi kuli bangunan, menjadi penjual sayur, menjadi petani kasar di sawah orang. Kalian adalah masa depan mereka. Belajar, Belajar!”Hampir setiap senin, ada amanat seperti itu, belum lagi kalau sudah masuk kelas, Bapak/Ibu wali kelas, selepas berdoa selalu memberi nasihat yang sama. Entah karena ingin memotivasi kami, atau hanya kata kata itu yang mereka dapatkan dari penataran ketika baru jadi guru.

Itu bukan urusanku, yang menjadi urusanku adalah belajar. Bapak!!!, tiang (=aku) berangkat!. Aku sebenarnya langsung menerobos kucuran air hujan, dengan mengalungkan kresek merah, yang didalamnya ada buku buku dan alat tulis, tangan kananku memegang erat sepatu, sementara kaki kubiarkan tanpa alas. Nanti di depan rumah sana, daun pisang akan aku tarik dan potong untuk dijadikan payung, begitulah cara teman temanku, jarang yang punya payung. Hujan seperti ini biasanya cukup dilawan dengan pelepah daun pisang atau daun lomaq (Lomaq, tumbuhan yang menghasilkan umbi umbian, daunnya lebar, cocok dijadikan payung). Namun ternyata ayah mengejarku dari belakang, membawa payung hitam, payung yang selalu menemani kemanapun dia pergi, tentunya ketika hujan. Dengan sigap, ayah berlari, cuma memakai kaos putih, sandal jepit dan sarung. ia menemaniku berangkat kesekolah. Inilah saat saat yang selalu terkenang dalam hidupku. Sosok ayah yang selalu ringan dan melindungi anaknya. Sama halnya ketika ia menungguku saat sakit, bukan karena tidak ada ibu, justru ibu dan nenek selalu menemani jika aku sakit, tapi kehadiran ayah, begitu berbeda. Teringat juga ketika diriku pulang dari rumah sakit, dialah yang membopong tubuh lemahku, menurunkanku dari becak dan  membopong sampai rumah.

https://youtu.be/G_BI1mkA2Is

Terkadang hal hal kecil seperti ini, lebih terngiang dalam ingatanku, lebih mudah diingat daripada pemberian uang jajan disetiap pagi. Ayah, akan kubuktikan bahwa anak desamu ini akan menjadi masa depan yang bisa dibanggakan.

Hari minggu, 21 Agustus 2022, pukul 13:00 WITA, ayah telah meninggalkan kita semua. 

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu

“Ya Allah, Ampunilah dia, berilah dia rahmat-Mu, kesejahteraan dan maafkanlah kesalahannya”

 

J!

Post Disclaimer

The information contained in this post is for general information purposes only. The information is provided by Mengenang Ayah anak desa and while we endeavour to keep the information up to date and correct, we make no representations or warranties of any kind, express or implied, about the completeness, accuracy, reliability, suitability or availability with respect to the website or the information, products, services, or related graphics contained on the post for any purpose.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *