Hidangan makan di awal malam, di atas pesawat Garuda GA606 telah tersaji di meja kecil di depanku. Aroma khas santapan perjalanan jauh, yang sebenarnya jauh untuk disebut enak tapi harus dimakan untuk menjaga kondisi fisik. Aku teringat sebuah potongan waktu ketika untuk pertama kalinya terbang jauh sembilan tahun lalu. Perjalanan tanpa kejelasan nasib di depan sana, entah siapa yang akan ditemui, makanan apa yang akan menemani dua tahun petualangan di negeri asing itu, dan tentunya nasib penjelajahan intelektualku yang tak tahu akan berakhir di mana. Teringat juga tatkala bertemu dengan banyak sekali para tenaga kerja di sana, mereka yang kusebut sebagai para pejuang kehidupan, tentu lebih galau dariku, tak punya tujuan jelas selain bekerja. Kukira modal hidup pun tak punya, bahasa yang terbatas plus bekal keterampilan hidup yang berbeda sama sekali dengan yang dibutuhkan di sana. Semua berjalan, dilalui seperti meniti jalan asing di malam gelap, entah apa yang akan terjadi jika tanpa tuntutan dari yang mahakuasa.
Dulu ketika masih kecil dan tinggal di punggung Rinjani, harapan besar ku adalah menjadi orang desa, cukup dengan sebuah mobil bak terbuka yang akan kupakai menjual barang pertanian ke kota. Menikah dengan sesama orang satu desa, dan hidup dalam kesederhanaan. Ketika duduk di bangku kelas 4 SD, bapak membelikan banyak buku buku pelajaran, yang kuingat adalah buku atlas dunia, cerita lebai Malang, asal usul Banyuwangi dan ceritaseputar candi Prambanan. Buku buku ini menemani masa kecilku kala itu, ketika diri ini memasuki masa masa awal sakit berkepanjangan sampai SMP, muncul lagi ketika kelas 2 SMA. Buku buku ini telah membuatku berani bermimpi jauh, jauh di luar kemampuanku saat itu, termasuk cita-cita untuk transmigrasi ke bulan. Nasib kemudian membawaku, meniti perjalanan panjang yang tidak kuketahui jalurnya. Berjalan saja, bahkan ketika kutahu bahwa pekerjaan yang paling tidak kusukai adalah traveling.
Malam ini, skenario Tuhan kembali bekerja untuk memindahkanku secara fisik, berpindah jauh ke sebuah kita diujung Utara pulau Sulawesi: Kota Manado. Ini adalah perjalanan domestikku dengan rute yang paling jauh. Perjalanan langsung tanpa transit selama 3 jam kurang 5 menit atau 2244 km. Manado ini sekaligus menjadi daerah (di Indonesia) paling timur yang kunjungi. Perjalanan yang sebelumnya tidak direncanakan, mirip dengan kejadian Mei 2016 lalu tatkala datang tugas kantor untuk ke UK. Jalani saja, walau ragu itu selalu ada. Walau malas bepergian jauh itu tidak pernah hilang.
Seringkali ku merenung, mengapa banyak orang yang bersemangat berkeliling dunia, mencari tempat baru dan menemukan pengalaman demi pengalaman. Di saat yang sama, aku juga bertanya dalam diriku, mengapa kegembiraan dan semangat itu tidak kutemukan dalam diri ini. Tugas jauh yang menuntut petualangan, terlalu sering malah menjadi beban bagiku. Dulu, sekolah SMA di Mataram (yang berjarak 50 km), terasa sangat jauh dari rumah. Kuliah di Surabaya juga, terasa teramat jauh. Begitu juga dengan Taiwan, Jepang, semua terasa jauh.
Jika ada orang yang kuliah di Jepang dan hanya tahu, Ibaraki, Chiba, Tokyo dan Saitama, ya diri ini saja. Beda sekali dengan beberapa teman yang berhasil menjelajahi jepang bahkan di awal awal kedatangan. Berkeliling dari Utara ke Selatan, menyusuri berbagai objek wisata terkenal.
Satu jawaban, mengapa saya tidak suka bepergian. Saya terlalu gampang kangen rumah dan tentu penghuninya. *_*
*Di atas pesawat Cengkareng Manado, 2 Oktober 2017
Post Disclaimer
The information contained in this post is for general information purposes only. The information is provided by Surabaya Bogor Manado and while we endeavour to keep the information up to date and correct, we make no representations or warranties of any kind, express or implied, about the completeness, accuracy, reliability, suitability or availability with respect to the website or the information, products, services, or related graphics contained on the post for any purpose.