Hari masih pagi, beberapa orang tua di kampung ini telah kembali dari sholat berjamaah di masjid. Alunan takbir kembali bersahut sahutan, sangat istimewa, semua santren (=musholla) beramai ramai mengagungkan kebesaran Allah, Tuhan pemilik semesta yang luas, detail dan sempurna ini. Sepulang dari Masjid, Bapak mengajakku ke kuburan bersama dengan keluarga lainnya. Ini adalah kebiasaan turun temurun dari masyarakat yang tinggal di selatan kaki Gunung Rinjani. Sebagian masyarakat bahkan melakukan ritual yang sama sebelum adzan subuh dikumandangkan. Keluarga Saen (teman dan tetangga rumah), terbiasa melakukannya.
Langit masih gelap, udara dingin pegununganpun masih mengigit. Dengan berbekal obor sebagai lampu penerang, dengan bersemangat aku melibatkan diri dalam “ritual sosial” masyarakat ini. Benar saja, rombongan manusia begitu banyak, dari selatan, barat dan timur, semua tumpah di jalan, semua bergerak ke utara dengan satu tujuan : berkunjung ke kuburan yang ada di bagian utara desa. Letak kuburan ini sangat strategis, tidak jauh dari Pasar Umum Kotaraja, berada di sebelah timur jalan kotaraja -tetebatu. Kuburan ini, karena luas dan rindangnya seolah menjadi hutan desa bagi sebagian besar masyarakat di sini, teduh dah subur. Di musim hujan, banyak jamur yang tumbuh di sini, jamurnya besar besar dan enak di makan.
Apa yang dilakukan dikuburan di pagi buta yang masih gelap dan dingin? Tak ada yang bertanya seperti ini. Yang jelas, orang orang sangat khusuk menikmati pagi. Mengenakan alat sholat shubuh yang belum diganti, ibu dan kakak perempuan menggunakan mukenah sementara kopiah hitam atau putih masih bertengger di kepala bapak dan kakak kakak laki laki. Yang unik, semua pakai sarung!
Di kuburan, sebagaimana kuburan di tempat lain, setiap keluarga memiliki blok blok makam berdasarkan leluhur laki laki. Jadi, paling tidak setiap keluarga akan mengunjungi minimal dua blok makam sekaligus. Untuk melihat leluhur dan keluargaku dari jalur Bapak yang telah meninggal perlu untuk berkunjung ke blok keluarga bapak. Begitu juga halnya untuk melihat makam keluarga dari jalur ibu, perlu berkunjung ke blok pemakanan kakek (Bapak dari Ibu). Di blok makam keluarga jalur bapak, aku bisa melihat kuburan nenek nenekku, termasuk dua orang adikku yang telah mendahului, blok pemakanan ini tidak terlalu luas. Beda halnya dengan blok makam kakek yang sangat luas dan terdiri dari banyak sekali makam. Di tengah tengah ada makam kakek, kakek yang kudengar adalah orang yang sangat alim, pekerja keras dan berumur singkat. Di sisi sisinya ada kuburan adik-adik dari kakek, ada juga kuburan adiknya ibu yang telah mendahului kami ketika beliau melahirkan anak pertamanya.
Sepulang dari kuburan desa, masyarakat desa tidak langsung pulang ke rumah masih masing, tapi biasanya akan mengunjungi rumah keluarga tetua dulu. Karena nenek yang sudah sepuh tinggal bersama Paman, maka semua keluarga akan berkunjung ke sana. Berkumpul dan makan bersama, biasanya yang dimakan adalah opor telur dengan ketupat. Paling lama pertemuan seperti ini berlangsung satu jam, semua kemudian bubar dan bersiap siap untuk menuju masjid menunaikan sholat Ied Fitri.
Post Disclaimer
The information contained in this post is for general information purposes only. The information is provided by Catatan Anak Desa : Tradisi Pagi Nan Fithri and while we endeavour to keep the information up to date and correct, we make no representations or warranties of any kind, express or implied, about the completeness, accuracy, reliability, suitability or availability with respect to the website or the information, products, services, or related graphics contained on the post for any purpose.