Saya tersentak ketika mendengar ucapan Pak Rusdam, salah satu tokoh masyarakat di desa Lampoko Kecamatan Balusu Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
Apalagi ketika saya tahu bahwa kata “kita” biasanya dipakai oleh orang bugis untuk mengganti kata “Anda“, sama halnya dengan kebiasaan orang Sumbawa yang selalu mengganti ” Saya” dengan “Kami” walaupun subjek nya tunggal.
Hari itu adalah hari Selasa, ketika pertama kalinya saya jejakkan kaki ini di Tanah Celebes, tepatnya di Desa Lampoko. Perkenalan awal kami dengan penduduk lokal, 3 dari 4 orang anggota Tim dari Surabaya langsung dikenal sebagai orang jawa, mereka semua kemudian dipanggil “mas” oleh penduduk sekitar. Lain halnya dengan saya, sebelum saya memperkenalkan diri, salah satu dari mereka langsung menebak kalau saya bukan orang jawa, tapi saya keturunan Bugis, penduduk yang lain tampaknya juga langsung manggut manggut tanda setuju dengan tebakan tadi. Berikutnya, saya mendapat panggilan “Mi“, ” Mi Jen“, saya kurang tahu Mi itu apa, mungkin sama dengan Pak atau Kak.
Awalnya saya kaget, tapi bagi saya justru hal ini adalah nilai plus saya ketika berada di sini, mereka menggap saya masih bagian dari mereka. Dalam perjalanan waktu, saya juga berkali kali dikejutkan oleh beberapa kosakata bugis yang persis sama dengan kosakata sasak.
“Tabeq…” kata seorang ibu yang melintas di depan saya. Tabeq? ibu bilang apa tadi?, tabeq.., apa itu sama dengan permisi?
“Ya” sahut sang ibu.
Suatu saat ketika salah seorang penduduk memanjat pohon kelapa, saya langsung berteriak ke arahnya, tanpa sadar saya bilang” Pak!, minta kenyamennya satu!“. kali ini tanpa sengaja saya membuat mereka terkejut. ternyata kelapa muda bahasa bugisnya juga “kenyamen”.
Waktu pulang survei, salah seorang dari penduduk yang menggunakan peci, menghampiri saya, “Mi, kita diundang untuk menghadiri aqiqoh salah seorang warga disini, kita itu harus datang, wajib” katanya, “sebentar pak, saya panggil teman teman dulu” sahutku.
Rasanya penduduk disini sangat senang “syukuran”, undangan seperti ini berkali kali datang, apalagi hari jum’at kemarin ketika warga merayakan maulid, undangan hilir mudik, dan ujung ujungnya adalah makan.
Ketika acara makan makan tiba, semua hidangan telah tertata rapi diatas lantai kayu rumah panggung. Makanpun dimulai, satu persatu makanan khas daerah ini saya coba, semua pedas, pedas merica, jajanannya manis, manis sekali. Pak Rusdam mengangkat semangkok gule kambing dan menawarkan ke saya, ” Mi, ini bembeq“, “bembeq?, kambing ya” tanyaku. ” Ya” sahutnya.
” ma’af pak, saya tidak bisa makan kambing” jawabku.
Seminggu di Desa ini, rasanya langsung betah. Semua lauk berasal dari laut, bermacam macam ikan laut kami coba, harganyapun sangat murah, beda dengan harga sayur mayur atau ayam yang sangat mahal. Ini mungkin, yang menjadi sebab, orang Lampoko jarang makan sayur, sayur mayur biasanya diganti dengan Mi rebus.
Post Disclaimer
The information contained in this post is for general information purposes only. The information is provided by Kita itu orang Bugis! Terang sekali bicaranya and while we endeavour to keep the information up to date and correct, we make no representations or warranties of any kind, express or implied, about the completeness, accuracy, reliability, suitability or availability with respect to the website or the information, products, services, or related graphics contained on the post for any purpose.