Featured

POROS MARITIM YANG SEMAKIN AMBYAR

Poros maritim menjadi salah satu kebijakan terobosan Presiden Jokowi saat dilantik pada periode pertamanya. Harapan baru, karena laut sebelumnya menjadi ruang belakang, selanjutnya dijadikan garda terdepan kebijakan pembangunan Indonesia. Sejarah telah membuktikan, dua kerajaan besar di Nusantara, yakni Sriwijaya dan Majapahit justru dikenal sebagai negara maritim. Bahkan Inggris (pada jaman kolonial) dan Amerika Serikat (saat ini) disebut sebagai negara adikuasa karena menguasai lautan. Globalisasi dimulai dari laut. Sebab, di era perdagangan bebas ini lebih dari 95 persen menggunakan domain laut (Dr Sam TangredI, pakar maritim Amerika).

Penjabaran poros maritim dituangkan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Laut Indonesia. Pada Perpres tersebut dijelaskan rencana aksi kebijakan kelautan Indonesia dijabarkan ke dalam lima klaster prioritas selama periode tahun 2016 – 2019. Klaster pertama, batas maritim dan ruang laut serta diplomasi maritim. Kedua, industri maritim dan konektivitas laut. Ketiga, industri sumber daya alam dan jasa lingkungan serta pengelolaan lingkungan laut. Keempat, pertahanan dan keamanan laut. Dan Kelima, budaya bahari. Yang menjadi pertanyaan, hingga tahun 2019, apakah hasil dari rencana aksi tersebut? Serta yang lebih penting lagi, bagaimana keberlanjutan rencana aksi tersebut pada periode kedua Presiden Jokowi?

              Asa mulai terlihat manakala kapal-kapal asing pencuri ikan dibombardir Kementrian Kelautan dan perikanan bersama TNI AL. Toll laut membuka aksesibilitas ke wilayah terpencil, khususnya Indonesia Bagian Timur. Namun kebijakan tersebut maupun kebijakan implementasi poros maritim lainnya, belum memberikan kontribusi yang signifikan pada perekonomian nasional, kemajuan sosial-budaya maritim, dan lingkungan. Dalam skala makro, sektor tradisional di bidang maritim, yaitu perikanan perkembangannya tidak meningkat signifikan. Potensi sektor lainnya seperti bioteknologi dan biofarmakologi belum tergali dengan maksimal. Secara mikro, marginalitas nelayan dan masyarakat pesisir belum juga ada perbaikan. Bahkan mereka semakin rentan tergusur oleh kegiatan-kegiatan ekspansi dari darat, yiatu reklamasi.

Marine Phobia

              Selama lima tahun kebijakan poros maritim belum menghasilkan embrio budaya bahari di Indonesia. Laut tetaplah menjadi ruang belakang. Fokus pembangunan tetaplah di darat, ketika ruang darat sudah tidak mampu menampung aktifitas ekonomi, maka diekspansi ke laut. Maraknya rencana reklamasi merupakan cerminan kebutuhan di darat yang “dipindahkan” ke laut. Kebijakan pembangunan pelabuhan dan perhubungan laut, umumnya memindahkan logistik di darat ke daratan lainya. Laut hanyalah menjadi media perantara saja. Jarang sekali terpikirkan, menstimulasi aktifitas ekonomi di laut dan kemudian justru diekspansi ke daratan.

              Orientasi pembangunan yang berbasis maritim membutuhkan sinergi antar sektor dan stakeholders yang diperkuat oleh sistem regulasi. Tanpa disadari UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah justru memperlemah pembangunan maritim. Perairan pesisir (0-12 Mil) saat ini menjadi kewenangan provinsi. Kabupaten dan Kota (daerah) yang semula menjadi garda terdepan dalam pengelolaan pesisir kehilangan pengaruhnya. Program dan anggaran tidak lagi dialokasikan oleh kabupaten dan kota. Mereka khawatir disalahkan oleh auditor keuangan, terciptalah marine phobia.

              Ketakutan terhadap laut (marine phobia) bisa dimaklumi karena alasan regulasi. Namun dampaknya sangat signifikan memperlemah pembangunan maritim. Orientasi kabupaten dan kota saat ini tidak lagi ke laut. Sungguh ironis, padahal mereka bersentuhan langsung dengan laut berikut potensi dan permasalahannya. Orientasi pembangunan daerah tidak lagi berfokus pada kemaritiman. Pembangunan kelautan bukan lagi prioritas di daerah. Di sisi lain, provinsi yang mendapatkan limpahan kewenangan, tidak memiliki sumber daya dan “tangan” yang memadai untuk mengelolan sumber daya maritim. Jadilah laut semakin tertinggal dan terlupakan.

Ironi Percepatan Ekonomi

              Tanda-tanda kemaritiman mulai terlupakan juga terlihat dari fokus pembangunan pemerintah yang berorientasi pada infrastruktur. Pengembangan konektifitas di darat melalui pembangunan jalan toll rupanya masih menjadi prioritas. Terlebih lagi, konektifitas ini nantinya akan dikaitkan dengan pembangunan kawasan-kawasan industri, perkotaan-perkotaan baru, hingga pembentukkan kawasan-kawasan metropolitan. Simbol-simbol ini diharapkan sebagai mesin ekonomi, lagi-lagi ada di darat.

              Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi Jawa Timur saat ini memperjuangkan implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Wilayah Jawa Timur. Pada Perpres tersebut, terdapat tiga prioritas pengembangan kawasan, yaitu Kawasan Bromo-Tengger-Semeru (BTS), Kawasan Perkotaan Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan (Gerbangkertasusila), serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan. Di ketiga kawasan tersebut diharapkan menjadi mesin penggerak ekonomi Jawa Timur. Untuk itu, akan dibangun 218 proyek strategis nasional dengan kebutuhan anggaran mencapai Rp 294 triliun. Yang menggelitik adalah, hampir tidak ada program dalam rangka percepatan ekonomi Jawa Timur yang berbasis kemaritiman. Poros maritim semakin ambyar.

Rencana Tindak

              Kalau hati yang ambyar bisa dirajut kembali, maka kebijakan poros maritim juga dapat dibangun kembali. Visi maritim yang tercerai berai antar sektor dan stakeholders menjadi tantangan revitalisasi poros maritim jilid II. Darimana bisa dimulai ? Perpres RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Laut Indonesia perlu dilanjutkan kembali dengan memperkuat pada bagian-bagian tertentu.

              Bila diperhatikan, permasalahan strategis dalam implementasi poros maritim jilid pertama terletak pada tata kelola dan kordinasi. Dalam hal tata kelola, sinkronisasi antar kebijakan yang menjadi prioritas. Sinkronisasi ini bisa diawali dari regulasi pemerintahan daerah yang memungkinkan kabupaten dan kota dapat berpartisipasi lagi dalam pengelolaan wilayah pesisir. Sementara itu pada kordinasi, prinsip pengaturan ruang yang menjadi perhatian. Harus ada tata kepastian tata ruang laut yang menjadi sumber rujukan berbagai pihak. Sehingga dapat disinkronkan dengan pola pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang dilakukan. Penguatan tata kelola dan kordinasi diharapkan dapat menjadi motor penggerak lima klaster prioritas poros maritim. Semoga di laut kita masih berjaya.

MEMBANGUN (LAGI) DENGAN KEARIFAN LOKAL

Gempa, seakan semakin akrab terjadi di bumi Indonesia. Belum selesai dampak Gempa Lombok direhabilitasi dan direkonstruksi, kabar duka kembali datang dari Palu dan Donggala. Tiga bencana beruntun menghantam, mulai dari gempa, tsunami, dan likuefaksi (tanah gerak). Korban jiwa bahkan sudah mencapai ribuan. Gempa bumi sebetulnya sudah memiliki pola, dia tidak datang secara tiba-tiba, apalagi kebetulan. Sudah ada pola-pola yang mencetusnya, dan kemudian menjadi bencana apabila ada kehidupan manusia yang berinteraksi dengan pola tersebut. Sebagai contoh, kawasan permukiman yang berada di daerah patahan, tentu saja akan beresiko tinggi apabila terjadi gempa.

Berdasarkan catatan historis, frekuensi gempa di Selat Makassar rupanya termasuk yang paling tinggi di Indonesia. Sehingga tidak heran, nenek moyang orang Palu telah mengenal dan memahami situasi ini. Dalam bahasa mereka, gempa disebut linu, tsunami disebut bombatalu yang istilah mereka gelombang memukul tiga kali. Bahkan likuefaksi pun telah mereka kenal, yang mereka sebut dengan nalado, artinya ambles diisap lumpur (dikutip dari Kompas 3 Oktober 2018).

Linu, bombatalu, dan nalado tidak hanya sekedar kosa kata dalam bahasa lokal di Palu, tetapi sebenarnya sudah menjadi pengetahuan lokal. Nenek moyang orang Palu telah memahami pola-pola dari gempa, tsunami, dan likuefaksi dari pengalaman yang berulang-ulang terjadi. Karena mereka paham, maka mereka bisa beradaptasi dari ketiga bencana tersebut. Yang menarik adalah, kalau nenek moyang kita telah memahami pengetahuannya dan menuturkannya secara turun-temurun, lalu mengapa korban jiwa masih banyak terjadi saat gempa, tsunami, dan likuefaksi menerjang Palu dan Donggala.

Pengetahuan yang Terlupakan

              Pada Tahun 2004, saat gempa dan tsunami menghantam Aceh dan sekitarnya, korban jiwa bahkan mencapai ratusan ribu jiwa. Kejadian menarik terjadi di Pulau Simeulue, dimana korban jiwa “hanya” mencapai puluhan orang saja. Padahal pulau ini terletak di dekat pusat gempa dan terkena tsunami yang paling parah. Korban jiwa dapat diminimalkan karena ada pengetahuan lokal smong yang sudah menjadi tutur turun-temurun. Tutur dalam bentuk lagu penghantar tidur, yang salah satu bagian lagunya menjelaskan bila terjadi guncangan hebat, laut tiba-tiba surut, maka segeralah lari ke gunung. Pengetahuan inilah rupanya yang menyelamatkan masyarakat di Pulau Simeulue.

              Pengetahuan dari Linu, bombatalu, dan nalado terlihat kurang berperan, ketika melihat data jumlah korban jiwa di Kota Palu. Memang masih perlu penelitian lebih lanjut, peranan pengetahuan lokal tersebut terhadap adaptasi masyarakat terhadap bencana. Tetapi yang jelas, adaptasi ini kurang terlihat, saat perumahan di Kampung Petobo, Balaroa, dan Jono Oge “tertelan” bumi akibat likuefaksi. Lokasi ini tentu saja tidak kebetulan terkena tanah gerak akibat gempa. Setelah diteliti lebih lanjut oleh para ahli, rupanya struktur geologi wilayah ini memang beresiko tinggi terhadap terjadinya likuefaksi.

              Tutur dari nenek moyang kita seakan tidak tersampaikan. Pengetahuan lokal yang telah ada seperti terlupakan. Terkadang memang pengetahuan lokal sulit dijelaskan secara ilmiah, sehingga terkesan tidak logis. Mungkin juga Linu, bombatalu, dan nalado kita anggap sebagai mitos, karena periode waktu terjadinya sangat lama. Bahkan bencana-bencana besar yang terjadi di masa lalu sudah lintas beberapa generasi. Namun yang pasti, nenek moyang kita menurunkan pengetahuan lokal, berasal dari fenomena yang dialami dalam kehidupan keseharian mereka.

Revitalisasi Kearfian Lokal

              Kejadian gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Palu-Donggala menjadi momentum yang baik untuk mengingat kembali pada kearifan lokal kita. Kearifan lokal umumnya berwujud pengetahuan-pengetahuan lokal. Pengetahuan ini seharusnya valid dan bisa dipercaya untuk lokal wilayah tersebut. Nenek moyang kita tentu saja sudah berhitung secara ”statistik”, sehingga dapat menyimpulkan pola-pola kejadian dan situasi pada lingkungan mereka, untuk menjadi pengetahuan yang layak dituturkan secara turun-temurun menjadi sebuah kearifan lokal.

              Penelitian-penelitian untuk menginventarisasi dan mengeksplorasi kearifan lokal di masyarakat perlu dilakukan. Pengetahuan lokal dan kearifan lokal inilah yang seringkali bisa memberikan penjelasan terhadap kejadian di suatu lokasi. Pengetahuan lokal ini memang perlu dicari penjelasan ilmiahnya, sehingga bisa dipahami secara nalar oleh generasi saat ini.

              Disamping itu, bentuk dan kemasan pengetahuan pada kearifan lokal kita perlu direvitalisasi disesuaikan dengan perkembangan jaman. Pengetahuan seperti smong, linu, bombatalu, dan nalado, maupun yang lainnya bisa dikemas menjadi buku pengetahuan maupun buku populer. Bahkan pengetahuan-pengetahuan tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk aplikasi permaian ataupun aplikasi-aplikasi lainnya yang berbasis komputasi dan teknologi informasi. Tujuannya, pengetahuan lokal menjadi lebih populer, mudah diingat, dan tanpa sadar menjadi pengetahuan serta membentuk kebiasaan masyarakat.

Akomodasi dalam Kebijakan Formal

              Kejadian gempa di Palu membuat kita banyak belajar dalam pembangunan kota. Beberapa kawasan permukiman, perdagangan-jasa, fasilitas umum justru berada di wilayah yang memiliki resiko tinggi terhadap gempa, tsunami, dan likuefaksi. Memang ini menjadi persoalan yang rumit, karena telah terakumulasi oleh waktu. Apakah rencana alokasi kegiatan tersebut tidak memperhatikan data resiko bencana. Atau mungkin sudah ada larangan membangun di kawasan tersebut, tetapi terjadi pelanggaran pembangunan yang “dibiarkan” secara terakumulasi. Permasalahan-permasalahan yang terakumulasi tersebut akhirnya menjadi kompleks.

              Namun yang jelas, dalam prosedur penyusunan rencana tata ruang kota atau wilayah, seringkali pengetahuan-pengetahuan lokal kurang mendapat porsi yang signifikan. Pengetahuan lokal seringkali kurang disadari keberadaannya, atau kalaupun berhasil diidentifikasi, lebih diakomodasi sebagai formalitas saja. Pengetahuan lokal tidak berpengaruh kuat sebagai pertimbangan dalam keputusan pembangunan kota. Pembangunan kota umumnya menggunakan Norma, Standar, Pedoman, dan Manual (NSPM) yang generik. Artinya standar di Pulau Jawa digunakan juga untuk pengembangan kota di Sulawesi. Padahal di suatu wilayah terdapat hal-hal unik yang perlu diperhatikan.

              Kawasan yang mengalami bencana mungkin saja sudah ada “cerita” lokalnya, yang kita tidak pahami, sehingga pengetahuan lokal tersebut tidak terakomodasi dalam pembangunan kawasan tersebut. Salah satu penyebab dari situasi ini adalah adanya informasi atau pengetahuan yang “hilang”, sehingga kebijakan formal menjadi kurang memahami ciri khas lokal di wilayah tersebut. Informasi atau pengetahuan yang “hilang” ini bisa jadi karena pengetahuan lokal tidak terdokumentasi dengan baik di masyarakat. Karena tidak terdokumentasi ini, maka tidak ada kekuatan yang mengawal agar pengetahuan lokal dapat diakomodasi dalam kebijakan pembangunan kota secara formal.

              Upaya merevitalisasi kearifan lokal bertujuan agar pengetahuan-pengetahuan lokal tersebut tetap melekat di masyarakat. Dan selanjutnya masyarkat dapat menginformasikan, mendorong, dan mengawal agar pengetahuan lokal yang ada di suatu kawasan dapat diakomodasi dalam kebijakan formal. Selanjutnya pengetahuan lokal di masyarakat dapat ditransformasi menjadi NSPM lokal, yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam pembangunan kota atau wilayah di suatu tempat. Masyarakat Palu dan Donggala harus bangkit dari bencana yang dialaminya, mari membangun lagi, dengan memanfaatkan pengetahuan yang sudah dirumuskan dari nenek moyang kita.