Self Awareness

Joni Hermana titik

Gelar akademik menjadi sesuatu yang begitu penting bagi sebagian besar masyarakat. Namun benarkah demikian? Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang tentang penting tidaknya gelar ini bagi karir seseorang, saya jadi teringat cerita menggelikan tentang diri sendiri. Mungkin ada manfaatnya saya share, supaya orang paham bahwa ketika banyak pihak merasa perlu namanya bertitel, pemerintah sendiri sebetulnya – secara sadar atau tidak – belum sepenuhnya menghargai makna dan konsekuensi formal dari disandangnya gelar tersebut oleh warganya.

Dulu, ketika saya pertamakali duduk di bangku SMA, yaitu SMAN 3 Bandung di tahun 1977, saya sering merasa”iri” pada teman-teman sekolah karena sebagian besar mereka mengisi formulir data keluarga dengan berbagai gelar di depan maupun di belakang nama orangtuanya. “Wuih keren…”, gumam saya melirik nama orangtua yang ditulis teman di depan bangku saya yang ayahnya bergelar Prof., Dr., dan MA. Maklumlah sekolah saya itu termasuk SMA terbaik di Bandung sehingga rata-rata siswa yang masuk adalah anak-anak berprestasi akademik serta jujugan dari putra-putri (setidaknya) para sarjana. Hmm, padahal ayah saya bukan seorang sarjana, sehingga cuma nama beliau saja yang saya tulis, tak lebih. Sejak saat itulah saya selalu bercita-cita untuk mencapai pendidikan setinggi mungkin agar suatu saat anak saya bangga ketika harus mengisi formulir data keluarga di sekolah.

Tepat 20 tahun setelah itu, melalui perjuangan yang tak kenal lelah, alhamdulillah saya berhasil memperoleh gelar kesarjanaan tertinggi yaitu Doctor of Philosophy (PhD) dari Universitas Newcastle Inggris. Belum selesai disitu, bahkan 10 tahun kemudian, saya melengkapi gelar profesi akademis saya sebagai Profesor menyamai gelar yang dimiliki oleh beberapa ayah teman-teman saya di SMA dahulu itu. Jadi lengkaplah sudah apa yang sudah menjadi obsesi saya sebagai anak SMA yang terbengong melihat panjangnya deretan gelar pada sebuah nama. Tapi yang lebih penting dari itu, keinginan agar anak-anak saya bangga saat menulis nama ayahnya di formulir data sekolah akan segera terwujud.

Namun, apakah keinginan itu terjadi? Ternyata tidak. Anak saya yang pertama suatu saat menyerahkan selembar formulir data sekolah yang telah diisi olehnya untuk saya tandatangani. Dengan seksama saya teliti isinya, dan…ternyata pas bagian nama saya sebagai ayahnya, dia hanya menulis nama Joni Hermana…tanpa gelar! Ketika kemudian saya ingatkan, dengan singkat dia menjawab:” Wah, malu Pak. Teman-temanku ayahnya kebanyakan bukan sarjana!” Saya tertegun.

Lebih menggelikan lagi, “kekecewaan” ini terus berlanjut saat mengamati penulisan ijazah kelulusan anak-anak dari sekolah. Bahkan ternyata ada juga yang tertulis hanya gelar Ir. saja. Lho? Lalu kemana 3 gelar saya yang lain. Kok “dicopot semena-mena”? Walaupun sebenarnya merasa malu, saya pertanyakan juga hal ini kepada guru maupun kepala sekolah anak-anak saya. Kan kebenaran harus ditegakkan…he..hee

Ternyata, bagaimana jawabannya?

“Ya memang benar begitu Bapak, kami sudah berkonsultasi dengan Dispendik, bahwa penulisan nama, termasuk nama orangtua harus sesuai dengan Akta Kelahiran anak yang bersangkutan” Jawabnya tanpa perasaan bersalah.

“Lho, maksudnya yang harus sama adalah untuk nama pemberian dari anak yang bersangkutan. Bukan gelarnya ya khan?”, saya berusaha dengan kepala dingin menjelaskan.

“Tidak Bapak, memang begitu. Kami tidak boleh menambah gelar selain yang tercantum pada Akte Kelahiran anak”

Lha, kok begitu ya. Padahal Akte Kelahiran ditulis berdasarkan Akte Pernikahan. Artinya nama yang tertera dalam dokumen itu adalah saat kami masih baru lulus S1 dan menikah. Dan itu duluuu sekali…bahkan perasaan masih rada culun…he..hee   

Terus terang, saya gagal paham bagaimana instansi pendidikan maupun kependudukan Kota Surabaya (bukan dipelosok lho) tidak mampu menghargai capaian pendidikan warganya? Bukan mengeluh karena perjuangan “darah dan air mata” ini tidak diakui. Tetapi, bukankah jumlah sarjana dengan berbagai strata pendidikan dijadikan bagi ukuran indeks pembangunan kota? Jadi kalau Pemerintah – bahkan dinas pendidikan sendiri – tidak menghargai pentingnya capaian pendidikan itu sendiri… lha terus bagaimana mau membangun manusianya? Weleh-weleh…

Ironisnya, apa yang digunakan sebagai alasan oleh guru dan kepala sekolah anak saya, yaitu bahwa penulisan itu adalah peraturan dari dinas pendidikan kota, tampaknya tidak secara seragam dipahami dan diterapkan oleh seluruh sekolah di Surabaya. Ambil contoh, dari 4 orang anak yang semuanya sudah lulus dari SD yang berbeda, penulisan gelar saya ternyata juga berbeda-beda. Pada ijazah anak saya pertama, tertulis nama gelar saya Dr. Ir. Joni Hermana MScES (ini benar sesuai status gelar saya saat itu). Pada anak yang kedua di sekolah yang berbeda dengan anak pertama – walau masih di Surabaya, ditulis: Ir. Joni Hermana, MSc. Pada anak saya ketiga dan keempat: Ir. Joni Hermana. Wah.. wah.. jelas ini membuat saya tertawa geli, soalnya makin tua, gelar saya justru makin berkurang hurufnya… Dikorting mungkin ya.

Merasa bahwa “perjuangan” memperoleh pengakuan di kota sendiri ternyata tidak berhasil, karena – kalau boleh dibilang sih – ketidaksiapan aparat, terutama justru para pelaku pendidikan sendiri, akhirnya saya memutuskan untuk mengubur mimpi saya… 🙁 Apalagi karena anak-anak saya sendiri pun ternyata juga merasa malu punya bapak dengan gelar banyak dan panjang..he..hee. Karena itu, selanjutnya, tolong tulis saja nama saya: JONI HERMANA. Tak kurang tak lebih.

Saya tutup tulisan perdana yang ‘tidak penting’ ini, mudah-mudahan bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa hanya kekecewaanlah yang akan kita dapat kalau kita mengukur ‘derajat diri’ kita dari perolehan materi, pangkat atau kedudukannya semata. Padahal pada kenyataannya, ketika semua ‘status puncak’ itu mampu kita capai, maka justru kita akan semakin sadar betapa kecilnya diri kita bila dibandingkan dengan kebesaran alam semesta ciptaanNYA yang menyimpan begitu banyak misteri ini. Mengapa? sebab dengan semua gelar yang diraih ini, ternyata saya semakin banyak sadar bahwa semakin banyak lagi fenomena alam dan kejadian yang saya tidak mampu menjawabnya.

Ya Allah, semoga Engkau tidak menjadikan kemulyaanku, kedududukanku, gelarku serta ilmuku sebagai target kehidupan dunia…. Aamien YRA.

Adalah Profesor pada Departemen Teknik Lingkungan ITS Surabaya dan pernah menjabat sebagai Rektor ITS 2015-2019. Latar belakang pendidikannya sebagai PhD dalam bidang Teknik Lingkungan dari University of Newcastle, Inggris (1994-1997), Master of Science in Environmental Sanitation di Universiteijt Gent, Belgia (1989-1991) dan Sarjana Teknik Lingkungan ITB (1986). Sejak tahun 2003 ia mendapat sertifikat sebagai fasilitator Urban Regional Development Management and Team Leadership (URDML) dari Banff Executive Canada. Penerima Penghargaan Ganesa Widya Jasa Adiutama dari ITB tahun 2019 serta termasuk dalam “72 Tokoh Berpengaruh 2017” versi Majalah Men’s Obsession ini, juga adalah LEAD (Leadership for Environment and Development) International Fellow sejak tahun 2001 serta TCRP (The Climate Change Reality Project) Leader Indonesia sejak tahun 2009. Mempunyai minat dalam menulis hal-hal keseharian sebagai bagian dari refreshing....

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *